Terjemah Syarah Al-Hikam (Syaikh Ibnu Athoillah)

BERSAMA MEMURNIKAN AKIDAH DAN AKHLAK MUSLIM

 SYARAH AL-HIKAM Bagian Pertama,Kedua,Ketiga


Mohon Maaf Jika Terjemahan Dibawah Ini Ada yang Salah Maka Mohon Sekiranya Pembaca Dapat Meluruskannya Untuk Itu Saya Ucapkan Terimakasih Dan Semoga Bermanfaat




3: KETEGUHAN BENTENG TAKDIR
KEKUATAN SEMANGAT (AZAM, CITA-CITA, IKHTIAR) TIDAK BERUPAYA MEMECAHKAN BENTENG TAKDIR.
Kalam Hikmat yang pertama menyentuh tentang hakikat amal yang membawa kepada pengertian tentang amal zahir dan amal batin. Ia mengajak kita memperhatikan amal batin (suasana hati) yang berhubungan dengan amal zahir yang kita lakukan. Sebagai manusia biasa hati kita cenderung menaruh harapan dan meletakkan ketergantungan pada keadaan amal zahir. Hikmat kedua diperjelas dengan membuka pandangan kita kepada suasana asbab dan tajrid. Bersandar kepada amal terjadi karena seseorang itu melihat pada keberkesanan sebab dalam melahirkan akibat. Apabila terlepas dari waham sebab musabab barulah seseorang itu masuk kepada suasana tajrid.
Dua Hikmat tadi telah memberi pendidikan yang halus kepada jiwa. Seseorang itu mendapat kefahaman bahawa bersandar kepada amal bukanlah jalannya. Pengertian yang demikian melahirkan kecenderungan untuk menyerah bulat-bulat kepada Allah s.w.t. Sikap menyerah tanpa persediaan kerohanian dapat menggoncangkan iman. Agar orang yang sedang meningkat semangatnya tidak keliru memilih jalan, dia diberi pengertian mengenai  kedudukan asbab dan tajrid. Pemahaman tentang makom asbab dan tajrid membuat seseorang mendidik jiwanya agar menyerah kepada Allah s.w.t dengan cara yang betul dan selamat bukan menyerah dengan cara yang buta.
Hikmat ketiga ini pula mengajak kita merenung kepada kekuatan benteng takdir yang memagar segala sesuatu. Ketika membicarakan tentang ahli tajrid, kita dapatkan ahli tajrid melihat kepada kekuasaan Tuhan yang meletakkan keberkesanan kepada sesuatu sebab dan menetapkannya dalam melahirkan akibat Ini bermakna semua kejadian dan segala hukum mengenai sesuatu perkara berada didalam pentadbiran Allah s.w.t. Dia yang menguasai, mengatur dan mengurus setiap makhluk-Nya. Urusan ketuhanan yang menguasai, mengatur dan mengurus atau suasana pentadbiran Allah s.w.t itu dinamakan takdir. Tidak ada sesuatu yang tidak dikuasai, diatur dan diurus oleh Allah s.w.t. Oleh itu tidak ada sesuatu yang tidak termasuk didalam takdir.
Manusia terhijab dari cara memandang kepada takdir karena waham sebab musabab. Jasad dengan segala keinginannya seseorang menjadi alat sebab musabab yang paling berkesan menghijab pandangan hati daripada melihat kepada takdir. Keinginan, cita-cita, angan-angan, semangat, akal fikiran dan usaha menutupi hati daripada melihat kepada kekuasaan, aturan dan urusan Tuhan. Hijab kedirian itu jika disimpulkan ia boleh dilihat sebagai hijab nafsu dan hijab akal. Nafsu yang melahirkan keinginan, cita-cita, angan-angan dan semangat. Akal menjadi tentara nafsu, menimbang, merancang dan mengadakan usaha dalam memenangkan apa-apa yang dicetuskan oleh nafsu. Jika nafsu inginkan sesuatu yang baik, akal bergerak kepada kebaikan itu. Jika nafsu inginkan sesuatu yang buruk, akal itu juga yang bergerak kepada keburukan. Dalam banyak perkara akal tunduk kepada arahan nafsu, bukan menjadi penasihat nafsu. Oleh sebab itulah didalam menundukkan nafsu tidak boleh meminta pertolongan akal.
Dalam proses memperoleh penyerahan secara menyeluruh kepada Allah s.w.t  terlebih dahulu akal dan nafsu perlu ditundukkan kepada kekuatan takdir. Akal mesti mengakui kelemahannya didalam membuka simpulan takdir. Nafsu mesti menerima hakikat kelemahan akal dalam perkara tersebut dan ikut tunduk bersamanya. Bila nafsu dan akal sudah tunduk barulah hati dapat beriman dengan sebenarnya kepada takdir.
Beriman kepada takdir seharusnya melahirkan penyerahan secara berpengetahuan bukan menyerah dalam kebodohan. Orang yang tidak mengetahui tentang hukum dan perjalanan takdir tidak dapat berserah diri dengan sebenarnya kepada Allah s.w.t  kerana disebalik kebodohannya itulah nafsu akan menggunakan akal untuk menimbulkan keraguan terhadap Allah s.w.t. Rohani orang yang tidak tahu dengan hakikat takdir itu  masih terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan biasa. Dia masih memandang bahwa makhluk dapat mendatangkan pengaruh kepada kehidupannya. Tindakan orang lain dan kejadian-kejadian sering mengacau jiwanya. Keadaan yang demikian menyebabkan dia tidak dapat bertahan untuk terus berserah diri kepada Tuhan. Sekiranya dia memahami tentang hukum dan peraturan Tuhan dalam perkara takdir tentu dia dapat bertahan dengan iman. Hadis menceritakan tentang takdir:
Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w, “Wahai Rasulullah, apakah iman?” Jawab Rasulullah s.a.w, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Kemudian. Juga engkau beriman dengan Qadar baik dan buruknya, manis dan pahitnya adalah dari Allah s.w.t”. { Maksud Hadis }
Pandangan kita sering keliru dalam memandang kepada takdir yang berlaku. Kita dikelirukan oleh istilah-istilah yang biasa kita dengar Kita cenderung untuk merasakan seolah-olah Allah s.w.t  hanya menentukan yang dasarnya saja sementara yang halus-halus ditentukan-Nya kemudian yaitu seolah-olah Dia  Melihat dan Mengkaji perkara yang muncul barulah Dia membuat keputusan. Kita merasakan apabila kita berjuang dengan semangat yang kuat untuk mengubah perkara dasar yang telah Allah s.w.t tetapkan dan Dia Melihat kegigihan kita itu dan bersimpati dengan kita lalu Dia pun membuat ketentuan baru supaya terlaksana takdir baru yang sesuai dengan perjuangan kita. Kita merasakan kehendak dan takdir kita berada didepan sementara Kehendak dan Takdir Allah s.w.t mengikut dibelakang. Anggapan dan perasaan yang demikian dapat membawa kepada kesesatan  dan kedurhakaan yang besar karena kita meletakkan diri kita pada taraf Tuhan dan Tuhan pula kita letakkan pada taraf hamba yang menurut pada telunjuk kita. Untuk menjauhkan diri dari kesesatan dan kedurhakaan yang besar itu kita sangat perlu memahami soal sunnatullah atau ketentuan Allah s.w.t. Segala kejadian berlaku menurut ketentuan dan pentadbiran Allah s.w.t. Tidak ada yang berlaku secara kebetulan. Ilmu Allah s.w.t meliputi yang awal dan yang akhir, yang azali dan yang abadi. Apa yang dizahirkan dan apa yang terjadi telah ada pada Ilmu-Nya.
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.  (Ayat 22 : Surah al-Hadiid)
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, ( Ayat 1 : Surah al-Mulk )
dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,  ( Ayat 3 : Surah al-A’laa)
Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan.  ( Ayat 12 : Surah al-Qamar )
Segala perkara, atau apapun istilah  yang digunakan, adalah termasuk dalam ketentuan Allah s.w.t. Apa yang kita istilahkan sebagai perjuangan, ikhtiar, doa, kekeramatan, mukjizat dan lain-lain semuanya adalah ketentuan Allah s.w.t. Pagar takdir mengelilingi segala-galanya dan tidak ada sebesar zarah pun yang mampu menembus benteng takdir yang maha teguh. Tidak terjadi perjuangan dan ikhtiar melainkan perjuangan dan ikhtiar tersebut telah ada dalam pagar takdir. Tidak berdoa orang yang berdoa melainkan halnya berdoa itu adalah takdir untuknya yang sesuai dengan ketentuan Allah s.w.t  untuknya. Perkara yang didoakan juga tidak lari daripada aturan dan ketentuan Allah s.w.t. Tidak berlaku kekeramatan dan mukjizat melainkan kekeramatan dan mukjizat itu adalah takdir yang tidak menyimpang daripada pentadbiran Allah s.w.t. Tidak menghirup satu nafas atau berdenyut satu nadi melainkan ianya adalah takdir yang menzahirkan urusan Allah s.w.t  pada azali.
Kami datang dari Allah dan kepada Allah kami kembali.
Segala perkara datangnya dari Allah s.w.t atau Dia yang mengadakan ketentuan tanpa campurtangan siapapun. Segala perkara kembali kepada-Nya karena Dialah yang mempastikan hukum ketentuan-Nya terlaksana tanpa siapapun mampu menghalangi urusan-Nya.
Apabila sudah difahami bahwa usaha, ikhtiar, penyerahan diri dan segala-galanya adalah takdir menurut ketentuan Allah s.w.t, maka seseorang itu tidak lagi merasa bingung antara mau berikhtiar ataupun berserah diri. Ikhtiar dan berserah diri sama-sama berada didalam pagar takdir. Jika seseorang menyadari kedudukan makomnya berada pada asbab atau tajrid maka dia hanya perlu bertindak sesuai dengan makomnya. Ahli asbab perlu berusaha dengan gigih menurut keadaan hukum sebab-akibat. Apapun hasil yang didapat dari usahanya akan diterimanya dengan senang hati karena dia tahu hasil itu juga adalah takdir yang ditadbir oleh Allah s.w.t. Jika hasilnya baik dia akan bersyukur karena dia tahu bahwa kebaikan itu datangnya dari Allah s.w.t. Jika tidak ada ketentuan baik untuknya maka tidak mungkin dia mendapat kebaikan. Jika hasil buruk yang sampai kepadanya dia akan bersabar karena dia tahu apa yang datang kepadanya itu adalah menurut ketentuan Allah bukan tunduk kepada usaha dan ikhtiarnya. Walaupun hasil yang tidak sesuai dengan keinginannya tetapi usaha baik yang dilakukannya tetap akan diberi pahala dan keberkatan oleh Allah s.w.t jika dia bersabar dan ikhlas dengan takdir apapun yang sampai kepadanya.
Ahli tajrid pula hendaklah ikhlas dengan suasana kehidupannya dan tetap yakin dengan jaminan Allah s.w.t. Dia tidak akan kecewa jika terjadi kekurangan pada rizkinya atau kesusahan menimpanya. Suasana kehidupannya adalah takdir yang sesuai dengan apa yang Allah s.w.t tentukan. Rizki yang sampai kepadanya adalah juga ketentuan Allah s.w.t. Jika terjadi kekurangan atau kesusahan maka keadaan tersebut masih berada didalam pagar takdir yang ditentukan oleh Allah s.w.t. Begitu juga jika terjadi keberkahan dan kekeramatan pada dirinya dia harus melihat itu sebagai takdir yang menjadi bagiannya.
Persoalan takdir berkaitan erat dengan persoalan hakikat. Hakikat membawa pandangan dari yang banyak kepada yang satu(Esa). Perhatikan kepada sebiji benih kacang. Setelah ditanam benih yang kecil itu akan tumbuh dengan sempurna, mengeluarkan beberapa banyak buah kacang. Buah kacang tersebut dijadikan pula benih untuk menumbuhkan pokok-pokok kacang yang lain. Begitulah seterusnya sehingga kacang yang semula dari satu biji benih menjadi jutaan kacang. Kacang yang sejuta tidak ada bedanya dengan kacang yang pertama. Benih kacang yang pertama itu bukan saja berkemampuan untuk menjadi sebatang pohon kacang, malah ia mampu mengeluarkan semua generasi kacang hingga hari kiamat. Ia hanya dapat mengeluarkan kacang, tidak benda lain.
Kajian akal boleh mengakui bahawa semua kacang mempunyai zat yang sama, yaitu zat kacang. Zat kacang pada benih pertama serupa dengan zat kacang pada yang ke satu juta malah ia adalah zat yang sama atau yang satu. Zat kacang yang satu itulah ‘bergerak’ pada semua kacang, memastikan kacang yang berikutnya akan menjadi kacang, tidak menjadi benda lain. Walaupun diakui kewujudan zat kacang yang mengawali pertumbuhan kacang namun, zat kacang itu tidak mungkin ditemukan pada kacang lainnya. Ia tidak berupa dan tidak mendiami kacang kacang lainnya, tetapi ia tidak terpisahkan dengan kacang kacang lainnya. Tanpanya tidak mungkin ada kewujudan kacang. Zat kacang ini dinamakan “Hakikat Kacang”. Ia adalah suasana ketuhanan yang mentadbir dan mengawal seluruh pertumbuhan kacang dari permulaan hingga akhir, sampai kehari kiamat. Hakikat Kacang inilah suasana pentadbiran Allah s.w.t yang telah ditentukan untuk semua kejadian kacang. Apapun unsur yang ada pada Hakikat Kacang tidak ada pilihan lain kecuali menjadi kacang.
Suasana pentadbiran Allah s.w.t yang mentadbir dan mengawali perwujudan keturunan manusia pula dinamakan “Hakikat Manusia” atau “Hakikat Insan”. Allah s.w.t telah menciptakan manusia yang pertama, yaitu Adam a.s menurut Hakikat Insan yang ada pada sisi-Nya. Pada kejadian Adam a.s itu telah disimpankan bakat dan kemampuan untuk melahirkan semua keturunan manusia sehingga hari kiamat. Manusia akan tetap melahirkan manusia karena hakikat yang menguasainya adalah Hakikat Manusia.
Pada Hakikat Manusia itu ada hakikat yang menguasai satu individu manusia dan hubungannya dengan segala kejadian alam yang lain. Seorang manusia yang berhakikatkan “Hakikat Nabi” pasti menjadi nabi. Seorang manusia yang berhakikatkan “Hakikat Wali” pasti akan menjadi wali. Suasana pentadbiran Allah s.w.t atau hakikat itu menguasai roh yang berkaitan dengannya. Roh bekerja menampilkan segala aturan yang ada dengan hakikat yang menguasainya. Kerja roh adalah menjalankan urusan Allah s.w.t  yaitu menyatakan hakikat yang ada pada sisi Allah s.w.t.

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".  ( Ayat 85 : Surah Al-Israa’ )
Pentadbiran Allah s.w.t menguasai roh dan memaksa roh untuk menampilkan ketentuan-Nya yang berada pada azali. Allah s.w.t telah menentukan hakikat sesuatu sejak azali. Tidak ada perubahan pada ketentuan Allah s.w.t. Segala sesuatu diiringi bersama hakikat yang berasal dari Allah s.w.t. Unta tidak dapat meminta menjadi kambing. Kera tidak dapat meminta menjadi manusia. Manusia tidak dapat meminta menjadi malaikat. Segala ketentuan telah diputuskan oleh Allah s.w.t.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Syarah Al-Hikam (Syaikh Ibnu Athoillah)