Kitab Kimyatusy Sya'adah Karya Imam Al-Ghazali
4. MENGENAL ALLOH SWT
Satu Hadis Nabi Muhammad SAW. yang masyhur ialah;
"Siapa
yang mengenal dirinya, mengenal ia akan TuhanNya"
Ini berarti dengan mematuhi dan
memikirkan tentang dirinya dan sifat-sifatnya, manusia itu bisa
sampai mengenal Alloh. Tetapi oleh karena banyak juga orang yang
memikirkan tentang dirinya tetapi tidak dapat mengenal Tuhan, maka
tentulah ada cara-caranya yang khusus bagi mengenal ini.
Sebenarnya ada dua cara untuk
mencapai pengetahuan atau pengenalan ini. Salah satunya sangat sulit dan
sukar difahami oleh orang-orang biasa, maka cara yang ini tidak usahlah
kita terangkan di sini. Yang satu cara lagi adalah seperti berikut:
Apabila seseorang memikirkan
dirinya, dia tahu bahwa ada suatu ketika ia tidak berwujud, seperti
tersebut dalam Al-Quran:
“Bukankah telah datang atas manusia
satu waktu sesuatu yang dapat disebut?” (Al Insan:1)
Selanjutnya ia juga tahu bahwa ia
dijadikan diri setitik air yang tidak ada akal, pendengar,
penglihatan, kepala, tangan, kaki dan sebagainya, dari sini
teranglah bahwa walau bagaimanapun seseorang itu mencapai taraf kesempurnaan,
tidaklah dapat ia membuat dirinya sendiri meeskipun hanya sehelai rambut.
Kemudian pula jika ia setitik
air, alangkah lemahnya ia? Demikianlah seperti yang kita lihat di
bab pertama dulu, didapatinya dalam dirinya kekuasaan,
kebijaksanaan dan kecintaannya terhadap Alloh terbayang dalam bentuk yang
kecil. Jika semua manusia dalam dunia ini berkumpul dan mereka tidak
mati, niscaya mereka tidak dapat mengubah dan memperbaiki bentuk walau
satu bagian dari tubuhnya itu.
Misalnya, dalam penggunaan
gigi depan dan gigi samping untuk menghancurkan makanan, penggunaan
lidah, air liur, tengkuk, kerongkong, kita dapatinya
penciptaan itu tidak dapat diperbaiki lagi. Begitu juga, fikirkan
pula tangan dan jari kita. Jari ada lima dan tidak pula sama
panjang, empat daripada jari itu mempunyai tiga persendian, dan ibu
jari hanya ada dua persendian, dan lihat pula bagaimana ia bisa digunakan
untuk memegang, mencincang, memukul dan
sebagainya. Jelas sekali manusia tidak akan dapat berbuat
demikian, meski hendak menambah atau mengurangkan jumlah jari itu dan
susunannya .
Lihat pula makanan, tempat
tinggal kita dan sebagainya. Semuanya cukup dikurniakan oleh Alloh yang
maha kaya. Tahulah kita bahwa rahmat atau Kasih Sayang Alloh itu sama
dengan Kekuasaan dan Kebijaksanaan-Nya, seperti firman Alloh Subhanahuwa
Taala.
"RahmatKu
itu lebih besar dari kemurkaanKu"
Dan sabda Nabi SAW:
"Alloh
itu sayang kepada hamba-hambanya lebih dari sayang ibu kepada anaknya"
Demikianlah, dari makhluk yang dijadikanNya, manusia bisa tahu tentang wujud Alloh, dari keajaiban tubuhnya, ia dapat tahu tentang Kekuasaan dan Kebijaksanaanya Alloh; dan dari kurnia rezeki Tuhan yang tidak terbatas itu, nampaklah Cinta Alloh kepada hambaNya.
Dengan
cara ini, mengenal diri sendiri itu menjadi anak kunci kepada pintu
untuk mengenal Alloh Subhanawa Taala.
Sifat-sifat manusia itu adalah bayangan Sifat-sifat Alloh. Begitu juga cara wujud ruh manusia itu memberi kita sedikit pandangan tentang wujud Alloh, yaitu Alloh dan ruh itu tidak kelihatan, tidak bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan, tidak tunduk kepada ruang dan waktu, diluar kemampuan kuantitas (jumlah) dan kualitas, dan tidak bisa diperikan dengan bentuk, warna atau ukuran. Orang merasa sulit hendak membentuk satu konsep berkenaan hakikat-hakikat ini karena ia tidak termasuk dalam bidang kualitas dan kuantitas, dan sebagainya, tetapi coba perhatikan betapa susah dan payahnya memberi konsep tentang perasaan kita sehari-hari seperti marah, suka, cinta dan sebagainya.
Semua itu adalah konsep pikiran atau
tanggapan khayalan, dan tidak dapat dikenali oleh indera.
kualiti, kuantiti dan sebagainya dan itu adalah konsep indera (tanggapan
pancaindera). Sebagaimana telinga kita tidak dapat megenal warna,
dan mata kita tidak dapat mengenal bunyi, maka begitu jugalah mengenal
Ruh dan Alloh itu bukanlah dengan inderanya.
Alloh itu adalah Pemerintah alam
semesta raya ini. Dia tidak tunduk kepada ruang dan waktu, kuantiti
dan kualiti, dan menguasai segala makhluknya. Begitu juga ruh itu
memerintah tubuh dan anggotanya. Ia tidak bisa dilihat, tidak bisa
dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan dan tidak tunduk kepada tempat
tertentu.
Karena
bagaimana mungkin sesuatu yang tidak bisa dibagi-bagikan itu diletakan ke dalam
sesuatu yang bisa dibagi atau dipecah?
Dari keterangan yang kita baca diatas itu, dapatilah kita lihat bagaimana benarnya sabda Nabi SAW.:
"
Alloh jadikan manusia menurut rupanya".
Setelah kita mengenal Zat dan Sifat
Alloh hasil dari bertafakur kita tentang zat dan sifat Ruh, maka
sampailah pengenalan kita kepada cara-cara kerja dan pemerintahan Alloh Taala
dan bagaimana ia mewakilkan kuasa-kuasaNya kepada malaikat-malaikat, dan
lain-lain.
Dengan
cara bertafakur tentang bagaimana diri kita memerintah alam kecil kita sendiri.
Kita ambil satu contoh:
Katakanlah seorang manusia hendak
menulis nama Alloh. Mula-mulanya kehendak atau keinginan itu terkandung
dalam hatinya. Kemudian dibawa ke otak oleh daya ruhani. Maka
bentuk perkataan "Alloh" itu terdapat dalam khayalan atau
pikiran otak itu. Selepas itu ia mengembara melalui saluran urat
saraf, lalu menggerakkan jari dan jari itu mengerakkan pena. Maka
tertulislah nama "Alloh" atas kertas, serupa seperti yang ada
didalam otak penulis itu.
Begitu juga apabila Alloh Subahanahuwa Taala hendak menjadikan sesuatu hal, Ia mula-mulanya nampak dalam peringkat keruhanian yang disebut didalam Quran sebagai "Al-'Arasy". Dari situ ia turun dengan urusan Keruhanian ke peringkat yang di bawahnya yang digelar "Al-Kursi". Kemudian bentuknya nampak dalam "Al-Luh Al-Mahfuz". Dari situ dengan perantaraaan tenaga-tenaga "Malaikat" terbentuklah hal itu dan kelihatanlah di atas bumi ini dalam bentuk tumbuh-tumbuhan, pokok-pokok dan binatang, yang mewakilkan atau menggambarkan Iradat dan Ilmu Alloh.
Sebagaimana juga huruf-huruf yang
tertulis, yang menggambarkan keinginan dan kemauan yang terbit dan
terkandung dalam hati, dan bentuk itu dalam dalam otak penulis tadi.
Tidak ada orang yang tahu Hal Raja melainkan Raja itu sendiri. Alloh telah memberi kita Raja dalam bentuk yang kecil yang memerintah kerajaan yang kecil. Dan ini adalah satu salinan kecil Diri (Zat)Nya dan KerajaanNya. Dalam kerajaan kecil pada manusia itu, Arash itu ialah Ruhnya; ketua segala Malaikat itu ialah hatinya, Kursi itu otaknya, Luh Mahfuz itu ruang khazanah khayalan atau pikirannya. Ruh itu tidak bertempat dan tidak bisa dibagikan dan ia memerintah tubuhnya sebagaimana Alloh memerintah Alam Semester Raya ini. Pendeknya, tiap-tiap orang manusia itu diamanahkan dengan satu kerajaan kecil dan diperintahkan supaya jangan lengah dan lalai mengatur kerajaan itu.
Berkenaan dengan mengenal ciptaan Alloh Subhanahuwa Taala, ada banyak derajat pengetahuan. Ahli Ilmu Alam yang biasa adalah ibarat semut yang merangkak atas sekeping kertas dan memperhatikan huruf-huruf hitam terbentang di atas kertas itu dan merujukkan sebab kepada pena atau qalam itu saja.
Ahli Ilmu Falak adalah ibarat semut yang luas sedikit pandangannya dan nampak jari-jari tangan yang menggerakkan pena itu, yaitu ia tahu bahwa unsur-unsur itu adalah daya bintang-bintang, tetapi dia tidak tahu bahwa bintang itu adalah di bawah kuasa Malaikat.
Oleh karena berbeda-bedanya derajat
pandangan manusia itu, maka tentulah timbul perbedaan hasil atau
kesan. Mereka yang tidak memandang lebih jauh dari fenomena alam nyata
ini adalah ibarat orang yang mengganggap hamba abdi yang paling rendah itu
sebagai raja.
Walau
bagaimanapun, adalah salah besar menganggap hamba itu tuannya.
Karena ada perbedaan ini, maka pertengkaran akan terus terjadi. Ini adalah ibarat orang buta yang hendak mengenal gajah. Seseorang memegang kaki gajah itu lalu dikatakannya gajah itu seperti tiang. Seorang lain memegang gadingnya lalu katanya gajah itu seperti kayu bulat yang keras. Seorang lagi memegang telinganya lalu katanya gajah itu macam kipas.
Tiap-tiap seorang mengganggap
bagian-bagian itu sebagai keseluruhan. Dengan itu, ahli ilmu alam
dan ahli ilmu Falak menyanggah hukum-hukum yang mereka dapat dari ahli-ahli
hukum. Kesalahan dan sangkaan seperti itu terjadi juga kepada Nabi
Ibrahim seperti yang tersebut dalam Al-Quran, Nabi Ibrahim menghadap
kepada bintang, bulan dan matahari untuk disembah. Lama kelamaan
beliau sadar siapa yang menjadikan semua-benda-benda itu, lalu bisa
berkata,
"Saya
tidak suka kepada yang tenggelam."
Kita selalu mendengar orang merujuk
kepada sebab yang kedua bukan kepada sebab yang pertama dalam hal apa yang
digelar sakit. Misalnya; jika seseorang itu tidak lagi
cenderung kepada keduniaan, segala keindahan tidak lagi
dipedulikannya, dan tidak peduli apa pun, maka dokter
mengatakan, "Ini
adalah penyakit gundah gulana, dan ia perlu obat ini A"
Ahli fisika akan berkata "Ini adalah kekeringan otak
yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak dapat dilegakan kecuali udara
menjadi lembab."
Ahli nujum akan mengatakan bahwa itu adalah pengaruh
bintang-bintang.
"Hanya
itulah kebijaksanaanya mereka" Kata
Al-Quran, tidaklah mereka tahu bahwa sebenarnya apa yang terjadi ialah:
Alloh Subahana Wataala memberi kebajikan orang yang sakit itu dan dengan
itu memerintahkan hamba-hambanya seperti bintang-bintang atau
unsur-unsur, mengeluarkan keadaan seperti itu kepada orang itu agar ia
berpaling dari dunia ini mengadap kepada Tuhan yang menjadikannya.
Pengetahuan tentang hakikat ini adalah sebuah mutiara yang amat bernilai dari lautan ilmu yang berupa Ilham; dan ilmu-ilmu yang lain itu jika dibandingkan dengan Ilmu Ilham ini adalah ibarat pulau-pulau dalam lautan Ilmu Ilham itu.
Dokter, Ahli Fisika dan Ahli Nujum itu memang betul dalam bidang ilmu mereka masing-masing. Tetapi mereka tidak tahu bahwa penyakit itu bisa dikatakan sebagai "Tali Cinta" , yang dengan tali itu Alloh menarik AuliaNya kepadaNya. Berkenaan ini Alloh ada berfirman yang bermaksud;
"Aku
sakit tetapi engkau tidak melawat Aku".
Sakit itu sendiri adalah satu bentuk
pengalaman yang dengannya manusia itu bisa mencapai pengetahuan tentang Alloh
sebagaimana firman Alloh melalui mulut Rasul-rasulNya,
"Sakit
itu sendiri adalah hambaKu dan disertakan kepada orang-orang pilihanKu".
Dengan ulasan-ulasan yang terdahulu, dapatlah kita meninjau lebih mendalam lagi maksud kata-kata yang selalu diucapkan oleh orang-orang yang beriman yaitu,
"Maha
Suci Alloh" (SubhanAlloh)
"Puji-pujian Bagi Alloh (Alhamdulillah)
"Tiada Tuhan Melainkan Alloh (La ilaha illAlloh)
"Alloh Maha Besar" (Allohu Akbar).
"Puji-pujian Bagi Alloh (Alhamdulillah)
"Tiada Tuhan Melainkan Alloh (La ilaha illAlloh)
"Alloh Maha Besar" (Allohu Akbar).
Berkenaan dengan "Allohu Akbar" itu bukanlah bermaksud Alloh itu lebih besar (secara fisik) dari makhluk, karena makhluk itu adalah penampakan-Nya sebagaimana cahaya memperlihatkan matahari. Tidaklah bisa dikatakan matahari itu lebih besar daripada cahayanya. Ia bermaksud yaitu Kebesaran Alloh itu tidak dapat diukur dan melampaui jangkauan kesadaran, dan kita hanya bisa membentuk gambaran yang tidak sempurna dan tidak nyata berkenaanNya.
Jika seorang anak-anak bertanya kepada kita untuk menerangkan enaknya mendapat pangkat yang tinggi, kita hanya dapat mengatakan seperti perasaan anak-anak itu tatkala sedang bermain bola, meskipun pada hakikat kedua-dua itu tidak ada persamaan langsung, kecuali hanya kedua-dua hal itu termasuk dalam jenis kesenangan.
Oleh yang demikian, kata-kata "Allohu Akbar" itu berarti Kebesaran itu melampaui semua kuasa pengenalan dan pengetahuan kita. Tidak sempurna pengenalan kita berkenaan Alloh itu, bukan dengan pikiran saja tetapi adalah disertai oleh ibadat dan pengabadian kita.
Apabila seorang itu mati, maka ia berhubungan dengan Alloh saja. Jika kita hidup dengan orang lain, kebahagiaan kita bergantung kepada derajat kemesraan kita terhadap orang itu.
Cinta itu adalah benih kebahagiaan, dan Cinta kepada Alloh itu dituju dan dibangun melalui ibadat.
Ibadat dan sentiasa mengenang Alloh itu memerlukan kita supaya bersikap sederhana dan mengekang kehendak-kehendak tubuh. Ini bukanlah berarti semua kehendak tubuh itu dihapuskan; karena itu akan menyebabkan punahnya manusia. Apa yang diperlukan ialah membatasi kehendak-kehendak tubuh itu. Oleh karena seseorang itu bukanlah Hakim yang paling bijak untuk mengadili dirinya sendiri tentang batas itu, maka ia lebih baik merundingi pemimpin-pemimpin keruhanian dalam hal ini, dan hukum-hukum yang mereka bawa melalui Wahyu Ilahi menentukan batas yang harus diperhatikan dalam hal ini.
….,
Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
lalim. (Al-Baqarah; 229).
Walaupun Al-Qur'an telah memberi keterangan yang nyata, masih ada juga orang yang melanggar batas karena kejahilan mereka tentang Alloh dan kejahilan ini adalah karena beberapa sebab,
Pertama, ada golongan manusia yang terus mencari Alloh melalui pikiran, lalu mereka membuat kesimpulan dengan mengatakan tidak ada Tuhan dan alam ini terjadi dengan sendirinya atau wujudnya tanpa permulaan. Mereka ini seperti orang yang melihat surat yang tertulis dengan indahnya, dan mereka mengatakan surat itu sedia tertulis tanpa penulis atau ada begitu saja.Orang yang seperti ini telah jauh tersesat dan tidak berguna berhujah dan bertengkar dengan mereka. Setengah daripada orang-orang seperti ini adalah Ahli Fizika dan Ahli Bintang yang telah kita sebutkan di atas tadi.
Kedua, orang karena kejahilan tentang keadaan sebenarnya Ruh itu. Mereka menyangkal adanya hidup di Akhirat dan menyangkal manusia itu diadili di sana . Mereka anggap diri mereka itu satu taraf dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan dan akan hancur begitu saja.
Ketiga, orang yang percaya dengan Alloh dan Hari Akhirat, tetapi kepercayaan atau Iman mereka itu sangat lemah. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri,
Pikiran mereka ini seperti orang
sakit yang disuruh makan obat, tetapi ia berkata,
"Apa
untung atau ruginya dokter itu jika aku makan obat atau tidak makan obat?"
.
Memang tidak terjadi apa-apa kepada
dokter itu tetapi orang itulah yang akan bertambah sakit karena bodohnya.
Tubuh yang sakit berakhir dengan mati. Maka Ruh atau Jiwa yang
sakit berakhir dengan kesusahan dan siksaan di akhirat nanti, seperti
firman Alloh Taala dalam Al-Qur'an yang bermaksud :
"Hanya Dan barang siapa kafir
maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kami-lah mereka
kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (Luqman-23)
Keempat, ialah mereka yang berkata;
"Hukum
Syariat menyuruh kita jangan marah, jangan menurut nafsu, jangan
bersikap munafik. Ini tidak mungkin karena sifat-sifat ini memang
telah ada semula jadi pada kita. Lebih baik tuan suruh saya membuat yang
hitam itu jadi putih".
Mereka ini sebenarnya bodoh. Mereka jahil dengan hukum Syariat. Hukum Syariat tidak menyuruh manusia membuang sama sekali perasaan itu, tetapi hendaklah dikendalikan supaya tidak melanggar batas yang dibenarkan. Supaya terhindar dari dosa besar, dan kita bisa memohon keampunan terhadap dosa-dosa kita yang kecil. Sedangkan Rasulullah ada bersabda,
"Saya
ini manusia juga seperti kamu, dan marah juga seperti orang lain".
Firman Alloh dalam Al-Qur'an:
Dan berapa banyak nabi yang
berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa.
Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah,
dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai
orang-orang yang sabar. (Al-Imran:146)
Ini berarti bukan mereka yang tidak ada perasaan marah.
Kelima, ialah mereka yang menekankan Kemurahan Tuhan saja tetapi menepikan KeadilanNya, lalu mereka berkata kepada diri mereka sendiri,
"Kami
buat apa saja karena Alloh itu Maha Pemurah dan Maha Penyayang".
Mereka tidak ingat meskipun Alloh itu Pengasih dan Penyayang, namun beribu-ribu manusia mati kelaparan dan karena penyakit. Meraka tahu, barang siapa hendak hidup atau hendak kaya, atau hendak belajar, mestilah jangan hanya berkata, "Alloh itu Kasih Sayang". tetapi perlulah ia berusaha sungguh-sungguh. Meskipun ada firman Alloh dalam Al-Qur'an :
Dan tidak ada suatu mahluk pun di
bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam
mahluk itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata
(Lohmahfuz). (Hud:06)
tetapi hendaklah juga ingat Alloh
juga berfirman :
Dialah yang menjadikan untukmu malam
(sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk
bangun berusaha. (Furqon:47)
Sebenarnya mereka yang berpendapat di atas itu adalah dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka berkata di mulut saja, bukan di hati.
Keenam, pula menganggap mereka telah sampai ke taraf kesucian dan tidak berdosa lagi. Tetapi kalau anda layani mereka dengan kasar dan tidak hormat, anda akan dengar mereka marah dan bertahun-tahun mencela anda. Dan jika anda ambil makanan sesuap saja yang patut, seluruh alam ini kelihatan gelap dan sempit pada perasaan mereka. Kalau pun mereka itu telah dapat menakluki hawa nafsu mereka, mereka tidak berhak menganggap dan mengatakan diri mereka itu tidak berdosa lagi, karena Nabi Muhammad SAW. sendiri, manusia yang paling tinggi darajatnya, sentiasa mengaku salah dan memohon ampun kepada Alloh. Setengah daripada Rasul-rasul itu sangat takut berbuat dosa sehingga pada hal- hal yang halal pun mereka menghidarkan diri .
Diriwayatkan, suatu hari Nabi Muhammad SAW. telah diberi sebiji Tamar. Beliau enggan memakannya kerena beliau tidak pasti Tamar itu didapati secara halal atau tidak. Tetapi mereka menelan arak berbotol-botol banyaknya dan berkata mereka lebih mulia daripada Nabi. (Saya gemetar semasa menulis ini) . Pada hal sebutir Tamar pun tidak disentuh oleh Nabi jika belum pasti sama ada halal atau tidak. Sesungguhnya mereka telah diseret dan disesatkan oleh Iblis.
Aulia Alloh yang sebenarnya
mengetahui bahwa orang yang tidak menundukkan hawa nafsunya tidak patut
dipanggil "orang"
dan orang Islam yang sebenarnya ialah
mereka yang dengan rela hati, tidak mahu melanggar Syariat.
Mereka yang melanggar Syariat adalah sebenarnya dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka ini sepatutnya bukan dinasihati dengan pena, tetapi adalah sewajarnya dengan pedang.
Sufi-sufi yang palsu ini kadang-kadang berpura-pura tenggelam dalam lautan keheranan atau tidak sadar, tetapi jika anda tanya mereka apakah yang mereka heirankan itu, mereka tidak tahu. Sepatutnya mereka disuruh menungkan keheranan sebanyak-banyak yang mereka suka, tetapi di samping itu hendaklah ingat bahwa Alloh Subhanahuwa Taala itu adalah Pencipta mereka dan mereka itu adalah hamba Alloh saja.
Komentar
Posting Komentar