DALIL-DALIL TENTANG WAJIBNYA HIJAB

Dalil-Dalil Dari Al Qur’an Al Karim

Dalil Pertama

Firman-Nya  :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ ِلأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا
Artinya :Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 33:59)

• Perkataan Al Imam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ath Thabriy, beliau rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini : Allah  mengatakan kepada Nabi-Nya Muhammad  : Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:" janganlah kalian/wanita menyerupai budak dalam hal pakaiannya, jika mereka keluar rumah untuk keperluannya, mereka membuka rambut dan mukanya, tapi hendaklah mereka mengulurkan jilbab (jubah)nya keseluruh tubuh mereka agar tidak diganggu orang jahat jika dia tahu bahwa mereka itu wanita merdeka dengan gangguan perkataan “ kemudian ahli tafsir berbeda pendapat tentang cara mengulurkan yang diperintahkan Allah kepada mereka , sebagian mengatakan:

 Para wanita menutup muka dan kepalanya dan tidak menampakkan kecuali satu mata saja. Beliau menyebutkan orang yang mengatakannya : Telah memberitahukan kepada saya Ali, dia berkata Abu Shalih telah meberitahukan kepada kami, dia berkata Muawiyyah telah memberitahukan kepada saya dari Ali dari Ibnu Abbas ,firman-Nya,”Allah memerintahkan wanita wanita mukminat bila keluar dari rumah untuk suatu kebutuhan agar menutup wajah mereka dengan jilbab yang diulurkan dari atas kepalanya dan hanya menampakan satu mata mereka saja
 Ya’qub telah memberi tahu saya, dia berkata Ibnu ‘Ulayyah telah memberi kabar kami dari Ibnu Aun dari Muhammad dari Ubaidah dalam firman-Nya,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" maka Ibnu Aun mengenakannya di depan kami, dia berkata : Dan Muhammad mengenakannya di depan kami, Muhammad berkata : Ubaidah mengenakannya di depan kami, Ibnu berkata : Dengan kain rida’nya, terus beliau menutupi kepalanya dengan kain itu, terus menutupi hidungnya dan mata yang kiri dan mengeluarkan mata kanannya, dan mengulurkan rida’nya dari atas sampai menjadikannya dekat dengan alisnya atau pada alisnya.
 Ya’qub telah memberi kabarku, berkata : Husyaim telah mengkabarkan kami, berkata : Hisyam telah mengkabarkan kami, dari Ibnu Sirin, berkata : saya bertanya kepada Ubaidah tentang firman-Nya,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" berkata : Maka beliau memperaktekan dengan kainnya, beliau tutup kepala dan wajahnya dan hanya menampakan salah satu mata.
 Yang lain berkata : bahkan mereka wanita diperintahkan agar mengikatkan jilbabnya pada kening-keningnya, beliau menyebutkan orang yang mengatakannya : Muhammad Ibnu saad telah mengabarkan kami, berkata : bapakku telah mengabarkanku, berkata : Pamanku telah mengabarkanku, berkata : bapakku telah mengabarkanku, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas , firman-Nya,” ,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Berkata : Wanita merdeka pernah memakai baju budak, maka Allah memerintahkan wanita kaum mu’minin agar mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, dan penguluran jilbab itu adalah : Bertaqannu’ dan mengikatkannya pada keningnya. Busyr telah memberiahukan kepada kami, berkata : Yazid telah mengabarkan kepada kami, berkata : said telah mengabarkan kepada kami, dari Qatadah, firman-Nya,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka"Allah mewajibkan mereka bila keluar untuk bertaqannu’ di keningnya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,” dahulu budak bila lewat, maka mereka (orang-orang fasik dan munafik) mengganggunya, maka Allah melarang wanita-wanita merdeka menyerupai wanita-wanita budak.
 Muhammad Ibnu Amr telah mengkabarkan kepada kami, berkata : Abu ‘Ashim telah mengkabarkan kepada kami, berkata : Isa telah mengkabarkan kepadaku, dan telah mengkabarkan kepadaku Al Harits, berkata : Al hasan telah mengkabarkan kepada kami, berkata : Warqaa’ telah mengabarkan kepada kami semuanya, dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid, Firman-Nya,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" mereka berjilbab supaya diketahui bahwa mereka itu wanita-wanita merdeka, sehinghga orang fasik tidak mengganggunya baik dengan perkataan atau ribah…
 Firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,” Allah  berkata : Penguluran mereka akan jilbab-jibabnya itu bila mana mereka mengulurkannya ke seluruh tubuhnya adalah lebih dekat dan lebih mudah untuk dikenal oleh orang yang mereka lewati, dan mereka (laki-laki) mengetahui bahwa mereka itu bukan budak, sehingga mereka enggan mengganggunya dengan perkataan yang tidak baik atau dengan perlakuan kurang sopan,” Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” terhadap mereka untuk menyiksanya setelah mereka taubat dengan mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuhnya.

• Al Imam Abu Bakar Ahmad Ibnu Ali Ar Raziy Al Jashshash (Wafat 370 H) rahimahullah berkata : Abdullah Ibnu Muhammad telah memberi kabar kami, berkata : Al Hasan telah mengkabari kami, berakata : Abdurrazzaq telah mengkabari kami, berkata : Ma’amar telah mengkabari kami dari Abu Khaitsam dari Shafiyyah Bintu Syaibah dari Ummu salamah, berkata : Tatkala ayat ini turun,” ,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” wanita-wanita dari kalangan Anshar keluar (dari rumah) seolah-olah di atas kepala mereka ada gagak karena pakaian hitam yang mereka kenakan.”
Abu Bakar berkata :Dalam ayat ini ada dalalah (dalil yang menunjukan) bahwa wanita muda diperintahkan untuk menutup wajahnya dari laki-laki lain, dan (diperintahkan) untuk menampakan ketertutupan dan ‘iffah ketika keluar agar orang-orang fasiq tidak berhasrat terhadapnya. Dan di dalam ayat ini ada dilalah bahwa wanita budak tidak diwajibkan untuk menutup wajah dan rambutnya karena firman-Nya,” dan isteri-isteri orang mu'min,” dzahirnya bahwa itu adalah wanita-wanita merdeka.dan begitu juga diriwayatkan dalam tafsir agar mereka itu tidak seperti budak-budak yang mereka itu tidak diperintahkan untuk menutup kepala dan wajah, maka menutupinya dijadikan sebagai pembeda antara wanita merdeka dengan budak, dan telah diriwayatkan bahwa Umar pernah memukul budak-budak wanita, dan terus berkata : Buka kepala kalian, janganlah berusaha menyerupai wanita-wanita merdeka

• Al Imam Al Faqih ‘Imaduddin Ibnu Muhammad Ath Thabari yang terkenal dengan julukan Ilkiya Al Harras (Wafat 504 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Firman-Nya Ta’ala,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".(59) – Jilbab adalah rida’(jubah), maka Dia memerintahkan mereka (wanita) supaya menutupi wajah dan kepala mereka, dan tidak mewajibkannya terhadap budak.

• Al Imam Muhyi As Sunnah Al Baghawi (Wafat 516 H) rahimahullah dalam Ma’alim At Tanzil dalam menafsirkan ayat itu hanya menuturkan perkataan Ibnu Abbas dan Ubaidah As Salmani di atas saja dan tidak mempedulikan pendapat lain seolah-olah beliau tidak menganggapnya, begitu juga Al Imam Al Khazin rahimahullah melakukan hal serupa.

• Abu Al Qasim Muhammad Ibnu Umar Al Khawarizmiy Az Zamakhsyari yang diberi gelar Jarullah (Wafat 538 H) semoga Allah mengampuninya mengatakan dalam tafsirnya Al Kasysyaf : Makna,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” adalah mereka mengulurkan pakaiannya ke seluruh tubuh mereka, dan dengan jilbab itu mereka menutupi wajah dan pinggangnya. Dikatakan bila pakaian lepasa dari wajah wanita : Adnii tsaubaki ‘alaa wajhiki, dan ini dikarenakan sesungguhnya wanita di awal islam masih seperti mereka pada zaman jahiliyyah berpakaian seadanya, wanita tampak keluar rumah dengan hanya mengenakan baju kurung dan kudung saja, tidak ada perbedaan antara wanita merdeka dengan budak, sedangkan para pemuda dan laki-laki nakal mengganggu wanita-wanita budak bila mereka keluar di malam hari untuk membuang hajat mereka di dekat pohon kurma dan tempat yang sunyi, dan terkadang mereka itu mengganggu wanita-wanita merdeka dengan alasan mereka mengiranya budak, mereka berkata : Kami mengiranya budak. Maka wanita-wanita merdeka diperintahkan agar berpenampilan beda dengan budak dengan memakai jubah (rida’), dan milhafah, menutupi kepala dan wajah agar lebih tertutup dan lebih disegani, sehingga tidak ada orang yang berhasrat, dan itu pada firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” yaitu lebih mudah untuk diketahui sehingga tidak diganggu dan tidak mendapatkan apa yang tidak mereka sukai. Maka bila engkau mengatakan : Apa arti min (dari) pada kalimat,”min jalaabiibihinna,” ? Saya menjawab: Ia itu untuk menujukan sebagian (tab’idl), namun makna tab’idl ini mengandung dua kemungkinan : Pertama : Mereka berjilbab dengan bagian jilbabnya yang mereka kenakan, dan maksudnya adalah agar wanita merdeka tidak boleh keluar rumah dengan hanya mengenakan baju kurung dan kudung saja seperti budak dan orang yang suka sibuk kerja, dan dia itu memiliki dua jilbab di rumahnya atau lebih. Kedua : Wanita mengulurkan sebagian jilbabnya atau sisa kain jilbabnya pada wajahnya dia menutupinya agar berbeda dengan budak, dan dari Ibnu Sirin : Saya bertanya kepada Ubaidah As Salmani tentang hal itu, maka beliau menjawab : Ia (wanita) meletakan rida’nya di atas alisnya, kemudian dia melingkarkannya sehingga ia meletakannya di atas hidungnnya, dan dari As Suddiy : Ia menutupi salah atu matanya dan keningnya dan sisi lain kecuali mata, dan dari Al Kisaiy : Mereka bertaqannu’ dengan milhafahnya sambil menyelimutkannya ke seluruh tubuhnya, maksud dari menyelimutkan adalah mengulurkannya.

• Al Imam Al Qadli Abu Bakar Muhammad Ibnu Abdillah yang terkenal dengan Ibnu Al ‘Arabi Al Maliki (Wafat 543 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Masalah kedua : Orang berbeda pendapat tentang menjelaskan makna jilbab dengan lafadh-lafadh yang berdekatan, semuanya berputar bahwa jilbab itu adalah kain yang menutupi seluruh tubuh, namun mereka bermacam-macam dalam mengungkapkannya di sana, dikatakan ia adalah rida’, dan dikatakan pula dia adalah qina’. Masalah ketiga : Firman-Nya Ta’ala,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” dikatakan maknanya : Dia dengan jilbab itu menutup kepalanya dari atas khimarnya (kerudungnya), dikatakan pula : Dia dengan jilbab itu menutupi wajahnya sehingga tidak ada yang nampak darinya kecuali mata kiri saja. Masalah keempat : Dan yang menyebabkan mereka (para ahli tafsir) bermacam-macam dalam mengungkapkan makna jilbab ini adalah bahwa mereka melihat bahwa penutupan dan hijab adalah bagian dari penjelasan yang telah lalu, dan telah diketahui maknanya, dan tambahan ini datang menambahnya, dan dibarengi dengan qarinah yang sesudahnya yaitu yang menjelaskannya, dan itu adalah firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal ,” dan yang dhahir bahwa hal itu adalah menyebabkan mudahnya dikenal di saat menutupi diri, maka ini menunjukan pada hal berikut ini : Masalah kelima : Bahwa ini bermaksud membedakannya dari budak yang biasa berjalan dengan membuka kepala, atau dengan satu qina’, mereka diganggu oleh laki-laki dan diajak bicara, maka bila ia (wanita merdeka) berjilbab dan menutupi diri, maka hijab itu menjadi penghalang antara dia dengan orang yang mengganggu dengan pengajakan bicara dan menyakitinya, dan telah dikatakan- yaitu : Masalah keenam : Sesungguhnya yang dimaksud dengan hal itu adalah orang-orang munafiq. Qatadah berkata : Wanita budak bila mereka lewat selalu diganggu oleh orang-orang munafiq, maka Allah melarang wanita-wanita merdeka dari menyerupai wanita-wanita budak, agar tidak terkena sepert gangguan ini. Dan telah diriwayatkan bahwa Umar Ibnu Al Khaththab pernah memukul wanita-wanita budak karena mereka menutupi dirinya, beliau berkata : Apakah kalian menyerupai wanita-wanita merdeka ? dan hal ini jelas dari rangkaian pengaturan syari’at.

• Al Imam Abul Faraj Jamaluddin Abdurrahman Ibnu Ali Ibnu Muhammad Ibnu Al jauzi Al Qurasyi Al Baghdadiy Al Hambali (Wafat 597 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Sebab Nuzul ayat ini adalah bahwa orang-orang fasiq suka mengganggu kaum wanita bila mereka keluar di malam hari, mereka bila melihat wanita mengenakan qina’(penutup kepala dan wajah) mereka tidak mengganggunya dan mengatakan : Ini adalah wanita merdeka,’ dan bila melihatnya tidak mengenakan qina’ mereka mengatakan : Ini adalah budak,” maka mereka mengganggunya. Maka turunlah ayat ini, ini dikatakan oleh As Suddiy. Firman-Nya Ta’ala,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,”Ibnu Qutaibah berkata ; Mengenakan rida’ (jubah) dan yang lain mengatakan : Mereka menutup kepala dan wajahnya agar diketahui bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah,” yaitu lebih pantas dan lebih dekat,” untuk dikenal,” bahwa mereka itu adalah wanita-wanita merdeka,” karena itu mereka tidak diganggu.”

• Al Imam Fakhruddion Muhammad Ibnu Umar Ibnu Al Husain Ibnu Al Hasan Ar Raziy (wafat 606 H) berkata dalam tafsir Al Kabir : Dahulu zaman Jahiliyyah wanita merdeka dan wanita budak keluar (rumah) dengan terbuka, yang membuat diikuti oleh para pezina, dan terkena tuduhan, maka Allah memerintahkan wanita-wanita merdeka agar berjilbab, dan firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” Dikatakan : Diketahui bahwa mereka itu adalah wanita-wanita merdeka, maka tidak diikuti (oleh para pezina), dan bisa dikatakan : Yang dimaksud adalah bahwa mereka itu tidak pernah berzina, karena wanita yang menutupi wajahnya-padahal bukan aurat - tidak diharapkan darinya bahwa dia itu mau membukakan auratnya, maka diketahui bahwa mereka itu selalu tertutup, tidak mungkin diajak berzina.

• Al Imam Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad Al Anshariy Al Qurthubi Al Maliki (Wafat 671 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Karena kebiasaan wanita-wanita arab adalah berpakaian seadanya saja, dan mereka itu membuka wajah-wajahnya sebagaimana yang dilakukan oleh budak, sedang hal seperti ini mengundang pandangan laki-laki terhadapnya sehingga pikiran mereka menghayal terhadapnya, maka Allah memerintahkan Rasul-Nya  untuk memerintahkan kaum wanita agar mengulurkan jilbab-jilbabnya keseluruh tubuhnya di kala keluar untuk hajat-hajat mereka…..

Al Qurthubi berkata lagi : Firman-Nya,” mengulurkan jilbabnya,” jalaabib adalah bentuk jamak dari jilbab yaitu kain yang lebih lapang dari khimar (kerudung), dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud bahwa jilbab adalah rida’ (jubah), dikatakan juga bahwa jilbab adalah Qina’, dan yang benar sesungguhnya jilbab adalah kain /pakaian yang menutupi seluruh tubuh, sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Muslim dari Ummu ‘Athiyyah, beliau berkata : Wahai Rasulullah ! seseorang diantara kami ada yang tidak mempunyai jilbab ? Rasulullah berkata : Hendaklah saudarinya memberikan kepada jilbab….”

Dan beliau rahimahullah menghikayatkan sebuah atsar dari Umar Ibnu Al Khaththab  beliau berkata : Apa yang mencegah wanita muslimah bila dia mempunyai hajat dia keluar sambil menyembunyikan diri dengan mengenakan pakaian lusuhnya atau pakaian lusuh tetangganya, tidak ada seorang pun yang mengenalinya sampai dia pulang kembali kerumahnya.

Al Qurthubi rahimahullah berkata lagi : Firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” yaitu wanita-wanita merdeka, sehingga tidak bercampur dengan budak. Bila diketahui bahwa mereka itu adalah wanita merdeka maka mereka tidak akan mendapatkan gangguan sedikitpun karena memandang kemerdekaannya, sehingga hasrat mengganggu pun terputus darinya, bukan maksudnya supaya dikenal siapa dia , Umar  bila melihat budak memakai qina’ beliau memukulnya dengan tongkatnya, demi menjaga pakaian wanita merdeka, dan ini sebagaimana para sahabat Nabi  melarang para wanita mendatangi mesjid setelah Rasulullah  wafat, padahal Rasulullah pernah bersabda,”Janganlah kalian melarang wanita dari mendatangi mesjid Allah,” sampai-sampai Aisyah radhiyallahu 'anha mengatakan,” Seandainya Rasulullah  masih hidup sampai sekarang ini, tentu beliau pasti melarang para wanita dari keluar (rumah), sebagaimana wanita-wanita Bani Israil telah dilarang,”, ,”Dan Maha pengampun lagi Maha Penyayang” merupakan penghibur bagi para wanita karena meninggalkan berjilbab sebelum ada perintah pensyariatannya

• Al Imam Al Qadli Nashiruddin Abdullah Ibnu Umar Al Baidlawi Asy Syafii’ (Wafat 691 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya :,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” artinya hendaklah mereka menutupi wajah-wajahnya dan tubuhnya dengan milhafah (Jubah) bila mereka keluar untuk suatu kebutuhan.Dan min (dari) adalah untuk menunjukan sebagian (tab’idl), karena sesungguhnya wanita mengulurkan sebagian jilbabnya, dan berselimut dengan sebagian yang lainnya,” Dan yang demikian ittu agar mereka lebih mudah untuk dikenal,” yaitu dibedakan dari wanita budak dan para penyanyi,”maka mereka tidak diganggu,” orang-orang jahat tidak mengganggu mereka,” Dan Maha pengampun,” terhadap yang telah lalu,”lagi maha penyayang,” terhadap hamba-hambanya karena selalu memperhatikan kemashlahatan mereka sampai hal-hal yang kecil.

• Al Allamah Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Syihabuddin Al Khaffajiy (1069 H) rahimahullah berkata dalam catatan kakinya atas tafsir Al Baidlawiy dalam rangka mensyarah point sebelumnya darinya : Perkataannya : (Dan min untuk tab’idl,,,) dan telah dikatakan dalam Al Kasysyaf bahwa itu mengandung dua kemungkinan : Mereka berjilbab dengan masing jilbab-jilbab yang mereka kenakan, maka berarti bagian itu adalah salah satu darinya, atau yang dimaksud adalah bagian dari setiap jilbab itu, dengan cara mengulurkan sebagian kain jilbabnya, sedangkan bagian yang lainnya dikenakan di wajah, dia bertaqannu’ dengannya, dan berjilbab sesuai kemungkinan pertama maknanya berhijab menutupi seluruh tubuhnya, dan berarti taqannu’ menutupi kepala dan wajah di sini adalah dengan disertai mengulurkan sisanya ke seluruh badan, dan firman-Nya,” Hendaklah mereka mengulurkan,” ini ada kemungkinan sebagai maquulul qaul (yang diucapkan),yaitu pemberitaan yang bermakna perintah atau jawaban perintah sebagaimana sejalan dengan firman-Nya,”Katakan kepada hamba-hambaku yang telah beriman,” Hendaklah mereka mendirikan shalat,” dan jilbab adalah izar yang lebar yang diselimutkan, maka apa yang dikatakan : ( Sesungguhnya ungkapan,” ‘alaihinna,” berbeda dengan,” ‘ ala wujuuhihinna,” dan beliau telah menafsirkannya dengan menutupi wajah dan seluruh tubuhnya dengan jilbab itu, maka bagaimana bisa benar kalau begitu pernyataan bahwa(min) itu berfaidah tab’idl, karena kalimat sebagian itu tidak benar diletakan sebagai makna min kecuali bila ada sebagian jilbab yang masih tersisa tidak dipakai pada wajah dan badan) adalah tidak usah diperhatikan (bukan pernyataan yang benar), karena firman-Nya,”’Alaihinna (ke seluruh tubuh mereka) bisa dengan taqdir mudlaf, jadi maknanya ‘alaa ru’uusihinna atau wujuuhihinna, atau karena sudah dimafhumi darinya meskipun tidak ada taqdir, dan adapun perkataannya : badan-badannya, maka itu adalah penjelasan bagi kenyataan, karena sesungguhnya wanita bila mengulurkan sebagian kain jilbabnya pada wajah maka sudah dipastikan sebagian yang lain tersisa pada badan, namun yang diperintahkan adalah menarik yang sebagian itu, karena dengannya badan bisa terjaga. Perkataannya : dari wanita-wanita budak dan para penyanyi, ini adalah meng’atafkan dua hal yang sama-sama artinya, atau yang dimaksud dengan para penyanyi itu adalah para pelacur, dan adapun bila yang dimaksud adalah biduanita maka ini tidak benar. Dan perkatannya : mereka (wanita merdeka) dibedakan, maksud dengan ma’rifah adalah membedakan secara majaz karena itulah yang dimaksud, dan seandainya dibiarkan pada maknanya, maka tetap benar, As Subkiy berkata dalam Thabaqatnya : Ahmad Ibnu Isa dari kalangan ahli fiqhi madzhab Syafii beristinbath dari ayat ini bahwa apa yang dilakukan oleh para ulama dan para tokoh berupa merubah pakaian dan surban mereka adalah hal yang bagus, meskipun tidak pernah dilakukan oleh salaf, karena dengan hal ini mereka memiliki ciri khusus agar dikenal, sehingga perkataan mereka diamalkan . Perkataannya : (terhadap yang telah lalu) bukan maksudnya perintah berjilbab sebelum ayat ini turun, sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada dosa sebelum datangnya perintah dalam syariat, ini adalah berdasarkan madzhab Mu’tazilah dan penghukuman jelek menurut akal semata, namun yang dimaksud adalah dosa-dosa kalian yang lalu yang telah dilarang secara muthlaq, maka itu diampuni bila Dia menghendaki, dan seandainya diterima bahwa yang dimaksud adalah itu, maka larangan akan hal itu sudah diketahui dari ayat hijab secara dalil iltizam. Dan dikatakan : Yang dimaksud adalah bagi kemungkinan terjadinya kekurangan dalam menutupi.

• Al Imam Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Mahmud An Nasafi Al Hanafi (Wafat 701 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya :,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” yaitu mereka mengulurkannya keseluruh tubuhnya dan menutupi wajah dan pinggangnya dengan jilbab itu. Dikatakan bila pakaian terurai dari wajah wanita : Adnii Tsaubaki ‘Alla Wajhiki ,dan lafadh Min adalah littab’idl, jadi maknanya : Dia mengulurkan sebagian jilbabnya dan selebihnya pada wajahnya.

Peringatan : Wanita budak harus berhijab bila hawatir fitnah.
Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H) rahimahullah berkata : ( Dan begitu juga wanita budak (amah) bila dikhawatirkan menimbulkan fitnah, maka dia harus mengulurkan sebagian jilbabnya (pada wajahnya) dan berhijab, serta wajib menundukan pandangan baik darinya ataupun dia sendiri. Dan tidak ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah dalil yang mebolehkan memandang wanita seluruh budak, dan tidak ada pula dalil yang membolehkan dia tidak berhijab dan menampakan perhiasannya, namun Al Qur’an tidak memerintahkannnya seperti perintah kepada wanita merdeka, dan As Sunnah membedakan secara praktek antara mereka dengan wanita merdeka, dan tidak membedakan antara mereka dengan lafadh yang umum, namun sudah menjadi kebiasaan kaum mu’minin adalah wanita merdeka diantara mereka berhijab sedangkan yang budak tidak, dan Al Qur’an juga mengecualikan wanita-wanita tua yang sudah tidak berhasrat dan tidak menarik, Al Qur’an tidak mewajibkan hijab atas mereka, dan Al Qur’an juga mengecualikan dari kalangan laki-laki yaitu laki-laki yang sudah tidak ada hajat lagi terhadap wanita, maka pengecualian itu diberlakukan terhadap sebagian wanita budak adalah lebih utama dan lebih layak, yaitu wanita-wanita budak yang bisa menimbulkan fitnah dan hasrat bila mereka tidak berhijab dan malah menampakan perhiasannya, dan sebagaimana wanita tidak boleh menampakan perhiasannya kepada anak tirinya yang berhasrat dan berkeinginan syahwat, kemudian khithab itu datang secara umum biasanya, maka yang keluar dari biasanya keluar pula dengan khithab itu dari sejawatnya, sehingga bila ternyata tampaknya wanita budak dan memandangnya itu menimbulkan fitnah, maka wajib hal itu dicegah sebagaimana bila terjadi bukan dalam hal itu).
Orang-orang yang menafikan hikmah dan ta’lil mengklaim bahwa syariat telah membedakan antara dua hal yang sama dan menggabungkan antara dua hal yang berbeda, dan untuk memperkuat keyakinannya itu mereka berdalih dengan beberapa hal diantaranya : Dintaranya : Syariat mengharamkan memandang wanita tua yang buruk rupa bila dia itu wanita merdeka, dan membolehkan memandang wanita budak yang cantik jelita. Sungguh Al Imam Al Muhaqqiq Syamsuddin Muhammad Ibnu Abu Bakar Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah membantah mereka dengan bantahan yang detail atas dalil-dalil mereka, dan di antara bantahan yang beliau kemukakan untuk menohok syubhat yang tadi adalah :
(Dan Adapun (pernyataan) pengharaman memandang wanita tua merdeka yang buruk rupa, dan bolehnya memandang wanita budak yang cantik jelita, maka itu adalah suatu kedustaan terhadap syariat, di mana Allah mengharamkan ini dan membolehkan itu ? Allah  hanyalah mengatakan,”Katakanlah kepada orang-orang mu’min,” Hendaklah mereka menahan pandangannya,” dan Allah tidak membiarkan bagi mata untuk memandang kepada wanita budak yang canti jelita, dan bila khawatir fitnah karena akibat memandang budak, maka haram atasnya memandang kepadanya tanpa ragu lagi.
Dan syubhat ini hanyalah timbul karena Allah mensyariatkan wanita-wanita merdeka agar menutupi wajah mereka dari pandangan laki-laki lain, dan adapun budak, maka hal itu tidak diwajibkan, namun ini tentunya bagi wanita budak yang biasa-biasa saja yang dipekerjakan, adapun wanita-wanita budak yang biasa di tasarri yang pada biasanya mereka itu terjaga dan tertutup, maka di mana Allah dan Rasul-Nya membolehkan bagi mereka membuka wajahnya di pasar, di jalanan, dan di tempat ramai, serta membolehkan bagi laki-laki menikmati dengan memandanginya ?
Maka ini sungguh suatu kekeliruan yang murni atas nama syariat, dan kesalahan ini diperkuat dengan kekeliruan yang lebih dasyat yang bersumber dari pernyataan sebagian ahli fiqih, mereka berkata : (Sesungguhnya wanita merdeka itu adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, dan aurat budak adalah apa yang biasa tidak nampak darinya, seperti perut, punggung, dan betis) maka mereka mengira bahwa apa yang biasa nampak darinya itu adalah hukumnya sama dengan hukum wajah laki-laki, sedangkan ini adalah hanyalah di dalam shalat, bukan dalam masalah pandangan, karena sesungguhnya aurat itu ada dua : Aurat di dalam shalat, dan aurat di dalam pandangan, maka wanita merdeka boleh shalat dengan membuka wajah dan kedua telapak tangannya, namun dia tidak boleh keluar dengan membuka wajah dan telapak tangan ke pasar dan tempat ramai, Wallahu ‘Alam.
Dan apa yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Al Imam Al Muhaqqiq Ibnu Al Qayyim rahimahumallah berupa ihtijabnya wanita-wanita budak yang cantik, dan tampaknya budak-budak yang tidak cantik, sungguh telah ditetapkan dengan jelas oleh Al Imam Ahmad rahimahullah, Ibnu Manshur telah menukil darinya, bahwa beliau berkata : Wanita budak tidak boleh memakai niqab,” dan Ibnu Manshur serta Abu Hamid Al Khaffaf telah menukil darinya juga, bahwa beliau berkata : Wanita budak yang cantik hendaklah memakai niqab,”

• Al ‘Allamah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Jazzi Al Kalbi Al Malikii (Wafat 741 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Wanita-wanita arab dahulu biasa membuka wajahnya seperti budak, dan hal itu mengundang perhatian laki-laki terhadapnya, maka Allah  memerintahkan mereka agar mengulurkan jilbab-jilbabnya supaya menutupi wajah-wajahnya sehingga bisa dibedakan antara wanita merdeka dengan budak. Jalaabib adalah bentuk jamak dari jilbab, yaitu pakaian yang lebih besar dari khimar, ada yang mengatakan pula bahwa ia adalah rida’(jubah), cara mengulurkannya menurut Ibnu Abbas  adalah si wanita mengulurkannya pada wajahnya sehingga tidak nampak darinya kecuali satu mata untuk melihat jalan, dan ada yang mengatakan : Dia melilitkannya sehingga tidak nampak kecuali kedua matanya saja. Dan ada yang mengatakan : Dia menutupi separuh wajahnya.
,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,” yaitu yang demikian itu lebih dekat untuk dikenal wanita-wanita merdeka dari wanita-wanita budak, maka bila diketahui bahwa wanita itu adalah wanita merdeka maka dia tidak mendapat gangguan seperti gangguan yang di dapatkan budak. Bukan maksudnya wanita itu dikenal siapa dia, namun maksudnya adalah bisa dibedakan mana wanita merdeka dan mana wanita budak, karena dahulu di Madinah ada wanita-wanita budak yang dikenal nakal, sehingga terkadang diganggu oleh laki-laki nakal.

• Al Imam An Nahwiy Al Mufassir Atsiruddin Abu Abdillah Muhammad Ibnu Yusuf Ibnu Ali Ibnu Hayyan Al Andalusiyy yang terjkenal dengan sebutan Abu Hayyan (Wafat 745 H) rahimahullah berkata di dalam tafsirnya :…… As Suddiy berkata : Dia menutup salah satu matanya, keningnya, dan bagian muka yang lainnya kecuali satu mata saja” Dan beliau rahimahullah berkata lagi : ( Dan yang dhahir bahwa firman-Nya,” Dan wanita-wanita kaum mu’minin,” mencakup wanita-wanita merdeka dan budak, dan fitnah akibat wanita budak adalah lebih banyak karena banyaknya aktifitas mereka, berbeda dengan wanita merdeka, maka mengeluarkan mereka (budak) dari umumnya wanita memerlukan kepada dalil yang jelas , dan ,”min,” pada kalimat ,”jalaabiibihinna,” adalah littab’idl, sedangkan ,”’alaihinna,” mencakup seluruh tubuhnya, atau ,”‘alaihinna,” artinya kepada wajah-wajahnya, karena yang biasa nampak pada zaman jahiliyyah dari diri mereka adalah wajah.,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” karena mereka menutupi diri mereka dengan keiffahan, sehingga mereka tidak diganggu, dan tidak mendapatkan apa yang mereka tidak sukai, karena wanita bila sangat tertutup, maka tidak ada orang yang berani mengganggu, berbeda dengan yang suka bertabarruj, maka dia itu sangat digandrungi.
Fasal
Penjelasan benarnya adanya perbedaan antara wanita merdeka dengan budak dalam masalah hijab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : (Sedangkan hijab itu adalah khusus bagi wanita-wanita merdeka tidak termasuk wanita budak, sebagaimana sunnah kaum mu’minin pada zaman Nabi  dan para khalifahnya : Bahwa wanita merdeka berhijab, sedangkan wanita budak adalah tampak) dan belia rahimahullah berkata : Firman-Nya,”katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" : adalah dalil yang menunjukan bahwa hijab itu hanya diperintahkan kepada wanita-wanita merdeka saja, tidak wanita budak, karena Dia mengkhususkan isteri-isteri dan puteri-puterinya, dan tidak mengatakan hamba sahayamu, dan hamba sahaya isteri-isterimu dan puteri-puterimu, terus mengatakan,” dan isteri-isteri orang mu'min,” sedangkan hamba sahaya tidak masuk dalam jajaran isteri-isteri orang mu’min, sebagaiman tidak masuk dalam firman-Nya,” wanita-wanita islam,” budak-budak yang mereka miliki, sehingga di’athafkan kepadanya dalam dua ayat An Nur dan Al Ahzab , dan ini terkadang dikatakan : Hanyasannya berlaku bagi orang yang mengkhususkan budak-budak yang dimiliki dengan perempuan saja, dan kalau tidak demikian, sesungguhnya orang yang mengatakan : Dia itu mencakup laki-laki dan permpuan atau bagi laki-laki saja, maka pendapat ini peril ditinjau kembali.
Dan juga firman-Nya,”Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ isterinya,” dan firman-Nya,”Orang-orang yang mendhihar isterinya di antara kamu,” yang dimaksud adalah wanitawanita yang diberi mahar (merdeka)bukan budak, maka begitu juga ayat ini, maka ayat penguluran jilbab adalah di saat menampakan diri ke luar rumah, sedangkan ayat hijab adalah di saat berbincang-bincang di dalam rumah, ini di samping dasar yang ada di dalam hadits Shahih, di saat Nabi  memilih Shafiyyah Bintu Huyayy, dan perkataan para sahabat : Bila beliau menghijabinya, berarti dia tergolong Ummahatul Mu’minin, dan kalau tidak berarti dia termasuk hamba sahayanya, menunjukan bahwa hijab itu khusus bagi wanita –wanita merdeka saja.
Dan di dalam hadits itu juga menunjukan bahwa sifat keibuan bagi kaum mu’minin hanya diraih oleh isteri-isteri beliau, tidak hamba-hamba sahayanya yang di-tasarri, dan Al Qur’an tidak menunjukan kecuali kepada itu, karena Dia berfirman,” dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka,” dan firman-Nya,”dan tidak (pula)mengawini isteri-isterinya elama-lamanya sesudah ia wafat,” , dan ini adalah dalil ketiga dari ayat ini, karena, dhamir pada firman-NyaApabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka ,” kembali kepada isteri-isterinya, dan sama sekali tidak ada khithab yang berkenaan dengan hamba sahayanya, namun kebolehan menikahi bekas hamba-hamba sahayanya sesudah beliau wafat masih perlu ditinjau ulang.

Fasal
Penyebutan atsar-atsar dari Umar  yang membedakan antara budak dengan wanita merdeka dalam hal taqannu’ dan jilbab.

Abdur Razak meriwayatkan dalam Mushannafnya : Telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Qatadah dari Anas, bahwa Umar  pernah memukul budak milik keluarga Anas yang beliau lihatnya mengenakan penutup kepala, maka beliau berkata : Buka kepala kamu, jangan sekali-kali kamu menyerupai wanita merdeka,” .

Ibnu Juraij meriwayatkan dari ‘Atha bahwa Umar  pernah melarang wanita-wanita budak dari mengenakan jilbab, karena dengan itu mereka menyerupai wanita-wanita merdeka. Ibnu Juraij berkata dari Nafi’ : Sesungguhnya Shafiyyah Bintu Abi Ubaid telah memberi kabar kepadanya, dia berkata : Seorang wanita keluar dengan menutup wajah lagi berjilbab, maka Umar berkata : Siapa wanita ini ? maka dikatakan kepadanya : Hamba sahaya milik si Fulan, laki-laki tergolong keluarga beliau, maka Umar mengirim seseorang kepada Hafshah, terus berkata : Apa sebabnya engkau menutupi wajah budak ini memakaikannya jilbab, sampai saya hendak memukulnya, dan saya tidak mengira dia itu kecuali wanita merdeka ? janganlah kalian menyamakan wanita budak-budak itu dengan wanita-wanita merdeka”..dan diriwayatkan oleh Al Baihaqiy, dan berkata : Atsar-atsar seperti itu dari Umar adalah shahih.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya : Ali Ibnu Mushar telah mengabarkan kami dari Al Mukhtar Ibnu Filfil dari Anas Ibnu Malik, berkata : Seorang hamba sahaya masuk menemui Umar Ibnu Al Khaththab yang pernah beliau kenali milik orang kalangan Muhajirin atau Anshar, sedangkan dia itu mengenakan jilbab yang dengannya dia bertaqannu’, maka beliau bertanya kepadanya : Kamu sudah dimerdekakan ? dia menjawab : Belum,” Umar bertanya : Maka kenapa jilbab itu ?! lepaskan dari kepalamu, hanyasannya jilbab itu wajib bagi wanita-wanita merdeka dari kalangan wanita-wanita orang mu’min, “budak itu mencari-cari alasan, maka Umar menghampirinya dengan tongkatnya, beliau pukul kepalanya hingga ia melepaskan jilbabnya.

Muhammad Ibnu Al Hasan meriwayatkan dalam Kitab Al Atsar : Telah mengabarkan kepada kami Abu Hanifah dari Hammad Ibnu Abi Sulaiman Dari Ibrahim An Nakhai’ bahwa Umar Ibnu Al Khaththab pernah memukul wanita-wanita hamba sahaya karena sebab mereka menutup kepala, dan beliau berkata : Janganlah kalian menyerupai wanita-wanita merdeka.

• Al Imam Al Hafidz Abu Al Fida Ismail Imaduddin Ibnu Umar Ibnu Katsir Al Qurasyiy Asy Syafii’ (Wafat 774 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya yang bagus : Allah  berfirman kepada Rasul-Nya  sambil memerintahkan agar menyuruh wanita-wanita mu’minat apalagi isteri-isteri dan puteri-puterinya karena kemuliaan mereka supaya mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, supaya mereka membedakan diri dari cirri-ciri wanita jahiliyyah dan budak. Sedangkan jilbab adalah rida’yang lebih lebar dari kerudung (khimar), ini dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Said Ibnu Jubair, Ibrahim An Nakhai’, ‘Atha Al Khurasani dan lain-lain, sama dengan izar saat ini. Al Jauhariy berkata : Jilbab adalah milhafah, seorang wanita dari Hudzail berkata dalam rangka memuji saudaranya yang mati :
Rajawali bergerak menujunya, sedang dia lalai
Layak jalannya gadis perawan yang mengenakan jilbab
Ali Ibnu Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas  : Allah memerintahkan istri-istri orang-orang mu’min bila mereka keluar dari rumahnya untuk suatu hajat agar menutupi wajah mereka dengan jilbab yang diulurkan dari atas kepalanya, dan hanya menampakan satu mata.

Dan Muhammad Ibnu Sirin berkata : saya bertanya kepada Ubaidah As Salmani tentang firman Allah Ta’ala,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” maka beliau menutupi wajah dan kepalanya dan menampakan mata kirinya.

• Al Imam Jalaluddin Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad Al Mahalliy rahimahullah (Wafat 764 H) menafsirkan ayat ini dengan perkataannya : مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ bentuk jamak dari jilbab,dan jilbab adalah jubah yang dengannya perempuan menutupi seluruh tubuhnya, dan maknanya : Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbabnya pada wajahnya bila mereka keluar untuk hajatnya kecuali satu mata, karena hal itu lebih memudahkan untuk mengenali mereka bahwa mereka itu adalah wanita-wanita merdeka sehingga mereka tidak diganggu, berbeda dengan budak-budak dimana mereka itu tidak menutupi wajahnya, sehingga menyebabkan orang-orang munafiq mengganggu/menggoda mereka, dan Allah itu Maha Pengampun atas yang telah lalu dari mereka karena tidak menutupinya, Maha Penyayang terhadap mereka karena Dia telah menutupi mereka.

• As Sayuthi rahimahullah berkata : Ini adalah ayat hijab buat seluruh wanita, di dalamnya ada kewajiban atas wanita untuk menutupi kepala dan wajah.

• Al Imam Al Khathib Asy Syarbiniy rahimahullah berkata dalam tafsirnya : يُدْنِيْنَ mengulurkan عَلَيْهِنَّ ke wajah dan seluruh tubuh mereka, maka janganlah mereka membiarkan sedikitpun dari badannya terbuka.

Dan beliau berkata lagi : ‘Adil berkata : Dan bisa dikatakan : Yang dimaksud : Mereka lebih mudah dikenal bahwa mereka itu tidak berzina, karena wanita yang menutupi wajahnya-padahal bukan aurat-, yaitu di dalam shalat, tidak diharapkan padanya bahwa dia mau membuka auratnya, maka karena mereka itu tertutup, tidak mungkin minta dilayani berzina dari mereka.

• Syaikh Abu As Su’ud Muhammad Ibnu Muhammad Al ‘Imadiy (Wafat 951 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Yaitu hendaklah mereka menutup wajah dan badan mereka dengan jilbab itu bila mereka keluar untuk suatu kepentingan.

• Asy Syaikh Ismail Haqa Al Barwasawiy (Wafat 1137 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Dan maknanya adalah hendaklah mereka menutup wajah dan badan mereka dengan jilbab itu di kala keluar dari rumahnya untuk suatu kepentingan, dan janganlah mereka keluar dengan wajah dan badan terbuka seperti budak agar tidak diganggu oleh orang-orang nakal dengan anggapan bahwa mereka itu adalah budak….” Dan beliau menukil atsar dari Anas  berkata : Seorang budak perempuan melewati Umar Ibnu Al Khaththab  dengan menutupi mukanya maka Umar hendak memukulnya dengan tongkat, seraya berkata : Hai Lakaa’ , kau menyerupai wanita merdeka, lepaskan kain penutup itu..

• Al Imam Al ‘Allamah Asy Syaukani (Wafat 1250 H) rahimahullah berkata di dalam tafsirnya : (Al Wahidi berkata : Para Ahli tafsir berkata : Mereka hendaklah menutupi wajah dan kepala mereka kecuali satu mata saja, sehingga mereka diketahui bahwa mereka itu adalah wanita merdeka yang tidak boleh diganggu)….sampai akhirnya beliau rahimahullah berkata : (Dan bukanlah yang dimaksud dengan firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” adalah salah satu dari mereka diketahui dari yang lainnya, akan tetapi maknanya adalah mereka itu dikenal bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka bukan budak karena mereka telah mengenakan pakaian yang khusus buat wanita merdeka.

• Asy Syaikh As Sayyid Muhammad Usman Ibnu As Sayyid Muhammad Abi Bakar Ibnu As Sayyid Abdullah Al Mairghiniy Al Mahjub Al Makiy (Wafat 1268 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Maknanya hendaklah mereka mengulurkan pada wajah dan badan mereka kain yang menutupinya seperti jubah dan pakaian yang menutupi.

• Al ‘Allamah Abu Al Fadhl Syihabuddin As Sayyid Mahmud Al Alusiy Al Baghdadi (Wafat 1270 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : (Al Idnaa adalah bermakna At Taqrib (mendekatkan/mengulurkan) dikatakan adnannii artinya qarrabanii, dan mengandung makna penguluran dan penguraian, dan oleh karenanya di muta’addikan dengan ‘alaa, sesuai pengetahuan saya, dan mungkin saja rahasia tadlmin adalah pengisyaratan akan yang dimaksud itu adalah menutupi yang masih memungkinkan melihat jalan, maka perhatikanlah).Dan beliau rahimahullah berkata lagi : Dan yang dhahir dari kata عَلَيْهِنَّ adalah keseluruh tubuhnya, dan dikatakan pula : pada kepalanya, dan dikatakan pula : pada wajah-wajah mereka, karena yang biasa nampak zaman jahiliyah adalah wajah….” Beliau berkata lagi : Dan dalam riwayat lain dari Al Habru (Ibnu Abbas) yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Mardawaih : Dia (wanita) menutupi wajahnya dengan jilbab yang diulurkan dari atas kepalanya dan hanya menampakan satu mata. Dan Abdur Razzaq dan Jamaah meriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, beliau berkata : Tatkala ayat ini,’ Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka," turun, maka wanita-wanita Anshar keluar rumah seolah-olah diatas kepala mereka ada burung gagak karena saking tenangnya, sedangkan mereka mengenakan pakaian hitam. Dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha beliau berkata : Semoga Allah Ta’ala merahmati para wanita Anshar, tatkala turun,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 33:59),” mereka langsung merobek muruth (kain tebal) yang mereka miliki terus mereka menutup seluruh tubuhnya dengannya, kemudian mereka ikut shalat di belakang Rasulullah  seolah-olah diatas kepala mereka ada burung gagak.
• Ni’matullah Ibnu Mahmud Al Khajwaniy : يدنين artinya menutupi عليهن pada tangan-tangan, kaki-kaki, dan seluruh badannya من dari sisa-sisa جلابيبهن jubah-jubahnya sehingga tidak nampak dari bagian-bagian dan anggota-anggota badannya sedikitpun kecuali kedua matanya, bahkan satu mata saja.

• Syaikh Abdul Aziz Ibnu Ahmad Ad Damiri mengatakan : Mereka mengulurkan ridanya untuk menutupi wajahnya, kepalanya sekaligus dadanya.

• Al Muhayimiy berkata : يدنين mendekatkan yang mengandung penutupan عليهن terhadap wajah dan badan-badan mereka.

• ‘Allamatusy Syam Muhammad Jamaluddin Al Qasimiy (Wafat 1332 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Maka wanita-wanita merdeka diperintahkan dengan pakaiannya itu menyalahi penampilan budak, yaitu dengan mengenakan rida’ dan milhafah (baju yang menutupi seluruh badan, pent) serta menutup kepala dan wajah agar mereka terjaga dan tidak menimbulkan hasrat laki-laki liar. Dan beliau berkata lagi : Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Yunus Ibnu Yazid, bahwa dia bertanya kepada Az Zuhriy : Apakah wanita budak harus memakai khimar, baik sudah nikah atau belum ? beliau menjawab : Dia harus memakai khimar (kerudung) bila sudah nikah, dan laranglah dia dari mengenakan jilbab, karena dilarang mereka menyerupai wanita-wanita merdeka yang muhshanah.

• Al ‘Allamah Syaikh Abu Abdillah Abdul Rahman Ibnu Nashir Al Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ayat ini adalah yang disebut ayat hijab, Allah menyuruh Nabi-Nya agar memerintahkan seluruh wanita, dan memulai dengan isteri-isteri dan puteri-puterinya karena mereka adalah lebih harus ditekankan terlebih dahulu dari yang lainnya, dan karena orang yang hendak memerintah orang lain seharusnya dia memulai dengan keluarganya sebelum orang lain sebagaiman firman-Nya ,” Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka,” agar ,”mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka,” dan jilbab itu adalah pakaian rangkap seperti milhafah, khimar, rida’ dan lain-lain, yaitu hendaklah mereka menutupi dengan jilbab itu wajah dan dada mereka, kemudian Dia menyebutkan hikmah hal itu dengan firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,” ini menunjukan akan adanya gangguan bila mereka tidak berhijab, itu dikarenakan mereka bila tidak berhijab, mungkin saja dikira bahwa mereka itu adalah bukan wanita baik-baik, sehingga orang yang berpenyakit di dalam hatinya berusaha untuk mengganggunya, dan bisa saja mereka dihina, serta mereka diduga budak sehingga orang nakal berani mengganggunya, maka hijab itu sebagai pemutus akan hasrat dan keinginan orang-orang jahat terhadap mereka.,” Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ,” karena Dia mengampuni bagi kalian apa yang telah lewat, dan menyayangi kalian, karena Dia telah menjelaskan hukum-hukum-Nya kepada kalian, Dia telah jelaskan halal dan haram. Ini adalah penutup pintu dari pihak wanita, dan adapun dari pihak orang-orang jahat, maka Dia telah mengancam mereka dengan firman-Nya,”Sesungguhnya bila tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit di dalam hatinya,” yaitu penyakit keraguan dan syahwat,”dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah,” yaitu yang menakut-nakuti (kalian) akan musuh lagi membicarakan jumlah banyak dan kekuatan mereka dan lemahnya kaum mu’minin, dan Dia tidak menyebutkan apa yang harus mereka hentikan darinya, agar mencakup semua apa yang dibisikan dan diwaswaskan oleh jiwa mereka terhadap mereka, dan kejahatan dan gangguan yang secara tidak langsung menghina Islam dan pemeluknya, juga menakut-nakuti kaum muslimin dengan kabar bohong dan mematahkan kekuatannya, dan usaha mereka dalam mengganggu kaum mu’minat dengan perbuatan buruk dan keji, dan maksiat-maksiat lainnya yang banyak bersumber dari orang-orang seperti mereka,”niscaya Kami perintahkan kamu (untuk) menyerang mereka,” yaitu memerintahkan engkau untuk menghukumi mereka, dan memeranginya, serta Kami kuasakan engkau untuk membinasakan mereka, kemudia bila Kami lakukan hal itu, maka tidak ada bagi mereka kekuatan untuk melawanmu, dan mereka tidak memiliki daya dan pertahanan, dan oleh sebab itu Dia berfirman,”kemudian mereka tidak menjadi tetangganu ( di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.

• Al Imam Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata : Dan di antara dalil-dalil qur’aniy yang mewajibkan berhijabnya perempuan dan mereka menutup seluruh tubuhnya hingga wajahnya adalah firman Allah  ,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" banyak para ulama berkata : Bahwa sesungguhnya makna,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" adalah bahwa mereka menutupi seluruh wajahnya dengan jilbab itu, dan tidak nampak darinya kecuali satu mata saja untuk melihat, diantara yang mengatakan hal ini adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas,Ubaidah As Salmaniy dan lain-lain.

Bila ada yang mengatakan : lafadh ayat yang mulia yaitu,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" maknanya tidak memestikan menutupi wajah secara bahasa, dan tidak ada dalil dalam Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’ yang menunjukan kemestiannya atas hal itu, sedangkan perkataan sebagian ahli tafsir : Bahwa itu memestikan,’ bertentangan dengan perkataan sebagian yang lain : Bahwa itu tidak memestikan,” maka dengan ini gugurlah beristidlal dengan ayat ini atas wajibnya menutup wajah.

Maka jawabnya : Dalam ayat yang mulia ini ada qarinah yang jelas yang menunjukan bahwa firman-Nya  ,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" termasuk dalam maknanya menutup wajahnya dengan mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuhnya, dan qarinah yang disebutkan itu adalah firman-Nya  ,” katakanlah kepada isteri-isterimu,” sedangkan kewajiban berhijabnya isteri-isteri beliau dan menutupi wajahnya adalah sesuatu yang tidak ada perselisihan di dalamnya di antara kaum muslimin, maka penyebutan isteri-isteri beliau bersama puteri-puterinya dan istrei-isteri kaum muslimin itu menunjukan kewajiban menutupi wajah dengan mengulurkan jilbabnya seperti yang anda bisa lihat. Dan di antara dalil atas hal itu adalah apa yang telah kami jelaskan dalam surat An Nur ketika membahas firman-Nya  ,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari mereka,” yaitu bahwa hasil istiqra’ ayat –ayat Al Qur’an menunjukan bahwa makna,” kecuali yang biasa nampak dari mereka,” adalah jubah yang dipakai sebagai rangkap pakaian, dan sesungguhnya tidak sah menafsirkan,” kecuali yang biasa nampak dari mereka,” dengan wajah dan kedua talapak tangan sebagaimana yang telah dijelaskan. Dan ketahuilah bahwa perkataan orang yang mengatakan : Bahwa telah ada qarinah qur’aniyyah yang menunjukan bahwa firman-Nya  ,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" tidak termasuk di dalamnya menutup wajah, dan qarinah yang disebutkan adalah firman-Nya  ,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” orang itu berkata : Firman-Nya,” mudah untuk dikenal,” menunjukan bahwa mereka lebih dikenal dengan keterbukaannya dan membuka wajahnya, karena yang menutupi wajahnya tidak dikenal.”(Jawabnya) : ini adalah bathil, dan kebathilannya sangat jelas sekali, dan konteks ayat sangat menolak pemahaman seperti ini, karena firman-Nya,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" jelas menolak pemahaman seperti itu, penjelasannya : Bahwa isyarat dalam firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” kembali kepada penguluran jilbab ke seluruh tubuh mereka, sedangkan penguluran jilbab ke seluruh tubuh mereka tidak mungkin bagaimana pun juga lebih mudah dikenal dengan keterbukaannya dan pembukaan wajahnya seperti yang anda lihat, maka penguluran jilbab menafikan lebih keterkenalan dengan keterkenalan pribadi dengan cara membuka wajah sebagaimana yang tidak diragukan lagi.

Dan firman-Nya,” kepada isteri-isterimu,”merupakan dalil juga yang menunjukan bahwa keterkenalan dalam ayat itu bukan dengan membuka wajah, karena hijab isteri-isteri Rasulullah  tidak ada perselisihan dikalangan kaum muslimin.

Wal hasil pendapat di atas itu sangat bathil dengan dalil-dali yang banyak :
Pertama : Konteks ayat yang telah kami jelaskan tadi.
Kedua : Firman-Nya,” kepada isteri-isterimu,” sebagaimana yang telah kami jelakan.
Ketiga : Bahwa seluruh mufassirin dari kalangan sahabat dan orang-orang sesudah mereka menafsirkan ayat itu dengan menyebutkan asbab nuzulnya, bahwa wanita-wanita penduduk kota Madinah dulu keluar malam di hari untuk membuang hajat mereka di luar rumahnya, sedang di kota Madinah ada sebagian orang-orang fasiq yang suka mengganggu wanita-wanita budak dan mereka tidak mau mengganggu wanita-wanita merdeka, sedangkan sebagian isteri kaum mu’minin keluar dengan mengenakan pakaian yang tidak berbeda dengan pakaian budak maka orang-orang fasiq itu mengganggunya dengan anggapan mereka itu budak, maka Allah  memerintahkan Nabinya  agar menyuruh isteri-isterinya dan puteri-puterinya serta isteri-isteri kaum mu’minin supaya memakai pakaian yang berbeda dengan pakaian budak, yaitu dengan cara mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, sehingga bila mereka melakukan hal itu dan dilihat oleh orang-orang fasiq mereka mengetahui bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka. Pengetahuan akan mereka bahwa mereka adalah wanita merdeka bukan budak adalah berdasarkan firman-Nya,’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” yaitu mengenal sifatnya bukan Syakshnya (pribadinya), dan tafsiran ini selaras dengan dzahir Al Qur’an seperti yang anda lihat. Maka firman-Nya,”hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya,” karena penguluran jilbab mereka ke seluruh tubuhnya memberikan isyarat bahwa mereka itu wanita merdeka, maka penampilan seperti ini lebih mudah dikenal bahwa mereka adalah wanita merdeka, sehingga tidak mendapatkan gangguan dari orang-orang fasiq yang suka mengganggu budak, dan ini merupakan penafsiran yang ditafsirkan oleh para ahli tafsir tentang ayat ini, dan ini sangat jelas, namun ini bukan maksudnya bahwa mengganggu wanita budak itu boleh, bahkan itu haram, dan tidak diragukan lagi bahwa orang yang suka mengganggu mereka adalah orang yang ada penyakit di dalm hatinya, dan sesungguhnya mereka itu masuk dalam keumuman firman-Nya,”dan orang-orang yang berpenyakit di dalam hatinya,” dalam firman-Nya,”Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafiq, orang-orang yang berpenyakit di dalam hatinya dan orang-orang yang menyebar kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu) niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar,”.

Dan di antara dalil yang menunjukan bahwa orang yang suka mengganggu wanita yang tidak halal itu adalah orang yang berpenyakit di dalam hatinya adalah firman-Nya  ,”Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit di dalam hatinya…..” dan makna seperti ini adalah makna yang sudah ma’ruf di kalangan orang arab, seperti perkataan Al A’sya :
Menjaga kemaluannya, rela dengan ketaqwaan
bukan dari kalangan orang yang ada penyakit di dalam hatinya.

Dan secara umum tidak ada isykal (masalah) dalam memerintahkan wanita merdeka agar menyelisihi pakaian budak supaya orang-orang fasiq merasa segan, dan menolak gangguan orang-orang fasiq terhadap budak juga harus, dan itu mempunyai cara-cara lain yang bukan di antaranya mengulurkan jilbab.
• Dan Al ‘Allamah Abul ‘Ala Al Maududiy (wafat 1339) rahimahullah telah menukil sejumlah perkataan para ahli tafsir dalam menafsirkan ayat ini, kemudia beliau rahimahullah berkata :( Dan jelaslah dari perkataan-perkataan ini semuanya bahwa semenjak zaman sahabat yang terjamin hingga abad VIII Hijriyyah, semua ulama menafsirkan ayat ini pada satu pemahaman, itulah yang telah kami pahami dari ungkapan-ungkapan tersebut, dan bila setelah itu kita merujuk kepada hadits-hadits Nabawiy dan atsar-atsar, pasti kita ketahui darinya juga bahwa para wanita telah lansung mengenakan niqab secara keseluruhan setelah turunnya ayat ini pada zaman Nabi. Mereka tidak pernah keluar rumah dengan membuka wajah (sufur), sungguh telah ada pada Sunan Abu Dawud, At Tirmidzi, Muwaththa’ Imam Malik, dan yang lainnya dari kitab-kitab hadits bahwa Nabi  telah memerintahkan bahwa,” wanita yang sedang dalam keadaan ihram tidak boleh mengenakan niqab dan kedua kaus tangan,” dan ,” melarang wanita dalam ihramnya mengenakan dua kaus tangan dan niqab,” dan ini sangat gamblang sekali penunjukannya bahwa wanita-wanita pada zaman nabi  telah terbiasa mengenakan niqab dan dua kaus tangan secara keseluruhan, maka Belia melarang mereka dari mengenakannya di saat ihram, dan bukan maksud larangan ini biar wajah di pamer di musim haji, namun maksudnya adalah biar gaun penutup kepala ini bukan termasuk pakaian yang dikenakan di saat ihram yang sederhana itu, selayaknya menjadi pakaian mereka di saat hari-hari biasa, sungguh telah ada pada hadts-hadits lain penjelasan bahwa isteri-isteri Nabi  dan wanita lainnya, mereka menyembunyikan wajah-wajahnya di saat ihram dari pandangan laki-laki lain juga, dalam Sunan Abu Dawud dari Aisyah radhiyallahu 'anha, berkata : Adalah rombongan melewati kami, sedang kami dalam keadaan ihram bersama Rasulullah , bila mereka berpapasan dengan kami, maka masing-masing kami mengulurkan jilbabnya dari kepala pada wajahnya, terus bila mereka telah berlalu, maka kami membukanya,” dan dalam Muwaththa Imam Malik dari Fathimah Bintu Al Mundzir, berkata : Kami menutupi wajah kami sedang kami dalam keadaan ihram, dan kami saat itu bersam Asma Bintu Abu Bakar Ash shiddiq radiyallahu ‘anhuma, dan beliau tidak mengingkari kami,” dan telah ada dalam Fathul Bari dari Aisyah radhiyallahu 'anha : Wanita mengulurkan jilbabnya dari atas kepalanya ke wajahnya,” dan semua orang yang mengamati kalimat-kalimat ayat dan penafsiran yang dikatakan oleh para ahli tafsir dari masa ke masa dengan kesepakatan, dan apa yang yang dilakukan oleh manusia pada zaman Nabi , maka dia tidak melihat adanya peluang untuk mengingkari bahwa wanita itu sudah diperintahkan oleh syariat islam untuk menutupi wajahnya dari laki-laki lain, senantiassa amalan tersebut terus berlangsung dari emenjak zaman Nabi  hingga zaman kita sekarang ini.
Dan beliau rahimahullah berkata lagi dalam tafsir surat Al Ahzab : ( Jilbab menurut bahasa Arab adalah milhafah, mulaa’ah dan pakaian yang lapang, sedangkan idnaa’ artinya adalah mengulurkan dan melipatkan, dan bila dimuta’addikan dengan huruf jarr ‘alaa, maka maknanya adalah mengulurkan dan menguraikan dari atas, sedangkan sebagian ahli terjemah pada zaman sekarang ini, mereka telah tergusur dengan dzauq gharbiy (rasa/selera barat), sehingga mereka menterjemahkan lafadh ini dengan makna menyelimutkan, agar mereka tidak menyerempet pada hukum menutup wajah, namun Allah  seandainya menghendaki apa yang mereka sebutkan, tentu Dia mengatakan,”yudniina ilaihinna,”. Sedangkan orang yang memahami bahasa Arab, pasti tidak akan menerima penafsiran,” yudniina ‘alaihinna,” dengan makna menyelimutkan saja, ini di samping bahwa firman-Nya,”jalaabiibihinna,” menolak sekali penafsiran seperti itu.
Dan ,”min,” adalah littabidl, yakni sebagian dari jilbab-jilbabnya, dan seandainya wanita menyelimutkannnya tentu dia menyelimutkan seluruhnya bukan sebagiannya atau ujungnya, dan dari sinilah berarti ayat itu bermakna bahwa wanita menutupi seluruh tubuhnya, dia menyelimuti dirinya dengan jilbab-jilbab itu, kemudian mereka mengulurkan ke wajahnya dari atasnya sebagian atau ujung jilbab itu, yaitu yang dikenal di kalangan umum dengan nama niqab.
Inilah yang telah dikatakan oleh para tokoh-tokoh ahli tafsir yang masih dekat zamannya dengan zaman risalah dan pembawanya , Ibnu Jarir, Ibnu Al Mundzir telah meriwayatkan bahwa Muhammad Ibnu Sirin rahimahullah telah bertanya kepada Ubaidah As Salmaniy tentang makna ayat ini,( dan Ubaidah Ini telah masuk Islam pada zaman Nabi , namun belum datang kepada beliau, dan datang ke kota Madinah pada zaman Umar , beliau hidup di sana, dan kedudukannya setara dengan Al Qadliy Syuraih dalam masalah qadla’) kemudian jawabannya adalah beliau mengambil jubahnya terus menutupi diri dengannya, sehingga tidak nampak dari kepala dan wajahnya kecuali satu mata, dan Ibnu Abbas juga telah menafsirkannya dengan makna yang hampir sama, dan apa yang dinukilkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim serta Ibnu Mardawaih, beliau berkata : Allah telah memerintahkan wanita-wanita kaum mu’minin, bila mereka keluar dari rumah-rumah mereka untuk suatu hajat, agar menutupi wajah-wajahnya dari atas kepalanya dengan jilbab-jilbab, dan menampakan satu mata saja,” dan inilah juga yang dikatakan oleh Qatadah dan As Suddiy dalam penafsiran ayat ini.
Para tokoh-tokoh ahli tafsir yang datang setelah zaman para sahabat dan tabi’in, mereka sepakat atas penafsiran ayat ini dengan makna tadi.
Kemudian beliau rahimahullah berkata dalam penafsiran firman-Nya  ,”Yang demikian itu supaya mereka lebih dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,”( Yang dimaksud dengan,” dikenal ,” yaitu adalah setiap orang yang melihat mereka mengenakan pakaian yang penuh ketenangan dan tertutup ini mengetahui bahwa mereka adalah wanita-wanita mulia lagi merdeka bukan wanita rendahan, lacur, lagi murahan, sehingga orang nakal lagi hidung belang berhasrat kepadanya. Dan maksud dari,” karena itu mereka tidak diganggu,” yaitu tidak seorangpun berani mengganggunya.
Di sini kita dia sejenak, kita berusaha bersama-sama memahami apa inti aturan sosial Islam yang didengungkan dengan perintah Al Qura’an ini ? dan apa maksud dan tujuannya yang disebutkan langsung oleh Allah Rabbul ‘Alamin ?
Sungguh Allah telah memerintahkan para wanita dalam ayat 31 surat An Nur agar tidak menampakan perhiasannya kecuali kepada orang-orang tertentu yang disebutkan dalam ayat ini,”dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan,” dan bila kita baca perintah ini dengan disambungkan bersama ayat urat Al Ahzab yang ada di depan kita, maka jelaslah bagi kita bahwa perintah yang ditujukan kepada para wanita dalam ayat ini adalah mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yaitu menyembunyikan perhiasannya dari selain laki-laki mahram. Dan tentunya maksud ini tidak akan terlaksana kecuali bila jilbabnya itu sendiri tidak dihiasi dan diperindah, dan kalau tidak seperti itu tentu hilanglah tujuan ini dengan mengenakan jilbab yang dihiasi dan diperindah yang menarik perhatian. Dan lebih dari itu bahwa Allah  tidak hanya memerintahkan wanita agar mengulurkan jilbab dan menyembunyikan perhiasannya saja, namun dia juga memerintahkan mereka agar menjulurkan bagian jilbab-jilbabnya-dari atas-, dan semua orang yang berakal tidak mungkin memahami dari perkataan ini, selain Dia bermaksud agar wanita mengenakan niqab agar wajahnya tersembunyi juga di samping dia menyembunyikan badan dan pakaiannya, kemudia Allah Rabbul ‘Alamin menyebutkan alasan perintah ini, Dia berkata : Sesungguhnya ini adalah cara yang paling bagus agar wanita-wanita kaum mu’minin dikenal sehingga mereka tidak disakiti.
Dan jelaslah dengan sendirinya dari hal ini bahwa perintah ini ditujukan kepada para wanita yang tidak merasa senang dengan rayuan laki-laki terhadapnya, rasa berbunga-bunga nampak pada wajah dan badannya, dan laki-laki sangat berhasrat terhadapnya, akan tetapi wanita-wanita itu merasa geram dan tersinggung, dan mereka itu tidak menginginkan dirinya tergolong bintang-bintang masyarakat yang lacur, namun mereka menginginkan agar mereka itu dikenal sebagai lentera-lentera rumah-rumah yang suci lagi bertaqwa. Wanita-wanita yang mulia lagi suci itu dikatakan oleh Allah kepadanya : Jika memang kalian ingin dikenal dengan sifat-sifat ini, dan meskipun laki-laki selalu memperhatikan dan menginginkan kalian, namun kalian tidak merasa suka dengan hal itu, bahkan merasa geram dan benci, maka jalan untuk menuju hal itu bukanlah dengan cara keluar dari rumahnya dengan cara berhias bagaikan pengantin di malam petama, dan menampakan kecantikan dan kemolekannya dengan begitu rupa yang menarik simpati dan hasrat di hadapan mata jalang yang lapar, namun cara terbaik untuk hal itu adalah mereka keluar dengan menyembunyiak semua perhiasannya di dalam jilbab yang diulurkan dan tidak dihiasi, mereka mengenakan niqab pada wajahnya, serta berjalan dengan cara yang tidak menarik perhatian orang terhadapnya sedikitpun hingga tidak boleh membunyika suara perhiasannya. Sesungguhnya wanita yang menghiasi dirinya dan bersiap-siap sebelum keluar dari rumahnya, dan dia tidak meninggalkan rumahnya kecuali setelah meletakan berbagai macam bentuk, warna make-up dan polesan-polesan berwarna-warni antara merah, biru, hitam, dan putih, tidak ada tujuannya dari hal itu kecuali dia itu ingin menarik perhatian laki-laki, serta mengajak laki-laki agar meliriknya, dan memperhatikannya, serta ingin memilikinya, maka bila dia mengatakan setelah itu sesungguhnya pandangan-pandangan liar nan haus menyakitinya, dan mempersempitnya, dan meskipun dia mengklaim bahwa dia itu tidak ingin dikenal sebagai bunga desa dan wanita idaman, bahkan dia ingin menjadi ibu rumah tangga yang mulia lagi terhormat, maka hal itu tidak lain adalah tipu daya dan makar darinya.
Sersungguhnya ucapan orang itu tidak bisa menentukan niatnya, namun niat yang sebenarnyalah yang dia pilih, dan menentukan bentuk amalannya, nah dari itu sesungguhnya wanita yang menjadikan dirinya sesuatu yang menarik perhatian pandangan, kemudian berjalan di hadapan laki-laki, maka perbuatannya itu membongkar niatnya yang tersembunyi di belakang, dan penggerak yang dimana dia berperilaku di baliknya, oleh sebab itu laki-laki pencari mangsa menginginkan apa yang inginkan oleh wanita macam ini. Al Qur’an berkata kepada wanita : Sungguh jauh, sungguh jauh kalian ingin menjadi lentera-lentera rumah yang bercahaya, dan ekaligus ingin menjadi bintang-bintang masyarakat yang lacur lagi bejat, biar kalian menjadi lentera-lentera rumah maka tinggalkan lah cara-cara, metode-metode, dan uslub-uslub yang sesuai dengan bintang-bintang masyarakat, dan telusurilah cara hidup yang membantu kalian agar menjadi lentera-lentera rumah.
Sesungguhnya pendapat peribadi bagi orang mana saja,- apakah sesuai dengan Al Qur’an atau tidak, dan apakah dia itu ingin menerima petunjuk Al Qur’an sebagai manhaj amalan dan kaidah etika ataupun tidak ingin- bila dia tidak mau sama sekali melanggar amanah dalam tafsir, maka tidak mungkin dia salah dalam memahami maksud dan tujuan Al Qur’an, dan selama dia itu tidak munafiq, maka dia pasti menerima bahwa maksud Al Qur’an adalah apa yang telah kami sebutkan tadi, dan bila setelah itu dia masih menyalahi, maka dia tetap akan menyalahi setelah dia mengakui bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan Al Qur’an, atau dia memahami Al Qur’an dengan pemahaman yang miring lagi salah.

• Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jaza’iriy (pengajar dan khathib di mesjid Nabawi,pent) hafidhahullah berkata : Firman-Nya  ,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 33:59) Ayat ini dari surat Al Ahzab- mutaakhkhir bacaanya dari dua ayat sebelumnya - membatalkan anggapan kekhususan dalam masalah hijab, karena dalam khithabnya isteri-isteri kaum mu’minin diikutkan dengan lafadh yang sharih(jelas), yaitu menuntut kaum mu’minah bila hendak keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan yang mendesak agar menutupi wajahnya, dan menutupi kecantikan tubuhnya. Adapun alasan dalam ayat itu adalah menunjukan pada masyarakat islam saat itu, dimana masih terkungkung dan terbatas, karena akibat adanya orang-orang munafiq dan munafiqat, musyrikin dan musyrikat, sedangkan hukum Rasulullah  belum istiqrar dan keamanan belum menyeluruh, dengan dalil bahwa ada orang-orang munafiq yang masih mengganggu wanita-wanita budak di jalanan, merayunya agar mau mesum, maka termasuk sikap penjagaan serentak Allah  memerintahkan Nabi  agar memerintahkan isteri-isteri, puteri-puterinya dan wanita-wanita kaum mu’minin bila di antara mereka ada yang keluar rumah untuk hajatnya agar menutupi kepala dan wajahnya, agar diketahui bahwa dia itu wanita merdeka, bukan budak pekerja rumah, sehingga orang-orang munafik tidak menganggunya baik dengan perkataan mesum ataupun dengan rayuan gombal. Dan makud penjelasan ini adalah bahwa ayat ini merupakan penguat dan penetap wajibnya hijab.
Para penyeru sufur (penyeru para wanita untuk menanggalkan penutup mukanya) mengatakan : Sesungguhnya ayat ini tidak memerintahkan untuk menutupi wajah, namun hanya menyuruh untuk menutupi kepala saja,” Dan perkataan ini sangat bathil, karena jilbab adalah apa yang diletakan oleh wanita di atas kepalanya, maka bagaimana mungkin dikatakan : Ulurkan jilbabmu pada kepalamu sedangkan jilbab itu menutupinya. Dan yang benar adalah bahwa dia mengulurkan dari kepalanya pada wajahnya, inilah yang ma’qul (masuk akal)dan dipahami oleh orang Arab, kemudian sekedar menutup kepala tidak mencegah adanya rayuan yang dikhawatirkan, dan yang mencegah hal itu adalah menutupi wajah, adapun wanita yang membuka wajahnya maka menjadi pusat pandangan, dan memudahkan adanya sapaan gombal dan rayuan, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair :
Pandangan, terus senyuman, kemudian ucapan salam
Pembicaraan, terus janji, dan akhirnya pertemuan

• Syaikh Doktor Muhammad Mahmud Hijaziy berkata dalam tafsirnya : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" maka mereka menutup seluruh tubuhnya hingga wajahnya kecuali (mata) untuk sekedar melihat jalan.

• Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf berkata : ( dan mafhum dari jilbab adalah tidak terbatas pada nama, jenis dan warna tertentu, namun jilbab adalah setiap pakaian yang dipergunakan oleh wanita untuk menutupi semua tempat-tempat perhiasan baik yang tetap atau yang bisa dipindahkan (seperti pakaian, pent), dan bila kita telah mengetahui maksud darinya, maka hilanglah kesulitan dalam menentukan karakter dan namanya.
Maka firman-Nya  ,” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,” menunjukann pada pengkhususan wajah, karena wajah adalah tanda pengenal, jadi ini merupakan Nash atas wajibnya menutup wajah, dan firman-Nya  ,” karena itu mereka tidak diganggu.” Adalah Nash yang menunjukan bahwa dalam mengenal kecantikan perempuan bisa menimbulkan gangguan terhadapnya dan terhadap yang lainnya berupa kejahatan dan fitnah, oleh sebab itu Allah  mengharamkan terhadap wanita menampakan apa yang menonjolkan kecantikannya apapun hal itu.
Dan beliau hafidhahullah berkata : Jilbab itu lebih luas dari sekedar menutupkan kudung, karena jilbab itu menutupi/menyelimuti badan wanita seluruhnya, dan menutupi semua perhiasan yang ada pada badannya atau yang menjiplak badannya, karena memakai pakaian yang menjiplak badan wanita, hukumnya adalah haram atasnya di hadapan laki-laki yang bukan mahram….
Dan bila orang yang membolehkan membuka wajah mengatakan : Sesungguhnya ayat ini khusus bagi keluarnya isteri-isteri Nabi  di saat buang hajatnya. Jawaban kami : Yang hak sesungguhnya sebab turun ayat itu tidak membatasi padanya hukum ayat-ayat Al Qur’an, maka ayat-ayat itu mengkhithabi seluruh manusia pada zaman ini dan pada zaman sesudahnya, sebagaimana mengkhithabi Rasulullah  dan para sahabatnya, dan hal ini tidak seorangpun dari ahli ilmu yang mengingkarinya, karena yang menjadi patokan adalah umumnya lafadh, bukan khususnya sebab.

• Perkataan Al ‘Allamah Abu Hisyam Abdullah Al Anshariy dalam penafsiran ayat penguluran.
Beliau rangkum perkataannya itu dalam sebuah pembahasan yang sangat berharga : (Ibrazul Haq Wash Shawab Fi Mas’alatis Sufur Wal Hijab) yang diterbitkan oleh Majallah Al Jami’ah As Salafiyyah di India yang beliau tulis dalam rangka membantah tulisan Doktor Muhammad Taqiyyuddin Al Hilaliy- rahimahullah- dengan judul : Al Isfar ‘Anil Haq Fi Mas’alatis Sufur Wal Hijab,, Dan saya akan menguraikannnya dengan keseluruhan, karena mengandung faidah yang agung, beliau hafidhahullah berkata :
( Dan ayat ini adalah penyempurna dan penjelas ayat bagi ayat hijab, itu dikarenakan sesungguhnya ayat hijab diuraikan dalam rangka menjelaskan hukum-hukum rumah, karena Allah  memulai khithabnya dengan firman-Nya,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memauki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan,” dan dalam konteks ini Dia memerintahkan agar berhijab dengan firman-Nya,”Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari balik tabir ,” maka para sahabat mengetahui dari penjelasan ini bahwa mereka tidak boleh masuk ke dalam rumah-rumah beliau, atau berdiri diam di depan pintunya di saat mereka membutuhkan untuk meminta sesuatu, namun mereka harus memintanya dari balik sesuatu yang dinamakan hijab, baik berupa tembok atau pintu, atau tabir yang dipasang, nah dari sinilah timbul pertanyaan lain, yaitu apa yang mereka lakukan ? atau apa yang dilakukan wanita bila ingin keluar rumah ? Maka Allah  menurunkan ayat ini, dan memerintahkan para wanita agar mengulurkan jilbab-jilbannya ke seluruh tubuh mereka, dan dengan ini sempurnalah perintah hijab dalam dua keadaan, di saat keluar rumah dan di saat berada di dalam rumah.
Dan ayat yang mulia ini menuntut pengamatan dan pemikiran yang diulang-ulang dari beberapa sisi :
Pertama : Sesungguhnya Allah  tidak mengatakan yatajalbabna (berjilbablah) namun Dia hanya mengatakan yudniina (mengulurkan), dan sudah maklum bahwa mengulurkan itu bukanlah berjilbab, namun dia itu lebih dari sekedar berjilbab, maka realisasi dari perintah ini tidak terlaksana dengan sekadar berjilbab, namun harus melakukan sesuatu yang lebih darinya yang dengannya penafsiran kalimat idnaa (penguluran) itu benar.

Kedua : Sesungguhnya penguluran itu tidaklah dikatakan pada pemakaian baju, kemudian dia juga tidak muta’addi (memerlukan obyek) dengan huruf ‘alaa, namun muta’addi dengan lam, min, dan ilaa, maka pemerluan obyeknya dengan ‘alaa di sini dikarenakan idnaa tersebut mengandung makna kata kerja lain, yaitu irkhaa (menguraikan/mengulurkan), sedangkan irkhaa ini terlaksana bila dilakukan dari atas, sehingga maknanya adalah : Hendaklah mereka mengulurkan bagian dari jilbab-jilbabnya dari atas kepala-kepala mereka kepada wajah-wajah mereka. Adapun perkataan kami : kepada wajah-wajah mereka,” kami ambil dikarenakan jilbab itu di saat diulurkan pasti mengenai anggota badan, dan sudah diketahui secara langsung bahwa anggota badan yang dimaksud tidak lain kecuali wajah, dan adapun hanya pada kening saja, maka sudah maklum bahwa kadar kecil dari penempelan pakaian ini tidak dinamakan penguluran, dan makna ini dikuatkan (yaitu bahwa yang dimaksud dengan idnaa adalah penguluran/penguraian bukan sekedar berjilbab) juga, bahwa Allah  mendatangkan dengan kata min yang memiliki arti sebagian sebelum kata jalaabib, maka tuntutannya adalah bahwa penguluran ini terlaksana dengan sebagian jilbab di samping bahwa berjilbab itu dikatakan bagi semua cara mengenakan jilbab itu.

Ketiga : Sesungguhnya dhamir pada kalimat yudniina kembali pada tiga kelompok wanita seluruhnya : isteri-isteri Nabi , puteri-puterinya, dan wanita-wanita orang-orang yang beriman. Sedangkan para ulama sudah berijma bahwa menutupi wajah dan kedua telapak tangan adalah hal yang diwajibkan atas isteri-isteri Nabi , maka bila kata kerja ini (maksudnya yudniina) menunjukan akan wajibnya menutup wajah dan kedua telapak tangan bagi satu kelompok dari yang tiga itu, maka kenapa kata kerja yang sama tersebut tidak menujukan akan kewajiban yang sama bagi kedua kelompok yang lainnya ?!.

Keempat : Sesungguhnya Allah  memerintahkan Ummahatul Mu’minin agar menutupi diri secara sempurna dalam ayat hijab, dan sama sekali tidak mengecualikan sedikitpun dari anggota tubuhnya, maka seandainya yang dimaksud dengan idnaaul jilbab itu adalah menutupi kepala tanpa mencakup wajah dan kedua telapak tangan, tentu firman Allah  itu adalah sia-sia bagi hak Ummahatul Mu’minin, karena termasuk suatu yang sangat aneh adalah bila diperintahkan awalnya agar menutupi diri secara sempurna hingga wajah dan kedua telapak tangan kemudian (setelah itu) diperintahkan agar menutupi kepalanya saja dengan status ayat pertama tetap muhkamah tidak dinasakh, ooh sungguh heran…apa perlunya diperintahkan menutupi kepala setelah diperintahkan menutupi seluruh anggota badan?!

Kelima : Sesungguhnya metode-metode para perawi- meskipun berbeda-beda dalam menjelaskan sebab nuzul ayat ini- namun mereka sepakat bahwa diantara tujuan perintah ini adalah membedakan antara wanita-wanita merdeka dari wanita-wanita budak dengan pakaian tertentu, maka kewajiban kita adalah kembali dalam memahami hal itu kepada kebiasaan-kebiasaan orang-orang Arab pada saat itu dan sebelumnya. Dan nampak dari syair-syair para penyair zaman Jahiliyyah bahwa wanita-wanita merdeka dan wanita-wanita terhormat, mereka itu menutupi wajahnya juga pada zana jahiliyyah, dan hijab wajah ini –meskipun tidak menyeluruh-namun dia itu merupakan pakaian pembeda antara wanita merdeka dengan budak.

Kemudian beliau menuturkan beberapa syawahid syi’riyyah untuk menguatkan bahwa menutupi wajah dan membukanya merupakan pembeda atara wanita merdeka dengan wanita budak pada zaman jahiliyyah, hingga beliau hafidhahullah kemudian mengatakan :

Dan setelah mengetahui dengan cukup tentang kebiasaan wanita-wanita zaman jahiliyyah, maka mudah sekali bagi kita memahami makna ayat itu, dan sesungguhnya Allah  memerintahkan wanita-wanita mu’minat agar komitmen dengan pakaian yang sudah mereka ketahui bahwa itu adalah pakaian wanita merdeka, dan bukan pakaian budak, dan sudah diketahui bahwa pakaian itu adalah menutupi wajah dengan jilbab.

Keenam : Sesungguhnya riwayat-riwayat yang ada tentang sebab nuzul ayat ini, ada yang bersifat diam tidak menjelaskan tentang pakaian yang membedakan antara wanita merdeka dengan wanita budak, dan ada yang sharih (jelas) lagi pasti tentang sifat pakaian itu. Adapun riwayat yang menjelaskan dengan terang akan pakaian itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Muhammad Ibnu Ka’ab Al Quradhzi, berkata : Ada seorang laki-laki dari kalangan munafiqin selalu mengganggu wanita-wanita kaum muslimin, bila diomongin, dia malah mengatakan : Oh Saya kira dia itu budak,” Maka Allah mmemerintahkan para wanita agar berbeda dengan pakaian budak, dan mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuhnya, sehingga menutupi wajahnya kecuali satu mata, Dia berfirman,”Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, sehingga mereka tidak diganggu,” Dia berkata : Itu memudahkan agar mereka lebih dikenal.
Dan ada riwayat yang dekat maknanya dengan riwayat tersebut yaitu riwayat Ibnu Jarir, dan telah dinukil oleh Fadlilatud Doktor Al Hilaliy, di dalamnya ada penafsiran kalimat yudniina dengan yataqanna’na, sedangkan taqannu’ biasa diartikan dengan menutupi wajah, dan darinya ada yang dinamakan Muqanna’ Al Kindiy, dia dinamakan Muqanna’ karena tidak keluar dari rumahnya kecuali dengan mengenakan penutup pada wajahnya.
Dan di antaranya adalah apa yang dikatakan oleh Ahmad Ibnu Abi Ya’qub dalam Tarikhnya : Dan orang-orang Arab dahulu biasa datang ke pasar Ukadh dengan mengenakan purdah pada wajah-wajah mereka, terus dikatakan : Sesungguhnya orang Arab pertama yang membuka penutup mukanya adalah Dharif Ibnu Ghanm Al ‘Anbariy
Dan diantaranya sebuah peribahasa : Dia menanggalkan penutup malu dari wajahnya.
Riwayat-riwayat yang menjelaskan sebab nuzul ini dengan terang juga menegaskan bahwa pembeda antara budak dengan wanita merdeka adalah hanya terletak pada penutupan dan pembukaan wajah. Dan adapun istidlal mereka dengan apa yang sudah masyhur di dalam kitab-kitab Fiqh, yaitu bahwa budak itu tidak menutupi kepalanya, maka argument ini tidak benar sama sekali, pertama : Karena Allah  hanya mengembalikan kaum muslimin pada kebiasaan-kebiasaan yang sebelumnya sudah ada di kalangan masyarakat orang-orang Arab, dan tidak mengembalikannya kepada yang sudah masyhur dan baku dalam syariat ini, karena apa yang baku dan berlaku pada syariat ini belum tetap kecuali setelah turun ayat ini. Kedua : karena membuka wajah kepala bagi wanita budak itu bukanlah masalah yang disepakati.
Dan adapun apa yang dikatakan oleh bapak Doktor bahwa Umar  pernah memukul budak-budak wanita karena sebab menutupi kepalanya, sungguh ini tidak benar, namun yang benar adalah bahwa beliau memukul mereka karena sebab mereka menutupi wajah, coba simaklah lafadh riwayatnya : Anas berkata : Seorang budak lewat di depan Umar dengan mengenakan niqab, maka beliau mengancamnya dengan tongkat, dan berkata : Ya Lakka’, kalian menyerupai wanita-wanita merdeka ? lemparkan penutup itu.
Dan anehnya bapak Doktor, bagaimana ridla berdalil dengan atsar itu akan bolehnya membuka wajah bagi wanita merdeka?!

Ketujuh : Sesungguhnya kita seandainya menerima – dalam rangka mengandai-andai mengikuti apa yang dikatakannya- bahwa sekedar menutupi kepala itu cukup untuk membedakan wanita medeka dari budak, maka tidak diragukan lagi bahwa menutupi wajah beserta menutupi kepala adalah lebih utama dalam memberikan perbedaan, dan dalam memenuhi tujuan ini, terus sebab turun ayat ini seandainya benar apa yang dipahami bapak Doktor darinya, hal itu tidak memestikan penafian penutupan kepala dan juga tidak menafikan kewajibannya.

Kedelapan : Sesungguhnya sebab nuzul ayat itu menerangkan dengan tegas bahwa Allah  dengan perintah mengulurkan jilbab itu menolak satu kerusakan dari banyak kerusakan, yaitu gangguan terhadap wanita, namun masih ada kerusakan-kerusakan lain yang lebih besar darinya, yaitu bahwa seorang wanita - meskipun dia itu rusak - bila ada laki-laki yang menganggunya di jalan dengan rayuan gombal, atau dengan pelontaran ucapan-ucapan tertentu, rasa harga dirinya dan ghirahnya memberontak dan dia langsung marah, kecuali wanita yang sudah terlalu kadung bejat dan amburadul tak bermoral, jarang sekali laki-laki itu berhasil dalam mencapai maksudnya dengan godaan seperti ini, dan ia tidak memetik dari perbuatannya kecuali kehinaan dan kecut. Namun bila wanita itu keluar dengan wajah terbuka, maka tidak diragukan lagi pandangannya akan beradu dengan pandangan laki-laki, dan sudah merupakan hal yang dikenal umum bahwa pertemuan dua pandangan itu akan membuahkan ketertarikan di dalam dua hati itu, sulit yang satu sabar dari yang lainnya, dan akhirnya salah satunya menjadi santapan bagi yang satu lagi dengan sangat mudah, oleh sebab itu ada atsar,”Bahwa pandangan itu adalah salah satu panah dari panah-panah Iblis yang beracun,” seorang penyair berkata :
Semua kejadian bermula dari pandangan
Dan umumnya api berasal dari percikan api
Dan yang lain berkata :
Mereka (wanita) menaklukan laki-laki berakal hingga tidak bisa berkutik
Padahal mereka itu adalah makhluk Allah yang paling lemah yang berbentuk manusia.
Kerusakan-kerusakan ini bukanlah sekedar khayalan atau perkiraan belaka, namun semua masyarakat manusia di alam ini telah tertimpa dengannya, dan semua itu adalah akibat dari barakah sufur (membuka wajah)ini.
Bula di sana ada banyak kerusakan lain di samping kerusakan yang untuk menolaknya ayat itu diturunkan, maka apakah termasuk hikmah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui yang mengetahui mata-mata yang berkhianat, apa yang disembunyikan oleh dada, dan apa yang berkembangkan di masyarakat dengan sebab sufur, apakah tergolong kebijaksanaan-Nya bila Dia menjauhkan dari satu kerusakan kecil dan membiarkan kerusakan-kerusakan lain yang besar dengan pintu terbuka lebar padahal hal itu termasuk jenis kerusakan bahkan lebih dasyat ? Maka yang benar adalah bahwa satu kerusakan kecil – yaitu adanya gangguan terhadap wanita – tatkala nampak dan menuntut untuk adanya satu perintah dari perintah-perintah Allah yang dengannya pintu kerusakan itu bisa tertutup, maka Allah memerintahkan satu perintah yang dengannya cukup untuk menutup pintu kerusakan ini, dan untuk menutupi pintu-pintu kerusakan-kerusakan lain yang lebih besar dari kerusakan tadi, maka Dia memerintahkan agar menutup kepala dan wajah sehingga jalan-jalan itu terputus.
Dan mungkin ada orang yang berkata : Sesungguhnya perintah itu bila ternyata seperti itu, maka kenapa Allah  tidak mengingatkan terhadap tujuan-tujuan yang mulia yang tersembunyi dibalik perintah ini ?. Dia membatasi pada isyarat terhadap tujuan-tujuan itu di dalam ayat hijab dengan firman-Nya,” Yang demikian itu adalah lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka,” sehingga tidak memerlukan pengulangan, ooh sungguh kalimat yang simpel yang idak membiarkan hal yang kecil maupun yang besar dari tujuan-tujuan masalah ini melainkan telah memasukannya dalam lipatannya, kemudian sesungguhnya firman-Nya,” yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karenanya mereka tidak diganggu,” mengisyaratkan kepada tujuan-tujuan ini juga, Ar Raziy berkata : (Dikatakan : mereka dikenal bahwa mereka iu adalah wanita merdeka sehingga tidak diikuti dengan gangguan, dan mungkin dikatakan : Maksudnya mereka tu tidak berzina, karena wanita yang menutupi wajahnya padahal bukan aurat, dia itu tidak diharapkan membuka auratnya)

Kesembilan : Sesungguhnya amalan Ummahatul mu’minin dan amalan wanita kaum muslimin memberikan petunjuk kepada kita akan makna yang shahih dalam makna penguluran jilbab, karena khithab itu ditujukan kepada mereka secara langsung, sedangkan Allah  mengawasi mereka, dan Rasulullah  juga pembimbing dan pengawas akan amalan-amalan mereka, maka kita tidak menduga bahwa Rasulullah  mengakui para sahabat laki-laki dan para sahabat wanita atas amalan yang tidak diwajibkan oleh Allah , padahal beliau datang untuk mengangkat kesulitan dan beban berat, dan beliau merasa berat atas apa yang memberatkan mereka, sedangkan riwayat-riwayat telah memberikan perincian tentang amalan-amalan para sahabiyyat yang tidak mengandung sedikitpun keraguan bahwa mereka itu selalu menutupi wajah-wajah mereka sebagai realisasi keimanan kepada Kitab Allah dan pembenaran terhadap turunnya ayat itu.

Kesepuluh : Sesungguhny para sahabat dan para tabiin serta para ulama ahli tafsir yang tampil dalam menafsirkan ayat penguluran jilbab mereka menafsirkannya dengan menutupi wajah, kecuali beberapa perkataan yang syadz (ganjil), dan inilah nash-nash perkataan itu…)

Kemudian beliau menuturkan nukilan-nukilan yang banyak sekali dari para jumhur ahli tafsir, dan telah lalu penukilan perkataan mereka tadi, kemudian beliau hafidhahullah memberikan komentar :
( Ini adalah perkataan tokoh-tokoh umat ini dari sejak zaman masa terbaik hingga abad ke empat belas yang dimana kita hidup di dalamnya, diketahui darinya bahwa orang yang tampil menafsirkan ayat penguluran jilbab mereka menafsirkannya dengan menutupi wajah, meskipun di antaranya ada yang berpendapat bolehnya membukanya, dan tidak diketahui ada seorang yang menentang penafsiran ini secara sharih, hanyasannya bisa diambil kesimpulan dari perkataan sebagiannya bahwa ia tidak memandang penutupan wajah itu termasuk bagian dari penguluran jilbab, dan inilah perkataan mereka itu : Mujahid berkata : Mereka berjilbab( yatajalbabna) , dan Ikrimah berkata : Dia menutupi tsaghrah lehernya dengan jilbabnya, dia ulurkan agar menutupinya , Said Ibnu Jubair berkata : Mereka mengulurkan (yusdilna) ke tubuhnya dan Ibnu Qutaibah berkata : Yalbasna Al Ardiyah (mereka mengenakan rida’) .
Perkataan-perkataan ini tidak tegas seperti yang anda lihat sendiri dalam menafikan menutupi wajah, karena sesungguhnya tajalbub dan sadlul jilbab serta labsul ardiyah tidak menafikan penutupan wajah, dengan dasar bahwa berjilbab itu adalah mempunyai cara tertentu yang sudah ma’ruf di kalangan wanita kaum muslimin, yaitu memakainya dengan menutupi wajahnya, oleh sebab itu barang siapa mengklaim membawa perkataan-perkataan ini pada penafsiran yang berbeda dengan yang sudah ma’ruf , maka hendaklah dia mendatangkan dalil.

• Al ‘Allamah Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini : Jalabib adalah bentuk jamak dari jilbab, dan jilbab adalah apa yang dikenakan wanita di kepalanya untuk menutupi dirinya, Allah  memerintahkan seluruh wanita kaum mu’minin agar mengulurkan jilbabnya pada mahasin (tempat-tempat kecantikan) tubuh mereka seperti rambut, wajah dan yang lainnya supaya mereka dikenal keiffahannya sehingga tidak diganggu dan tidak membuat orang lain terfitnah sehingga bisa mengganggunya.

Penjelasan Makna Jilbab

Ungkapan-ungkapan para ahli tafsir telah lalu yang berkenaan dengan batasan maksud dari jilbab, Al Hafidh Ibnu Hajar telah mengumpulkannya dalam Fathul Bari sebanyak tujuh perkataan :( Muqanna’ah, Khimar atau lebih lebar darinya, pakaian yang lapang lebih kecil dari rida’, izar, milhafah, mula’ah, dan qamish).
Dan yang paling rajih adalah apa yang dikatakan oleh para ahli tahqiq, yaitu bahwa yang dimaksud jilbab dalam bahasa arab yang dikhithabkan kepada kita oleh Rasulullah  adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh, bukan yang menutupi sebagian saja sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhallaa ,dan dishahihkan oleh Al-Qurtubi dalam tafsirnya.
Dan Ibnu Al Atsir mengatakan : Jilbab adalah mantel dan jubah yang digunakan perempuan untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Al Baghawiy berkata : Jilbab adalah mula’ah yang diselimutkan wanita sebagai rangkap baju kurung dan kudungnya.
Ibnu Katsir berkata : Jilbab adalah rida’ perangkap khimar, hampir sama dengan izar pada masa sekarang.
Al Albani mengatakan : Mungkin itu adalah ‘Aba’ah yang sekarang biasa dipakai oleh wanita Nejed (Saudi) dan Irak serta yang lainnya.
Dan Syaikh Anwar al-Kasymiri mengatakan jilbab adalah rida ( jubah) yang menutupi dari ujung kepala sampai telapak kaki.
Syaikh Ibrahim Asy Syurii dan Syaikh Muhammad Asy Syibawi berkata : Dan yang benar sesungguhnya jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh, dan setiap wanita lebih mengetahui tentang pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, dan tidak membutuhkan untuk diajari hal itu.
Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf berkata : Dan pengertian jilbab itu tidak terbatas pada satu nama, satu jenis, dan satu warna, namun jilbab adalah setiap pakaian yang digunakan wanita untuk menutupi tempat-tempat perhiasannya, baik perhisan itu yang tetap ataupun yang bisa dipindah, dan bila kita telah mengetahui maksud tentangnya, maka hilanglah kesulitan dalam menentukan bentuk dan namanya.

Hukum Memakai Jilbab

Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah radliyallhu ‘anha, beliau berkata : Kami diperintahkan pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul ‘Adlha agar menyuruh keluar mereka : yaitu gadis-gadis muda, wanita-wanita yang sedang haidl dan wanita-wanita pingitan. Adapun wanita-wanita yang sedang haidl mereka menjauhi tempat shalat, mereka menyaksikan kebaikan dan undangan kaum muslimin,” Saya berkata : Wahai Rasulullah ! Seseorang di antara kami tidak memiliki jilbab ? Rasulullah  berkata : Hendaklah saudarinya meminjamkan dari jilbab yang dia miliki.”
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata : Dalam hadits ini ada dalil dilarangnya wanita keluar (dari rumahnya) tanpa memakai jilbab…
Al Badr Al ‘Ainiy berkata : Di antara faidah hadits ini adalah dilarangnya wanita keluar tanpa memakai jilbab…
Al ‘Allamah Al Albaniy berkata dalam rangka mengomentari ungkapan Al Kasymiri rahimahullah : Jilbab adalah untuk menutupi perhiasan wanita dari pandangan laki-laki lain, sama saja apakah si wanita yang keluar menemui mereka atau mereka yang masuk menemuinya, maka dalam semua keadaan ini dia (wanita) harus memakai jilbab , Dan ini dikuatkan oleh apa yang dikatakan oleh Qais Ibnu Zaid : Sesungguhnya Rasulullah  telah mencerai Hafshah putri Umar….kemudian Rasulullah  datang dan terus masuk menemuinya…. Maka Hafshah cepat berjilbab, Rasulullah  berkata : Sesungguhnya Jibril telah mendatangiku, terus berkata kepadaku : Rujuklah Hafshah karena dia itu wanita yang suka banyak shaum dan shalat (malam), dan dia itu isterimu di surga,” dan telah sah dari Aisyah bahwa beliau bila melakukan shalat memakai jilbab, maka jelaslah bahwa jilbab tidak khusus untuk keluar saja.

Fatwa Al ‘Allamah Al Albani Tentang Wajibnya Memakai Jilbab

Beliau rahimahullah mengatakan : ………Kebenaran yang menuntut diamalkan sesuai dua ayat dalam surat An Nur dan Al Ahzab bahwa wanita bila keluar keluar dari rumahnya wajib memakai khimar (kerudung) dan kemudian memakai jilbab sebagai rangkap khimar, karena hal itu seperti yang telah kami utarakan lebih tertutup, dan lebih jauh dari mencetak bentuk kepala dan pundak, sedangkan hal ini adalah yang dituntut oleh syari’at…..dan yang saya sebutkan itu adalah penafsiran sebagian salaf terhadap ayat penguluran (Al Ahzab 59), dalam Ad Durr 5/222 : Ibnu Abi Hatim mengeluarkan dari Said Ibnu Jubair dalam penafsiran firman-Nya,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka", beliau berkata : mereka mengulurkan dari jilbabnya kepada tubuhnya, dan (jilbab) itu adalah qina’ yang lebih lapang dari khimar, dan tidak halal bagi wanita muslimah dia dilihat oleh laki-laki lain kecuali dia mengenakan qina’ sebagai rangkap khimarnya yang telah dia ikat pada kepala dan lehernya.

Di tempat lain beliau rahimahullah berkata : Tujuan dari berpakaian adalah menghilangkan fitnah, dan hal ini tidak tercapai kecuali dengan pakaian yang longgar lagi luas, adapun pakaian yang sempit meskipun menutupi warna kulit tapi dia itu menampakkan lekuk badan atau sebagiannya, dan menggambarkannya di hadapan mata laki-laki, dan hal ini tak ragu lagi merupakan sumber kerusakan dan ajakan untuk membuat kerusakan, oleh sebab itu pakaian harus longgar, Usamah Ibnu Zaid  berkata : Saya diberi pakaian qibthiyyah yang tebal oleh Rasulullah  yang merupakan hadiah yang diberikan kepadanya oleh Dihyah Al Kalbi, terus saya berikan kepada istri saya, maka beliau bertanya : Kenapa engkau tidak memakai baju qibthiyyah itu ? Saya berkata : Saya berikan kepada istri saya, “ maka beliau berkata,” Suruhlah dia agar memakai rangkap, karena saya hawatir pakaian itu membentuk lekuk tubuhnya,”
Nabi  memerintahkan agar dia mengenakan rangkap buat baju qibthiyyah itu agar bentuk badannya tidak nampak, sedangkan perintah itu menunjukan kewajiban seperti yang sudah tetap dalam ushul fiqh.
Hadits ini dengan tegas menyatakan bahwa qibthiyyah itu tebal, sebagaimana hadits ini juga tegas menjelaskan penyimpangan yang dihawatirkan oleh Nabi  dari sebab kain qibthiyyah ini, maka beliau berkata,” sesungguhnya saya hawatir pakaian itu membentuk lekuk tubuhnya,” dari sinilah syaikh Al AlBani rahimahullah memastikan bahwa hadits ini datang berkenaan dengan pakaian yang tebal yang bisa mencetak bentuk lekuk tubuh karena halusnya, meskipun tidak tipis, dan tidak mungkin hadits ini dibawa berkenaan dengan pakaian yang tipis yang tidak menutupi warna kulit, oleh sebab itu syaikh mengingkari kepada sebagian pengikut madzhab Syafi’i yang mengatakan : Dan disunnahkan wanita shalat dengan mengenakan dir’u (baju kurung) yang besar dan khimar (kerudung) serta memakai jilbab yang tebal sebagai rangkap pakaiannya itu supaya tidak membentuk lekuk badannya, maka syaikh berkata mengomentari : Pendapat yang mengatakan sunnah itu bertentangan dengan dhahir perintah, karena perintah itu menunjukan kewajiban sebagaimana yang telah lalu, dan ungkapan Al Imam Asy Syafi’i  dalam kitab Al Umm dekat dengan pendapat kami, beliau berkata : Dan bila dia (laki-laki) shalat dengan mengenakan gamis yang memperlihatkan (bayangan kulit) darinya maka shalatnya tidak sah….dan bila shalat dengan mengenakan gamis yang mencetak bentuk tubuh dan tidak memperlihatkan bayangan kulit maka itu makruh baginya, namun dia tidak harus mengulangi shalatnya, dan wanita dalam hal ini lebih berat daripada laki-laki bila bila dia shalat dengan mengenakan baju kurung dan kerudung yang ternyata baju kurungnya menjiplak lekuk badannya, dan lebih saya sukai bila dia tidak shalat kecuali dengan mengenakan jilbab sebagai rangkap, dan dia merenggangkannya dari badannya supaya (lekuk badannya) tidak terjiplak oleh baju kurung, dan Aisyah radliyallahu ‘anha telah berkata ,” Wanita itu harus shalat dengan tiga pakaian : baju kurung, jilbab dan kerudung,” dan adalah Aisyah mencopot sarungnya terus berjilbab dengannya.
Beliau melakukan itu tidak lain melainkan supaya pakaiannya tidak menjiplak badannya, dan perkataan Aisyah,” harus,” merupakan dalil atas wajibnya hal itu, dan perkataan semakna dilontarkan oleh Ibnu Umar ,” Bila wanita shalat, hindaklah dia shalat dengan mengenakan pakaiannya semuanya : baju kurung, kerudung, dan jubahnya.”
Dan ini menguatkan penjelasan yang tadi kami kemukakan bahwa wajib atas wanita menggabungkan antara kerudung dan jilbab bila keluar (dari rumah).

Bantahan Terhadap Pendapat Syaikh Al Albani Dalam Penafsiran Ayat Penguluran (Al Ahzab : 59)

Beliau rahimahullah berkata : Tidak ada dilalah dalam ayat penguluran (idna’) bahwa wajah wanita itu aurat yang wajib ditutupi, namun ayat itu hanya memerintahkan untuk mengulurkan jilbab pada tubuhnya, dan hal semacam ini adalah muthlaq sebagaimana yang anda lihat, maka ada kemungkinan bahwa penguluran itu kepada perhiasan dan tempat-tempatnya yang tidak boleh ditampakan sesuai penjelasan ayat pertama , dan dengannya hilanglah dilalah yang disebutkan itu, dan ada kemungkinan lebih umum dari itu, sehingga dengannya mencakup wajah.
Dan masing-masing dari kedua penafsiran ini telah dianut oleh para ulama mutaqaddimun, dan perkataan mereka itu telah dipaparkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, juga As Suyuthi dalam Ad Durr Al Mantsur,,,,, dan kami menilai bahwa pendapat yang pertama adalah yang lebih mendekati kebenaran karena hal-hal berikut ini :
Pertama : Bahwa Al Qur’an saling menafsirkan antara yang satu dengan yang lainnya, dan telah jelas dalam ayat surat An Nur yang lalu bahwa wajah tidak wajib ditutup, oleh sebab itu wajib membatasi penguluran di sini dengan selain wajah demi keselarasan antara kedua ayat.

Kedua : Bahwa As Sunnah adalah menjelaskan Al Qur’an, dia mengkhususkan keumumannya, dan membatasi kemuthlakannya, sedangkan telah banyak teks-teks As Sunnah yang menunjukan bahwa wajah itu tidak wajib ditutup, oleh sebab itu wajib menafsirkan ayat tersebut sesuai tuntunan As Sunnah, dan wajib membatasinya dengan penjelasannya.

Maka tetaplah bahwa wajah itu bukan aurat yang wajib ditutupi, dan ini adalah madzhab banyak para ulama sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Rusydi dalam Al Bidayah 1/89, dan di antara mereka adalah Abu Hanifah, Malik, Asy Syafii, serta satu riwayat dari Imam Ahmad sebagaimana dalam Al Majmu’3/169, dan dihikayatkan oleh Ath Thahawi dalam Syarh Al Ma’ani 2/9 dari kedua sahabat Abu Hanifah juga, dan dipastikan dalam kitab Al Muhimmat yang merupakan kitab madzhab Asy Syafii bahwa itu yang benar, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Asy Syarbini dalam Al ‘Iqna’ 2/110.
Namun ini harus dibatasi bila diwajah itu juga di kedua telapak tangan tidak ada sedikit pun dari perhiasan berdasarkan keumuman firman-Nya ,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya,” namun jika ada perhiasan maka wajib menutupinya, apalagi pada zaman sekarang ini yang dimana kaum wanita berlomba-lomba menghiasi wajah dan tangannya dengan beraneka ragam hiasan dan polesan yang tidak ada seorang muslim pun, bahkan orang yang berakal yang mempunyai rasa ghirah meragukan keharamannya.

Jawab : Anda bisa melihat dari perkataan Fadlilatu Asy Syaikh bahwa beliau secara terang menyatakan bahwa pendapat pertama yang beliau hikayatkan adalah yang lebih dekat pada kebenaran, dan beliau menyebutkan bahwa pentarjihan itu berdasarkan dua hal :

Pertama : Bahwa Al Qur’an satu sama lain saling menafsirkan, dan ini adalah betul, namun bila kita terapkan pada ayat-ayat hijab seluruhnya pasti kita mengetahui bahwa dua ayat dalam surat An Nur dan Al Ahzab keduanya menjurus pada penetapan penguluran jilbab kepada seluruh tubuh, karena ta’sis (penetapan makna baru) lebih utama daripada sekedar ta’kid (menguatkan) bila hal itu berlingkar pada dua hal ini. Dan seandainya kita menerima bahwa ayat وَلْيَضِْرْبنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ memberi indikasi bolehnya sufur (membuka wajah) namun sesungguhnya ayat idna’ (Al Ahzab 59) mendatangkan hukum baru yaitu perintah mengulurkan jilbab pada seluruh tubuh termasuk wajah.
Kedua : Hal yang disebutkan syaikh adalah anggapan/klaim (da’wa) bahwa teks-teks yang banyak dari As Sunnah menunjukan bahwa wajah tidak wajib ditutupi. Kita jawab bahwa teks-teks yang diisyaratkan itu adalah muhtamal (mengandung banyak kemungkinan) dan tidak sharih (jelas) dalam kebolehan sufur, sedangkan dalil bila dimasuki banyak kemungkinan tidak bisa dijadikan hujjah (gugur dalam berhujah dengannya), Insya Allah nanti jelasnya dalam pembahasan selanjutnya.

Dan berdasarkan dua hal ini syaikh mengambil kesimpulan bahwa wajah bukan aurat, beliau berkata : Maka tetaplah bahwa wajah itu bukan aurat yang wajib ditutupi,” terus beliau berkata : dan ini adalah madzhab banyak para ulama……..
Jawabnya : Ini adalah benar, dan tidak ada pertentangan -bihamdillah- antara pendapat kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa wajah itu bukan aurat dengan fatwa dari mereka sendiri akan wajibnya menutup wajah di hadapan laki-laki bukan mahram, karena batasan aurat itu bukanlah batasan hijab, sehingga bila dikatakan wajah wanita itu bukan aurat maka madzhab ini (pernyataan ini) maksudnya adalah di dalam shalat jika tidak ada laki-laki bukan mahram di dekatnya, adapun hubungannya dengan pandangan laki-laki bukan mahram maka seluruh tubuh wanita adalah aurat yang harus ditutupi sesuai sabda Rasulullah  : اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ (Wanita itu adalah aurat) .
Oleh sebab itu umumnya anda dapatkan pernyataan jelas para ulama bahwa wajah dan kedua telapak itu bukan termasuk aurat adalah hanya dalam pembahasan syarat menutupi aurat dalam bab-bab syarat-syarat sah shalat.
Al Imam Asy Syafii rahimahullah berkata dalam bab bagaimana memakai pakaian di dalam shalat (باب كيف لبس الثياب في الصلاة ) : Dan seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
Beliau berkata juga : Dan wajib atas wanita di dalam shalat menutupi seluruh tubuhnya selain kedua telapak tangan dan wajahnya.
Asy Syihab berkata : Dan apa yang disebutkan -oleh Al Baidlawi- tentang perbedaan antara aurat di dalam shalat dan di luar shalat adalah madzhab Asy Syafii rahimahullah.
Syaikh Muhammad ‘Ilyasy rahimahullah berkata : Dan aurat bagi wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya selain wajah dan kedua telapak tangan, ini buat di dalam shalat….
Al Imam Al Muwaffaq Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam bab shifat shalat : Malik, Al Auza’i dan Asy Syafii berkata : Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, dan selain hal itu wajib ditutupi di dalam shalat.
Syaikh Muhammad Zakaria Ibnu Yahya Al Kandahlawi menukil perkataan darinya : Semua ijma bahwa wanita boleh membuka wajahnya di dalam shalat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah menyatakan benarnya bahwa wanita tidak boleh menampakan wajah, kedua telapak tangan, dan telapak kakinya kepada laki-laki yang bukan mahramnya, beliau berkata : Dan adapun menutupi itu semua di dalam shalat maka tidak wajib dengan kesepakatan kaum muslimin, bahkan dia boleh menampakan wajahnya dengan ijma.
Syaikh Mushthafa Ar Ruhaibani berkata : Tidak ada perbedaan di dalam madzhab (kami) bahwa wanita merdeka boleh menampakan wajahnya di dalam shalat- hal itu disebutkan dalam Al Mughni dan yang lainnya.
Al Mardawi rahimahullah berkata : Az Zarkasyi berkata : Imam Ahmad memuthlakan perkataanya bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, namun hal ini ada kemungkinan selain wajah atau atau di luar shalat, sebagian yang lain mengatakan : Wajah itu aurat, dan dibolehkan dibuka di waktu shalat karena keperluan, Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyyah maksudnya) berkata : Yang benar bahwa wajah bukan aurat di dalam shalat, namun dia itu aurat dalam hal pandangan (laki-laki), karena tidak boleh memandang kepadanya.
Asy Syaikh Al ‘Allamah Faqih Al Hanabilah pada zamannya Manshur Idris Al Bahuti berkata : Dan wanita merdeka yang sudah baligh seluruh tubuhnya adalah aurat di dalam shalat hingga kuku dan rambutnya, berdasarkan sabdanya  : Wanita adalah aurat (اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ),” diriwayatkan oleh At Tirmidzi, dan berkata : Hasan shahih, dan dari Ummu Salamah radliyallahu ‘anha bahwa beliau bertanya kepada Rasulullah  : Bolehkah wanita shalat hanya dengan mengenakan baju kurung dan kerudung tanpa memakai izar (jubah maksudnya, pent) ? Beliau bersabda : Bila baju kurungnya lapang menutupi tumit kedua telapak kakinya,” diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan Abdul Haqq dan yang lainnya menshahihkan bahwa itu mauquf pada Ummu Salamah,, kecuali wajahnya,,dan tidak ada perbedaan dalam madzhab (kami) bahwa boleh bagi wanita merdeka membuka wajahnya di dalam shalat, ini disebutkan dalam Al Mughni dan yang lainnya, sejumlah ulama mengatakan : Dan kedua telapak tangannya, dan ini dipilih oleh Al Majdu, dan beliau memastikannya dalam Al ‘Umdah dan Al Wajiz, berdasarkan firman-Nya ,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” Ibnu Abbas dan Aisyah radhiyallahu 'anha berkata : wajahnya dan kedua telapak tangannya,” diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan ada kelemahan dalam sanadnya, dan bertentangan dengan Ibnu Masud, dan keduanya -wajah dan kedua telapak tangan dari wanita merdeka yang baligh- adalah aurat di luar shalat (berhubungan dengan pandangan laki-laki) berdasarkan sabda Nabi  yang lalu : Wanita adalah aurat (اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ),”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : Ungkapan pendapat ulama madzhab kami (Al Hanabilah) dalam masalah wajah wanita di dalam shalat berbeda-beda, sebagian mengatakan : Bukan aurat, dan yang lain mengatakan : Aurat, dan hanyasannya dirukhshahkan untuk dibuka di dalam shalat karena dibutuhkan (hajat), dan yang benar adalah bahwa wajah bukan aurat di dalam shalat, namun aurat dalam pandangan (laki-laki) karena tidak boleh melihat kepadanya, kemudian beliau berkata : Aurat di dalam shalat itu tidak ada hubungannya dengan aurat dalam pandangan (laki-laki) baik pemberlakuan ataupun sebaliknya.
Al Muhaqqiq Abu An Naja Syarafuddin Musa Al Hijawi Al Maqdisi berkata : Dan wanita merdeka yang baligh semua badannya adalah aurat hingga kuku dan rambutnya kecuali wajahnya, sebagian mengatakan : dan kedua telapak tangannya. Dan keduanya (kedua telapak tangan) dan wajah adalah aurat di luar shalat berhubungan dengan pandangan (laki-laki) sebagaimana halnya anggota badan yang lain.
Terus berkata lagi : Dan dimakruhkan seseorang shalat dengan mengenakan pakaian yang bergambar, juga laki-laki shalat dengan memakai litsam (masker hidung dan mulut), dan wanita shalat dengan mengenakan niqab (cadar) kecuali bila dia shalat di suatu tempat dimana di sana ada laki-laki yang bukan mahram yang tidak menjaga pandangannya, maka dalam keadaan seperti ini dia tidak boleh melepas niqabnya.
Asy Syaikh Al Imam Abdul Qadir Ibnu Umar Asy Syaibani Al Hanbali berkata : Dan wanita merdeka yang sudah baligh seluruh tubuhnya adalah aurat di dalam shalat hingga kuku dan rambutnya kecuali wajahnya, sedangkan wajah dan kedua telapak tangan dari wanita merdeka yang sudah baligh adalah aurat di luar shalat berhubungan dengan pandangan (laki-laki) sebagaimana halnya anggota badan yang lain.
Al Imam Al Muhaqqiq Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata : Aurat itu ada dua macam : aurat di dalam shalat, dan aurat di hadapan pandangan (laki-laki). Wanita merdeka boleh melakukan shalat dengan wajah dan kedua telapak tangannya terbuka, namun dia tidak boleh keluar ke pasar dan tempat banyak orang dengan penampilan seperti itu (wajah dan telapak tangan terbuka).
Adapun ihtijaj (berhujjah) Fadlilatu Asy syaikh Al Albani dengan apa yang dituturkan oleh Asy Syarbini dalam kitab Al Iqna’maka itu tertolak dengan penjelasan yang lalu, yaitu bahwa ruang lingkup hijab itu bukan ruang lingkup aurat, bahkan tertolak oleh apa yang dituturkan Asy Syarbini sendiri dalam tafsirnya yang bernama As Siraj Al Munir tatkala menukil perkataan Ibnu ‘Adil : Dan mungkin dikatakan : Yang dimaksud adalah mereka (para wanita) dikenal bahwa mereka tidak berzina, karena orang yang menutupi wajahnya padahal bukan aurat yaitu di dalam shalat tidak ada harapan bahwa dia membuka auratnya.
Bahkan Asy Syarbini sendiri menjelaskan dengan gamblang akan keharaman memandang wajah dan kedua telapak tangannya , anda bisa melihat beliau menukil perkataan As Subki : Sesungguhnya yang mendekati pada pendapat para pengikut (madzhab Asy Syafii) adalah bahwa wajah dan kedua telapak tangannya adalah aurat dalam pandangan (laki-laki), tidak di dalam shalat.
Al Baidlawi berkata dalam tafsir firman-Nya  : Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” : Dan yang dikecualikan itu adalah wajah dan kedua telapak tangan karena keduanya bukan termasuk aurat, dan yang lebih jelas ini adalah di dalam shalat bukan dalam pandangan (laki-laki), karena seluruh tubuh wanita merdeka (dalam pandangan laki-laki) adalah aurat, tidak boleh selain suami dan mahramnya melihat sedikitpun dari tubuhnya kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk mengobati dan ketika memberikan kesaksian.
Asy Syihab berkata dalam Syarahnya : dan madzhab Asy Syafii rahimahullah sebagaimana dalam kitab Ar Raudlah dan yang lainnya adalah bahwa seluruh badan wanita adalah aurat secara muthlak termasuk wajah dan telapak tangannya, dan dikatakan (dalam pendapat yang lemah): boleh melihat wajah dan telapak tangan bila tidak hawatir fitnah. Dan berdasarkan pendapat yang pertama : Keduanya (wajah dan telapak tangan) adalah aurat kecuali di dalam shalat, maka shalat tidak batal dengan membukanya.
Al Amir Al Imam Muhammad Ibnu Ismail ash Shan’ani rahimahullah berkata : Dan boleh membuka wajahnya karena tidak ada dalil yang mengharuskan menutupinya, dan maksudnya adalah membukanya di dalam shalat di kala tidak ada laki-laki yang bukan mahram melihatnya, ini adalah auratnya di dalam shalat, adapun auratnya berhubungan dengan pandangan laki-laki yang bukan mahram maka seluruh (tubuhnya) adalah aurat sebagaimana yang akan ada penjelasannya.
Al Maududi rahimahullah berkata : Dan yang sangat mengherankan adalah bahwa mereka yang membolehkan perempuan membuka wajah dan kedua telapak tangannya kepada laki-laki yang bukan mahram berdalil untuk hal itu bahwa wajah dan kedua telapak tangan perempuan adalah bukan aurat, padahal sungguh jauh sekali perbedaan antara hijab dengan menutupi aurat, aurat adalah sesuatu yang tidak boleh dibuka di hadapan laki-laki mahramnya, adapun hijab adalah sesuatu di atas menutupi aurat yaitu penghalang yang menghalangi wanita dari laki-laki yang bukan mahramnya.
Syaikh Abu Hisyam Ibnu Abdillah Al Anshari berkata : Janganlah seseorang terkecoh dengan ijma’ ulama atau yang menyerupai ijma’nya terhadap pengeluaran wajah dan kedua telapak tangan dari aurat, karena ruang lingkup hijab bukanlah ruang lingkup aurat, namun hanya saja diperintahkan untuk berhijab karena hijab itu lebih bersih dan lebih suci bagi hati kaum mu’minin dan mu’minat, dan seandainya benar bahwa sikap dan perkataan mereka (para ulama yang berijma’) itu tidak selaras dan sejalan dengan perkataan wajibnya menutupi wajah dan kedua telapak tangan maka tidak diragukan lagi bahwa mereka atau banyak dari mereka kontra dengan diri mereka sendiri karena dengan terang mereka menyatakan wajibnya (menutupi wajah dan telapak tangan), dan seorang pun tidak mampu mengatakan bahwa mereka semua tidak mengetahui arti kontradiktif (tanaqudl).
Doktor Muhammad Mahmud Al Hijazi berkata : Aurat wanita di dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, dan wanita itu seluruh tubuhnya adalah aurat dari sisi pandangan laki-laki yang bukan mahram, dan sebagian orang mengatakan : seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan selama tidak hawatir fitnah.
Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuni berkata : Perintah untuk berhijab adalah hanyalah datang setelah tegaknya perintah syari’at akan wajibnya menutupi aurat, maka mesti penutupan yang diperintahkan itu melebihi terhadap batasan aurat yang wajib ditutupi, oleh sebab itu ungkapan para ahli tafsir sepakat - meskipun kata-katanya berbeda- bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah rida’ yang dipergunakan wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya di atas pakaian (yang sudah dipakai)….dan maksudnya bukan hanya sekedar menutupi aurat sebagaiman yang disangka / diklaim oleh sebagian orang.
Penukilan-penukilan dari ahli ilmu ini cukup untuk menetapkan perbedaan antara batasan-batasan aurat dengan batasan-batasan hijab, berdasarkan hal ini maka tidak benar apa yang dijadikan dalih oleh orang yang membolehkan sufur berupa ijma ulama atau seperti ijma mereka terhadap pengeluaran wajah dan kedua telapak tangan dari batasan aurat, maka hendaklah ini diperhatikan. Dan Allah  yang menangani hidayah anda.


Dalil Kedua
Firman Allah  ketika mengkhithabi Ummahatul Mu’minin radliyallahu ‘anhunna :

وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ
Artinya : Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.( Al-Ahzab : 53 )

Ayat ini adalah yang dinamakan dengan ayat hijab, turun tahun ke 5 H di bulan Dzul Qa’dah, ini mencakup dengan kemuthlaqannya dan tanpa ada perselisihan akan perintah menutupi anggota badan termasuk wajah dan telapak tangan tanpa kecuali, namun orang-orang yang mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan tidak harus ditutup mereka beranggapan bahwa ayat itu khusus buat Ummahatul Mu’minin, nah untuk mengetahui apakah dakwaa / klaim mereka ini benar atau salah maka perlu kita bahas dengan tuntas ayat ini sesuai kajian ilmiyyah yang benar.
.
• Syaikhul Mufassirin Al Imam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ath Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsir ayat ini : وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ Dan jika kalian meminta suatu kebutuhan kepada isteri-isteri Rasulullah  dan kepada wanita-wanita orang-orang mu’min yang bukan istri kalian,” فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ,”(maka mintalah) dari balik penghalang antara kalian dengan mereka dan janganlah kalian masuk menemui mereka langsung di rumahnya. ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ Allah  mengatakan : cara kalian meminta sesuatu kepada mereka dari balik tabir itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka dari akibat pandangan mata padanya yang masuk kedalam hati laki-laki tentang hal yang berhubungan dengan wanita, serta hal itu lebih menjaga agar syaitan tidak mampu mengendalikan diri kalian dan mereka.

• Al Imam Abu Bakar Al Jashshash Al Hanafi rahimahullah berkata : Firman-Nya Ta’ala وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ telah mengandung larangan memandang isteri-isteri Nabi , dan Dia menjelaskan dengannya bahwa hal itu lebih suci buat hati kalian dan hati mereka, karena pandangan satu sama lain bisa menimbulkan hasrat dan syahwat, maka Allah  memutus hal itu dengan hijab yang dimestikan oleh sebab ini. Firman-Nya  وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْل اللهُ (Dan tidak selayaknya kalian menyakiti Rasulullah) yaitu dengan apa yang dijelaskan dalam ayat ini berupa wajibnya meminta izin, dan meninggalkan lama-lama duduk untuk berbincang-bincang di sisinya, serta hijab antara dia dengan isteri-isterinya. Dan hukum ini meskipun turun khusus kepada Nabi  dan isteri-isterinya namun maknanya umum mencakup beliau dan yang lainnya, karena kita diperintahkan untuk mengikutinya dan beriqtida kepadanya kecuali dalam hal yang khusus buat beliau saja. Dan ini sepertinya mengisyaratkan kepada firman-Nya,”لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ( sungguh telah ada bagi kalian dalam diri Rasulullah suri tauladan yang baik) dan ayat-ayat lainnya yang memerintahkan untuk mengikuti beliau , dan yang dijadikan acuan adalah keumuman lafadz bukan kekhususan sebab(اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ ).

• Al Imam Abu Bakar Muhammad Ibnu Abdillah yang lebih terkenal dengan Ibnu Al ‘Arabi Al Maliki rahimahullah berkata : Masalah yang ke tiga belas-firman-Nya وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍdan dalam penafsiran lafadz mata’ ada empat pendapat : pertama : pinjaman (‘ariyah), kedua : kebutuhan, ketiga : fatwa, keempat : lembaran Al Qur‘an, dan ini menunjukan bahwa Allah  memberikan izin untuk meminta sesuatu baik kebutuhan atau fatwa kepada mereka dari balik hijab, dan wanita itu seluruhnya adalah aurat, badannya dan suaranya, maka tidak boleh membukanya sedikitpun kecuali karena dharurat atau kebutuhan seperti persaksian atasnya atau penyakit di badannya atau menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang hanya ada pada dia. Masalah yang ke empat belas- firman-Nya. ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ maknanya : itu lebih menghilangkan kecurigaan dan lebih menjauhi tuduhan (tuhmah) serta lebih kuat dalam menjaga. Dan ini menunjukan bahwa tidak selayaknya seorangpun terlalu percaya kepada dirinya di saat khalwat dengan wanita yang tidak halal baginya, maka sesungguhnya menjauhi hal itu lebih lebih baik bagi keadaannya dan lebih menjaga bagi dirinya dan lebih sempurna bagi kehormatannya.
• Al Imam Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad Al Anshari Al Qurthubi Al Maliki rahimahullah : Dalam ayat ini ada dalil bahwa Allah  memberikan izin untuk meminta sesuatu baik kebutuhan atau fatwa kepada mereka dari balik hijab, dan termasuk dalam hal ini adalah seluruh wanita berdasarkan makna (yang terkandung) dan berdasarkan kandungan Ushul Syari’ah bahwa wanita itu seluruh (tubuh)nya adalah aurat, badan dan suaranya sebagaimana yang lalu, maka tidak boleh membukanya sedikitpun kecuali karena kebutuhan seperti persaksian atasnya atau penyakit di badannya atau menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang hanya ada pada dia.

Dan yang menguatkan keumuman ayat hijab ini dan bahwa ayat ini tidak khusus bagi Ummahat Al Mu’minin radliyallahu ‘anhunna saja adalah firman-Nya  sesudahnya :
وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِيْ آبآئِهِنَّ وَلاَ أَبْنَائِهِنَّ وَلاَ إِخْوَانِهِنَّ وَلاَ أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلاَ أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلاَ نِسَائِهِنَّ وَلاَ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِيْنَ اللهَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدًا
Artinya : Tidak ada dosa atas mereka (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan babak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha menyaksikan segala sesuatu.(Al Ahzab 55)

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Tatkala Allah  memerintahkan kaum wanita untuk berhujab dari laki-laki yang bukan mahram maka Dia menjelaskan bahwa kerabat-kerabat (yang disebutkan) itu tidak wajib atas wanita untuk berihtijab dari mereka, sebagaimana Dia telah mengecualikan mereka di dalam surat An Nur dalam pembahasan firmanNya  وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ .

An Nasafi rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Tatkala ayat hijab ini turun para bapak, anak-anak laki-laki, dan para kerabat berkata : Wahai Rasulullah apakah kami juga harus mengajak bicara mereka dari belakang tabir ? Maka turun : Tidak ada dosa atas mereka (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan babak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudar laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman,” yaitu wanita-wanita mu’minah,” dan hamba sahaya yang mereka miliki,” yaitu tidak ada dosa atas mereka untuk tidak berhijab dari mereka.

• Syaikh Ismail Haqqa Al Barausawa rahimahullah : ,” Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi),”alat-alat yang berguna (ma’un) dan yang lainnya,” maka mintalah dari belakang tabir,”dari belakang penghalang, dan dikatakan dari luar pintu,” Cara yang demikian itu,” yaitu meminta suatu kebutuhan dari belakang tabir adalah ,” lebih suci bagi hatimu dan hati mereka,”yaitu lebih mensucikan dari hasrat jiwa dan khayalan syaithani, karena masing-masing dari laki-laki dan perempuan bila tidak melihat yang lainnya tidak terjadi apa-apa di dalam hatinya, berkata dalam Kasyful Asrar : (Dia) memindahkan mereka dari kebiasaan adat kepada kebiasaan syari’at dan kebiasaan ibadah, dan menjelaskan bahwa manusia itu tetap manusia, meskipun mereka itu dari golongan sahabat dan isteri-isteri Nabi , seorang pun dari laki-laki dan wanita tidak merasa aman atas dirinya, dan oleh sebab itu peraturan syari’at sangat memperketat yaitu janganlah laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita yang tidak ada hubungan kemahraman di antara keduanya, sebagaimana sabdanya  : janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, karena sesungguhnya yang ketiga adalah syaitan,” Dan Umar  menginginkan sekali hijab dipasang terhadap mereka, dan beliau sering menyebutkannya, serta beliau mengharapkan adanya ayat yang turun tentang hal ini, beliau pernah berkata : Seandainya saya ditaati dalam hal kalian tentu kalian tidak akan dilihat oleh satu mata pun,” dan pernah berkata juga,”Adalah para wanita sebelum turun ayat ini mereka tampak di hadapan laki-laki. ”yaitu firman-Nya  ,’ وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ.

• Al Imam Muhammad Ibnu Ali Ibnu Muhammad Asy Syaukani rahimahullah berkata : Dan isyarat dengan firman-Nya ذَلِكُمْ(Cara yang demikian itu) kembali pada meminta kebutuhan kepada mereka dari belakang hijab, dan dikatakan juga : Isyarat itu kembali pada semua yang disebutkan yaitu tidak masuk tanpa ada izin, tidak lama-lama ngobrol di saat masuk, dan meminta kebutuhan. Namun pendapat yang pertama adalah yang lebih utama. Dan isim isyarat (ذَلِكُمْ )adalah mubtada sedang khabarnya adalah أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ yaitu lebih mensucikan baginya dari kecurigaan dan hasrat jahat yang mengganggu benak laki-laki tentang wanita dan benak wanita tentang laki-laki. Dan dalam hal ini ada pelajaran bagi setiap orang yang beriman dan peringatan baginya dari terlalu percaya dengan dirinya ketika berkhalwat dengan wanita yang tidak halal baginya, dan ngobrol dengannya tanpa memakai hijab, dan dalam firman-Nya  : لاَ جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِيْ آبآئِهِنَّ وَلاَ أَبْنَائِهِنَّ وَلاَ إِخْوَانِهِنَّ وَلاَ أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلاَ أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلاَ نِسَائِهِنَّ Dia mengatakan وَلاَ نِسَائِهِن penyandaran ini menuntut bahwa yang dimaksud adalah wanita-wanita mu’minah, karena wanita-wanita kafir tidak bisa dipercaya dalam menjaga aurat (wanita mu’minah), sedangkan para wanita seluruh (tubuh)nya adalah aurat.
• Al Imam As Sayuthi rahimahullah berkata : Ini adalah ayat hijab yang dengannya Ummahatul Mu’minin mendapat perintah setelah sebelumnya keadaan wanita tidak berhijab.

• Al ‘Alamah Al Qur’aniy Muhammad Al Amin Al Syinqithi rahimahullah berkata : Telah terdahulu dalam tarjamah (maksudnya muqaddimah) Al Kitab Al Mubarak bahwa diantara bayan (penjelasan) yang dijelaskan dalam tarjamah itu adalah bila sebagian ulama mengatakan suatu pendapat tentang makna suatu ayat, dan dalam ayat itu sendiri ada qarinah yang menunjukan tidak benarnya pendapat ini, dan kami telah menyebutkan beberapa contoh di sana, dan masih banyak contoh yang ada di dalam Al Kitab ini yang belum kami sebutkan dalam tarjamah, dan diantara contoh yang kami sebutkan dalam tarjamah itu adalah ayat yang mulia ini, kami telah mengatakan dalam tarjamah Al Kitab Al Mubarak ini : Dan diantara contohnya adalah perkataan banyak orang : Bahwa ayat hijab yaitu firman-Nya وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ adalah khusus bagi isteri-isteri Nabi , maka sesungguhnya penetapan alasan (illah) hukum ini yaitu pengharusan hijab oleh Allah  dengan keberadaannya lebih mensucikan bagi hati laki-laki dan wanita dari kecurigaan dalam firman-Nya  : ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ merupakan qarinah yang jelas yang menunjukan keumuman hukum ini (mencakup isteri-isteri Nabi  dan wanita muslimah lainnya), karena tidak ada seorang muslim pun mengatakan bahwa selain isteri-isteri Nabi  tidak membutuhkan kepada kesucian hati mereka dan hati para lelaki dari kecurigaan maksiat dari diri para wanita. Dan sudah menjadi suatu kepastian dalam ilmu Ushul Fiqh bahwa illat (alasan hukum) itu mencakup seluruh yang dimasuki illat itu (ma’lul), dan hal ini diisyaratkan dalam Maraaqis Su’ud dengan perkataannya :
Dan terkadang mengkhususkan dan terkadang mengumumkan
Terhadap hukum asalnya, namun dia itu tidak pernah terobek
Selesai tempat tujuan dari perkataan kami dalam tarjamah tersebut, dan dengan penjelasan yang telah kami sebutkan maka anda bisa mengetahui bahwa dalam ayat ini ada dalil yang jelas yang menunjukan bahwa wajibnya hijab ini umum mencakup seluruh wanita bukan khusus bagi isteri-isteri Nabi  -meskipun asal lafadznya khusus buat mereka- karena keumuman illatnya menunjukan keumuman hukum di dalamnya. Sedangkan maslakul ‘illah (pokok alasan) yang menunjukan bahwa firman-Nya  : ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ adalah illat (alasan hukum) bagi firman-Nya  : فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ yaitu Al Maslak yang terkenal dalam ilmu Ushul dengan nama Maslakul ‘iima’ wat Tanbih. Sedangkan definisi atau batasan maslak yang bisa diterapkan pada juz’iyyahnya ini adalah : Disertainya suatu hukum syar’i dengan suatu sifat yang seandainya sifat ini adalah bukan alasan bagi hukum tersebut maka perkataan tersebut cacat menurut penilaian orang-orang yang memahami
Pengarang Maraqis Su’ud mendefinisikan dilalah Al ‘iimaa wat tanbih dalam pembahasan dilalatul Iqtidha wal Isyarah Wal ‘iimaa wat Tanbih dengan perkataannya :
Dilalah Al ‘iimaa wat tanbih
Dalam disiplin ilmu ini dimaksudkan menurut para ahlinya
Adalah menyertainya suatu sifat terhadap hukum yang
bila bukan untuk tujuan illat (alasan hukum itu), maka dicela oleh orang yang pandai.
Dan beliau mendefinisikan Al ‘iimaa wat tanbih juga dalam masaalikul ‘illah dengan perkataannya :
Dan yang ketiga : Al ‘iimaa yaitu penyertaan suatu sifat
terhadap suatu hukum yang keduanya dilafalkan tanpa ada ketinggalan
dan sifat itu atau nadhir itu
menyertainya, membantu bagi yang lainnya
Maka firman-Nya  : ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ seandainya bukan alasan hukum bagi firman-Nya: فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ maka tentu perkataan ini cacat tidak teratur benar menurut orang yang pandai lagi ‘arif.
Oleh sebab itu bila anda mengetahui bahwa firman-Nya  : ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّadalah illah (alasan hukum) bagi firman-Nya : ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ dan anda juga mengetahui bahwa hukum illat itu umum, maka ketahuilah sesungguhnya illat bisa membuat umum ma’lulnya dan bisa juga mengkhususkannya sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam bait syair Maraqis Su’ud, dan dengannya anda mengetahui bahwa ayat hijab itu umum karena keumuman illatnya, dan bila hukum ayat ini umum dengan dilalah qarinah qur’aniyyah maka ketahuilah bahwa hijab itu wajib atas seluruh wanita berdasarkan dilalah Al Qur’an.

Khithab Terhadap Seseorang Hukumnya Mencakup Seluruh Ummat
Serta Dilalah Hal Ini Atas Umumnya Hukum Hijab

Al ‘Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata : Dan di antara dalil yang menunjukan bahwa hukum ayat hijab itu umum, adalah kaidah yang sudah pasti dalam ilmu Ushul Fiqh, yaitu bahwa Khithab terhadap seseorang hukumnya mencakup seluruh ummat (خطاب الواحد يعم حكمه جميع الأمة) dan hukum tersebut tidak khusus bagi seorang yang dikhithabi saja, karena khithab (perintah) Nabi  kepada seorang dari ummatnya berarti hukumnya mencakup seluruh ummatnya disebabkan semuanya mempunyai kesamaan dalam hukum taklif, kecuali bila ada dalil khusus yang harus dijadikan patokan. Sedangkan perbedaan para ulama Ushul dalam khithab kepada seseorang adalah apakah hal itu termasuk shighat umum yang menunjukan pada keumuman hukum ? ada perbedaan dalam keadaan tapi sebenarnya bukan perbedaan. Khithab kepada seseorang (khithabul wahid) menurut madzhab Hambali merupakan shighat umum, dan menurut yang lainnya dari kalangan Malikiyyah dan Syafi’iyyah dan yang lainnya bahwa khithabul wahid tidak mempunyai keumuman karena lafadz yang satu tidak mencakup yang lainnya menurut asal bahasa, dan bila tidak mencakup yang lainnya menurut asal bahasa maka bukan termasuk shighat umum, namun para ulama yang berpendapat seperti ini semua sepakat bahwa hukum khithabul wahid umum bagi yang lainnya, (bukan dengan shighat itu) namun dengan dalil lain, yaitu dalil dengan Nash dan Qiyas.
Adapun Qiyas maka itu jelas sekali, karena menqiyaskan selain mukhathab (orang yang dikhithabi) kepada dia (mukhathab) berdasarkan adanya kesamaan di antara keduanya dalam hukum-hukum taklif merupakan qiyas jaliy (jelas).
Sedangkan Nash adalah seperti sabdanya  :
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ وَمَا قَوْلِيْ ِلامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ إِلاَّ كَقَوْلِيْ لِمِائَةِ امْرَأَةٍ
Artinya : Sesungguhnya saya tidak menyalami wanita, dan tidaklah perkataan saya terhadap seorang wanita melainkan sama seperi perkataan saya kepada seratus wanita.
Dan hal itu disyaratkan dalam Maraqia Su’ud dengan perkataannya :
Khithab wahid menurut selain madzhab Hanbali
Tanpa melihat nash dan qiyas jaliy
Dan dengan Qaidah Ushuliyyah yang kami sebutkan ini anda bisa mengetahui bahwa hukum ayat hijab itu umum, meskipun lafadznya khusus kepada isteri-isteri Nabi  karena perkataannya kepada salah seorang isterinya atau wanita lain sama seperti perkataanya kepada seratus orang wanita sebagaimana penjelasan yang anda lihat tadi.
Kemudian Asy Syinqithiy rahimahullah berkata lagi : Dan bila anda telah mengetahui dengan apa yang kami sebutkan bahwa hukum ayat hijab itu umum, dan bahwa ayat-ayat yang kami sebutkan bersamanya mengandung dilalah atas wajib ihtijab seluruh badan wanita dari laki-laki yang bukan mahram, maka anda mengetahui bahwa Al Qur’an telah menunjukan atas pensyari’atan hijab. Dan seandainya kita andai - andaikan bahwa ayat hijab itu khusus buat isteri-isteri Nabi  maka tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah tauladan terbaik bagi seluruh wanita kaum muslimin dalam etika-etika yang mulia yang menuntut kesucian yang sempurna dan tidak terkotori oleh kotoran-kotoran ribah (kecurigaan maksiat). Maka barang siapa berusaha mencegah wanita kaum muslimin – seperti para du’at sufur (para penyeru wanita untuk membuka wajah), tabarruj dan ikhtilath zaman sekarang ini – dari mencontoh terhadap mereka (isteri-isteri Nabi) dalam hal etika yang tinggi lagi mulia yang mengandung jaminan keselamatan kehormatan dan kesucian dari kotoran ribah berarti dia telah mengelabui ummat Muhammad  dan dia adalah orang yang berpenyakit di dalam hatinya seperti yang anda lihat.

• Syaikh Husnain Muhammad Makhluf Mufti Negara Mesir yang lalu berkata dalam tafsirnya : ,” وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ,”Bila kalian meminta dari isteri-isteri Nabi  ," مَتَاعًا,” sesuatu yang bisa dimanfaatkan seperti barang perabotan dan lain-lain, dan seperti itu adalah ilmu dan fatwa,” فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ,”(maka mintalah) dari belakang tabir antara kalian dan mereka,” ذَلِكُمْ,”(yang demikian itu) yaitu meminta dari belakang hijab,” ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ ,” lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka dari ribah dan hasrat yang jelek. Ayat hijab ini turun pada bulan Dzul Qa’dah tahun ke lima Hijriyyah, dan hukum wanita kaum mu’minin dalam hal ini sama seperti hukum isteri-isteri Nabi .

• Al Ustadz Muhammad Adib Kilkil berkata : Dan di antara dalil yang menunjukan wajibnya menutupi wajah dan kedua tangan perempuan adalah firman-Nya  yang memerintahkan kita bila meminta suatu kebutuhan kepada wanita agar memintanya dari belakang hijab, Dia  berfirman : وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ (Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka) maka seandainya menutupi wajah bukan suatu yang di tuntut, tentu tidak ada artinya sama sekali dalam meminta suatu kebutuhan dari belakang hijab, sungguh Allah  telah menetapkan bahwa hijab itu lebih mensucikan bagi hati seluruh orang. Maka janganlah seseorang mengatakan selain apa yang dikatakan oleh Allah … Kemudian beliau berkata : Bila seseorang mengatakan : sesungguhnya ayat ini khusus buat Ummahatul Mu’minin dan telah turun berkenaan dengan mereka,” Maka saya katakan : Sesungguhnya ayat ini meskipun khusus sebabnya karena isteri-isteri Nabi , namun ayat ini umum dari sisi hukum, karena yang menjadi patokan itu adalah umumnya lafadz bukan khususnya sebab, dan mayoritas ayat Al Qur’an mempunyai sebab di saat turunnya tanpa ada perbedaan diantara ulama, dan bila kita batasi hukumnya sesuai lingkupan sebab turunnya saja maka apa bagian kita dari ayat-ayat itu ? berarti dengan seperti ini kita telah menelantarkan ayat-ayat Allah  serta menggugurkan hukum-hukumnya jumlatan wa tafshilan (seluruhnya), dan apakah Al Qur’an ini hanya untuk diterapkan dalam masa tertentu saja tanpa masa yang lainnya ?
Maka da’waa (klaiman) bahwa ayat itu khusus buat isteri-isteri Nabi  di samping apa yang sudah saya sebutkan, tidak bisa dijadikan hujjah karena istitsna (pengecualian) dalam ayat لاَجُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِيْ آبآئِهِنَّ (Tidak ada dosa atas mereka (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan babak-bapak mereka) adalah umum, dan pengecualian itu adalah cabang dari hukum asalnya yaitu hijab, maka da’waa pengkhususan hukum asal memestikan pengkhususan cabangnya, sedangkan hal ini tidak bisa diterima karena keumumannya yang sudah diketahui, oleh sebab itu apakah bisa dikatakan kepada wanita yang telah dibolehkan oleh Allah  untuk menampakan diri di hadapan ayah, anak laki-laki, dan saudaranya : Sesungguhnya Allah  tidak mewajibkan kamu untuk berhijab dari laki-laki lain ? Padahal Allah  membatasi penampakan wanita kepada mahramnya saja dengan firman-Nya  : لاَجُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِيْ آبآئِهِن َّ …, Adapun laki-laki lain yang bukan mahram maka dia wajib berihtijab dari mereka sesuai tuntutan mafhum ayat itu.
• Syaikh Said Al Jabiy rahimahullah berkata dalam kitabnya Kasyfun Niqab : Maka Firman-Nya : ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ (Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka) membantah dan menggugurkan klaim kekhususan, karena telah diisyaratkan kepadanya dengan selain apa yang diklaim oleh orang yang menganggap khusus yaitu bahwa tujuan hijab itu untuk membedakan mereka (isteri-isteri Nabi) dari yang lainnya dan untuk mengangkat mereka di atas yang lainnya, padahal Allah  menjelaskan bahwa Al Ba’its (faktor pendorong) pensyari’atan hijab adalah untuk mensucikan hati-hati kedua pihak. Nah bila isteri-isteri Nabi  yang disucikan dari perbuatan zina, yang diharamkan dinikahi oleh kita, lagi diberi sifat bahwa mereka itu Ummahatul Mu’minin, telah diperintahkan untuk berhijab demi kesucian hati mereka dan hati putera-puteranya yang haram atas mereka menikahinya, maka apa gerangan yang kita katakan buat wanita selain mereka yang halal kita nikahi, lagi dihasrati oleh orang-orang yang berhati kotor, apakah boleh bagi mereka untuk membuka wajah (safirat) tidak memakai penutup muka (niqab), lagi tampak (ke hadapan orang) tanpa berhijab ? !
• Dan di antara yang mementahkan klaim pengkhususan adalah perkataan seorang Arab asli yang memahami akan bahasanya lebih dari kita setelah turunnya ayat hijab : Kami dilarang mengajak bicara puteri-puteri paman kami kecuali dari belakang hijab, seandainya Muhammad meninggal dunia saya sungguh akan menikahi si Fulanah,” maka turunlah firman-Nya  : Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak boleh (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah dia wafat,”. Dan di antara yang mementahkan klaim pengkhususan adalah Allah  menyatukan isteri-isteri Nabi dan puteri-puterinya serta wanita kaum mu’minin dalam satu hukum pada firman-Nya  : يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ ِلأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ (Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka") maka gugurlah klaim pengkhususan itu, nah bila keadaannya seperti itu maka seluruh yang telah ditetapkan bagi isteri-isterinya  ditetapkan juga bagi wanita lainnya, (dan sebaliknya) semua yang ditetapkan bagi wanita-wanita selain mereka ditetapkan juga bagi mereka, oleh sebab itu para sahabat  memahami bahwa perintah hijab itu adalah umum, dan sesungguhnya konteks ayat memberi faidah seperti itu dan menuntutnya.
• Al Ustadz Muhammad Adib Kilkil berkata : Adapun firman-Nya,”Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain,” yang dimaksud adalah mentaujih dan mentarbiyah mereka dengan taujih yang luhur, serta tarbiyah yang sangat tinggi yaitu bahwa mereka itu tidak sama dengan wanita lain dalam kedudukan, kehormatan, dan harga diri. Itu merupakan uslub (metode) dalam tarbiyah yang tidak ada bedanya dengan ucapan anda kepada anakmu yang baik : Wahai anakku, engkau ini tidak sama dengan anak-anak yang lain sehingga engkau jalan-jalan di jalanan ini, dan engkau melakukan perlakuan-perlakuan yang tidak layak, hendaklah engkau beretika dan berbuat sesuai kelayakan,” Ucapan anda ini bukan maksudnya bahwa anak-anak yang lain dianggap baik bila jalan-jalan di jalanan, dan melakukan perlakuan yang tidak layak, serta mereka tidak dituntut untuk beretika dan berbuat sesuai kelayakan, namun maksud ucapan anda seperti ini adalah penetapan batas ukuran akhlak-akhlak yang baik dan sempurna, agar dijadikan contoh dan acuan bagi anak lain yang menginginkan menjadi anak yang terdidik sehingga dia berusaha untuk mencapainya. Sesungguhnya Al Qur’an telah memilih uslub ini dan cara ini dalam mengkhithabi isteri-isteri Nabi  untuk mengikat mereka dengan satu ikatan secara khusus agar menjadi tauladan bagi wanita-wanita lain, serta perilaku dan kebiasaan mereka ini dijadikan acuan di dalam rumah-rumah umumnya kaum muslimin.

Firman-Nya,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” Adalah wasiat wasiat rabbaniyyah dan perintah-perintah ilahiyyah. Mana dari wasiat-wasiat dan perintah-perintah itu yang tidak berhubungan dengan wanita muslimat lainnya ? Apakah wanita-wanita muslimat tidak wajib bertaqwa kepada Allah, atau mereka dibolehkan khudlu’ (merendahkan) ucapannya dan mengajak bicara pria dengan ucapan-ucapan yang menimbulkan hasrat dan syahwat ? Atau juga mereka boleh tabarruj (berhias dan bertingkahlaku) seperti tabarrujnya jahiliyyah pertama ? Kemudian apakah layak mereka meninggalkan shalat dan tidak menunaikan zakat serta berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-nya ? Dan apakah Allah menginginkan membiarkan mereka bergelimang dosa ? Maka apabila perintah-perintah dan tuntunan-tuntunan itu adalah umum bagi seluruh kaum muslimat maka apa gerangan alasan yang mendorong untuk mengkhususkan tinggal di dalam rumah dan komitmen dengan hijab serta tidak berikhthilat dengan laki-laki yang bukan mahram hanya untuk isteri-isteri Nabi  saja dari sekian perintah dan tuntunan yang tercantum tadi ? sesungguhnya taujih rabbani dan tarbiyah ilahiyyah itu adalah buat seluruh wanita dengan lewat perantaraan Ummahatul Mu’minin sebagai mana sebuah ungkapan : Kamu yang saya maksud dan dengarkanlah wahai tetangga sebelah.

• Syaikh Wahbi Sulaiman Ghawizi Al Albani berkata : Hijab syar’i yang diperintahkan itu mempunyai tiga lapis (tingkatan) satu sama lain di atas yang lainnya dalam hal berhijab dan penutupan, yang semuanya telah ditunjukan oleh Al Kitab dan As Sunnah. Pertama : Hijab Asykhash (sosok) di dalam rumah dengan tembok dan kamar pingitan dan lain-lain sehingga laki-laki (yang bukan mahram) tidak melihat sedikitpun dari asykhash (sosok) mereka, pakaiannya, serta zinah (perhiasan)nya baik yang dhahirah maupun yang bathinah, juga tidak melihat sedikitpun dari badannya baik wajah, kedua telapak tangannya dan anggota tubuh lainnya.
Allah telah memerintahkan tingkatan hijab ini dalam firman-Nya : وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ (Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir) karena sesungguhnya hal ini menunjukan bahwa meminta segala sesuatu dari mereka harus dari belakang tabir yang menghalangi laki-laki dari perempuan dan perempuan dari laki-laki, sebab turun ayat ini memastikan makna ini dan menguatkannya. Dan Allah  telah memerintahkannya dalam firman-Nya  ,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu,” Muhammad Ibnu Sirin berkata : Saya diberitahu bahwa dikatakan kepada Saudah Bintu Zam’ah isteri Nabi  : Kenapa engkau tidak melakukan haji dan umrah sebagaimana yang dilakukan oleh saudari-saudarimu ? Beliau berkata : Saya telah menunaikan haji dan umrah, dan Allah telah memerintahkan supaya saya tinggal di dalam rumahku, Demi Allah aku tidak akan keluar dari rumahku sampai aku mati,” (perawi berkata) : Demi Allah beliau tidak pernah keluar dari pintu rumahnya sampai keluar janazahnya,” dan hukum ini umum, dikecualikan darinya keluar untuk hajat, Rasulullah  berkata,”Telah diizinkan bagi kalian keluar untuk hajat kalian,” Diriwayatkan oleh Al Bukhari. Tingkatan hijab ini dikuatkan dengan hadits-hadits yang menganjurkan wanita untuk tinggal di dalam rumah, dan tidak keluar meskipun untuk shalat berjama’ah bersama Rasulullah , karena keberadaan dia di dalam rumah lebih besar pahalanya di sisi Allah .

• Syaikh Abu Hisyam Abdullah Al Anshari berkata : Sesungguhnya perintah untuk berhijab itu tidak terkhusus kepada Ummahatul Mu’minin, meskipun dhamir niswah ((هُنَّ kembali kepada mereka karena mereka yang disebutkan sebelumnya, dan karena mereka adalah tauladan dan qudwah bagi wanita kaum muslimin dalam seluruh aspek kehidupan, dan sudah pada maklum bahwa pengkhususan dengan penyebutan tidak memestikan pengkhususan dengan hukumnya. Dan di antara dalil yang menunjukan bahwa itu bukan khusus adalah hal-hal berikut ini :

Pertama : Sudah tetap dalam ushul syari’at bahwa khithabul wahid hukumnya umum buat seluruh umat sehingga ada dalil yang mengkhususkannya, sedangkan tidak ada dalil yang menunjukan pengkhususan hukum hijab bagi Ummahatul Mu’minin, sebagaiman yang akan anda ketahui.

Ke dua : Sesungguhnya konteks ayat adalah umum meskipun orang yang dikhithabi adalah khusus, maka firman-Nya  ,”Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan,” bukan maknanya bahwa mereka boleh masuk rumah selain rumah Nabi  tanpa diizinkan, kemudian firman-Nya  ,”untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi bila kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik-asyik memperpanjang percakapan,” bukan artinya bahwa mereka tidak usah beretika dengan etika-etika ini, dan tidak menjaganya kecuali bersama Nabi . Maka bila konteks ayat adalah umum dan pengkhususan penyebutan Nabi . itu hanya karena kondisi yang menimpa beliau adalah sebab turunnya, dan karena beliau itu adalah tauladan buat seluruh kaum muslimin, maka bagaimana mungkin kita boleh melepaskan sebagian dari etika-etika itu sambil mengatakan bahwa hukum ini khusus bagi Nabi  dan isteri-isterinya.

Ke tiga : Sesungguhnya Allah  telah menjelaskan hikmah berhijab dan ‘illahnya (alasan hukumnya) Dia berfirman,” Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka,” dan illah ini adalah umum, karena tidak ada seorang muslimpun mengatakan bahwa selain isteri-isteri Nabi  tidak membutuhkan kepada kesucian hati mereka dan hati para pria dari hasrat terhadap mereka (wanita). Sedangkan umumnya illah dan hikmah hijab merupakan dalil keumuman hukum hijab bagi seluruh wanita kaum muslimin.

Ke empat : Dalil aulawiyyah (lebih ditekankan) ! yaitu bahwa Ummahatul Mu’minin adalah wanita yang paling suci hatinya di dunia ini, mereka adalah yang paling dimuliakan di seluruh hati kaum mu’minin, namun demikian mereka tetap diperintahkan untuk berhijab demi kesucian hati kedua belah pihak, maka wanita selain mereka lebih utama dengan perintah ini.

Ke lima : Sesungguhnya ayat penguluran jilbab (Al Ahzab 59) merupakan penyempurna ayat hijab ini (Al Ahzab 53), dan ayat penguluran itu secara jelas umum bagi seluruh wanita maka ayat hijab ini harus seperti itu.

Ke enam : Sesungguhnya wanita (shahabiyyah) kaum muslimin selalu komitmen dengan hijab sebagaimana komitnya para Ummahatul Mu’minin.
Sampai beliau mengatakan :
Inilah, dan sesungguhnya anda seandainya membuka-buka penegasan para ulama, hampir anda tidak mendapatkan seorangpun yang mengatakan akan khususnya hijab bagi Ummahatul Mu’minin, sedangkan hijab yang dijadikan oleh orang yang menjadikannya khusus bagi mereka adalah kadar tambahan terhadap hijab yang telah dikenal yang sedang kita bahas ini, dan ini bisa lebih jelas dengan memperhatikan penegasan-penegasan mereka : Al Qadli Iyadl berkata : ( kewajiban hijab termasuk apa yang dikhususkan bagi isteri-isteri Nabi , maka hijab ini adalah wajib atas mereka tanpa ada pertentangan dalam wajah dan kedua telapak tangan, maka tida boleh mereka membukanya baik untuk kesaksian ataupun yang lainnya, dan mereka tidak boleh menampakan sosok mereka – meskipun mereka itu menutupi diri – kecuali bila ada dlarurat yang mendesak seperti keluar untuk buang air….dan sungguh mereka itu bila duduk melayani manusia mereka duduk dari balik tabir, dan bila mereka keluar, maka mereka menutup dan menghalangi sosok mereka sebagaimana yang ada pada hadits Hafshah di saat wafatnya Umar, dan tatkala Zainab meninggal dunia, mereka (orang-orang) membuat qubbah di atas kerandanya supaya menutupi sosoknya,,,, lihat shahih Muslim bersama Syarah An Nawawiy 2/215, Fathul Bariy 8/530.
Maka yang diyakini oleh Al Qadli (Iyadl) bahwa itu khusus bagi mereka (isteri-isteri Nabi) adalah tidak bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangannya meskipun kebutuhan sangat mendesaknya, dan tidak boleh menampakan sosoknya meskipun mereka itu dalam keadaan tertutup. Dan yang lebih tegas dari perkataan Al Qadli adalah perkataan diantara kalangan ahli tafsir yaitu Al baghawi dan yang lainnya, Al Baghawi berkata : Dan setelah turunnya ayat hijab, maka tidak seorangpun boleh memandang isteri Rasulullah , baik dia itu menutup wajah ataupun tidak,,, lihat Tafsir Al baghawi di hamisy Tafsir Al Khazin 5/224.
Dan sudah ma’lum bahwa pengkhususan kadar tambahan terhadap hijab bagi Ummahatul Mu’minin itu tidak menafikan umumnya hijab bagi seluruh wanita , namun itu para ulama ahli tahqiq telah membantah terhadap Al qadli Iyadl atas apa yang beliau klaim, dan mereka menetapkan bahwa sikap keras ini dalam masalah hijab tidak pernah terjadi sama sekali
• Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf berkata : Tidak pernah ada dalam ayat An Nur dan ayat Al Ahzab bentuk pengkhususan bagi isteri-isteri Nabi dengan hukum yang telah ditentukan, maka itu adalah hukum-hukum umum bagi seluruh wanita ummat Muhammad  sampai hari kiamat. Dan termasuk klaim yang bathil adalah perkataan : Sesungguhnya ayat hijab adalah khusus bagi isteri-isteri Nabi ,”. Sebagaimana bahwa seluruh hukum-hukum yang dikemukakan oleh lisan Rasulullah  dalam hal menutupi diri, mencegah segala sesuatu yang mengundang fitnah, dan menjaga wanita muslimah dari pengobralan perhiasannya, kehormatannya serta harga dirinya kepada laki-laki lain, itu semua adalah umum bagi setiap muslimah sampai hari kiamat. Adapun kesegeraan Ummahatul Mu’minin untuk mengamalkan syari’at-syari’at agama, ini tidak menunjukan bahwa hal itu khusus bagi mereka , karena mereka adalah tauladan yang baik bagi setiap muslimah hingga hari kiamat, pengaruh pelaksanaan langsung dalam iqtida’ dan perealisasian hukum-hukum lebih besar dampaknya dari sekedar perkataan, dan hal ini bisa dirasakan, dan hal yang sama adalah apa yang terjadi pada Umrah Hudaibiyyah sebagaimana dalam Shahih Al Bukhari, berkata : Tatkala perdamaian Hudaibiyyah selesai Rasulullah  memerintahkan para sahabatnya, seraya berkata : Berdirilah kalian, sembelihlah sebelihan kalian dan terus gundulilah kepala kalian,” berkata : Demi Allah tidak ada seorangpun yang berdiri hingga Beliau  mengatakannya tiga kali, tatkala tidak satupun berdiri Beliau  masuk menemui Ummu Salamah dan terus menceritakan perlakuan orang-orang kepadanya, maka Ummu Salamah berkata : Wahai Nabi Allah apakah engkau menginginkan hal itu ? Keluarlah menemui mereka dan janganlah engkau mengajak bicara seorangpun sehingga engkau menyembelih untamu, kemudian memanggil tukang cukurmu sehingga dia mencukur (rambut)mu,” Maka Beliau  keluar dan tidak mengajak bicara seorang pun sehingga beliau melakukan hal itu, menyembelih untanya, dan memanggil tukang cukurnya dan terus dia mencukurnya, maka tatkala orang-orang melihat Beliau  melakukannya maka mereka pun bangkit dan terus menyembelih unta-untanya, dan mereka saling mencukuri sehingga saling berebutan karena kehawatiran.

Kisah seperti ini mengandung perealisasian atas perintah dan memberikan contoh dengan contoh yang baik, karena perintah yang dibarengi dengan pelaksanaan pasti seperti itu, dan itu lebih membuat orang islam cepat-cepat melaksanakannya dari sekedar memerintah saja. Dan begitulah keadaan wanita-wanita muslimat di masa ayat-ayat Al Qur’an turun, tatkala Allah  menurunkan ayat hijab maka orang yang paling pertama melaksanakannya adalah Ummahatul Mu’minin supaya memperkuat sisi perintah ayat karena mereka adalah orang terpandang di hati kaum muslimin dengan realita yang diinginkan Allah dari wanita-wanita mu’minat dengan penurunan ayat itu.

• Syaikh Abdul Aziz Ibnu Rasyid An Najdi rahimahullah berkata setelah menyebutkan dua ayat dalam surat Al Ahzab,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya,” dan,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya,” bila dikatakan : dua ayat yang akhir ini konteks dan dhahirnya adalah khusus bagi isteri-isteri Nabi  .” maka dijawab : Tidak, sama sekali, bahkan hukum asal dalam semua syari’at dan semua ayat adalah umum buat seluruh ummat selama tidak ada dalil yang mengecualikannya, dan di sini tidak ada dalil yang mengkhususkannya buat mereka (isteri-isteri Rasulullah ), karena setiap mu’minah adalah dilarang merendahkan perkataannya di hadapan laki-laki, tabarruj ala jahiliyyah dengan menampakan perhiasannya, sebagaimana dia diperintahkan untuk selalu tinggal di dalam rumah, dan tidak keluar kecuali ada mashlahat yang memaksanya. Dan begitu juga setiap mu’min diperintahkan untuk beretika baik bersama kaum mu’minat bila meminta kepada mereka suatu kebutuhan atau apa saja hendaklah dilakukan dari balik hijab, dan janganlah menerobos hijab, dan janganlah menyuruh dia meninggalkan hijab, serta janganlah mengakui atas perbuatan maksiatnya bila dia (wanita) mengikuti perintahnya, namun bila wanita itu menyalahinya maka tidak ada dosa bagi orang yang memintanya dari kalangan orang-orang yang bertaqwa, dari Aisyah radliyallahu ‘anha berkata : Rasulullah  berkata,” Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian (wanita) keluar untuk kebutuhan-kebutuhan kalian,” diriwayatkan oleh Al Bukhari.

• Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri hafidhahullah berkata : Ayat yang mulia ini dikenal dengan sebutan ayat hijab, karena ini merupakan ayat yang pertama kali turun tentang hijab, setelah ayat ini turun Rasulullah r menghijabi isteri-isterinya dan kaum mu’minin juga menghijabi isteri-isterinya, ini merupakan nash yang jelas tentang kewajiban hijab, karena Firman-Nya,” Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir,” adalah qathi’yyuddilalah (penunjukannya pasti) terhadab hal ini. Sungguh pendapat yang sangat aneh (nyeleneh) yang mengatakan : sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan isteri-isteri Nabi r maka ayat ini khusus bagi mereka saja tidak wanita kaum mu’minin lainnya,” sebab seandainya keadaanya seperti yang dikatakan itu, tentu sahabat-sahabat Rasulullah r tidak akan menghijabi isteri-isteri mereka, dan tentu pemberian izin oleh Rasulullah r kepada orang yang mau melamar untuk melihat wanita pinangannya tidak ada artinya.

Dan lebih dari itu bahwa isteri-isteri Nabi r telah dijadikan oleh Allah  sebagai Ummahatul Mu’minin, Dia  berfirman,” dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka,”menikahi mereka adalah diharamkan selama-lamanya sebagaimana halnya ibu mereka sendiri, jadi apa artinya penghijaban mereka bila hukumnya hanya terbatas pada mereka saja. Nah dari sinilah maka hukum itu umum mencakup seluruh wanita mu’minah sampai hari kiamat, dan bahkan termasuk qiyas aula (qiyas yang lebih utama). Allah  mengharamkan pengucapan cih kepada kedua orang tua menunjukan pada pengharaman memukulnya secara lebih lebih, inilah yang ditunjukan oleh nash-nash syari’ah dan diamalkan oleh kaum muslimin.

Tanbih Penting

Syaikh Nashiruddin Al Albani sama sekali tidak menyinggung-nyinggung bantahan terhadap istidlal ulama-ulama yang banyak ini dengan ayat hijab dalam kitabnya Hijabul Mar’ah Al Muslimah Fil Kitab Was Sunnah, sepertinya beliau berpendapat bahwa wajibnya hijab ini khusus bagi Ummahatul Mu’minin, dan tidak menjadikannya umum bagi seluruh wanita muslimat, padahal pemberlakuan umumnya ayat hijab itu merupakan lazim (keharusan) dari perkataan beliau sendiri. Sungguh beliau telah berdalil dengan hadits Ummu ‘Athiyyah radliyallhu ‘anha untuk menetapkan bahwa perintah menyuruh para wanita untuk keluar melaksanakan shalat ‘ied itu adalah terjadi setelah turunnya ayat hijab, dan inilah teks haditsnya :
Tatkala Rasulullah tiba di kota Madinah beliau mengumpulkan wanita Anshar dalam satu rumah, kemudian mengutus Umar Ibnu Al Khaththab kepada mereka, dia(Umar) berdiri dibalik pintu terus mengucapkan salam kepada mereka, maka mereka pun menjawab salam tersebut, kemudian Umar berkata : Saya adalah utusan Rasulullah  kepada kalian,” mereka menjawab,”Selamat dengan Rasulullah  dan utusannya,”Umar berkata,”Kalian mau berbai’at untuk tidak menyekutukan sesuatupun dengan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak mendatangkan kedustaan yang kalian ada-adakan di antara tangan-tangan dan kaki-kaki kalian, dan tidak durhaka di dalam yang ma’ruf ? maka mereka menjawab,”Ya,” maka Umar membentangkan tangannya dari luar pintu dan mereka pun membentangkan tangan-tangannya dari dalam, kemudian Umar berkata,” Ya Allah saksikanlah,” (Ummu ‘Athiyyah berkata) : Dan kami diperintahkan (dalam satu riwayat : Maka kami diperintahkan) untuk menyuruh keluar gadis-gadis muda dan wanita-wanita haid dalam dua Hari Raya, dan kami dilarang mengikuti jenazah, serta tidak ada kewajiban jum’at atas kami, maka saya bertanya tentang buhtan( kedustaan) dan tentang firman-Nya,”Dan tidak akan mendurhakaimu dalam hal yang baik,” ? beliau menjawab: Itu adalah niyahah(meratapi),” …..Kemudian Syaikh (Al Albani) berkata : Sisi pengambilan syahid (dalil) dengannya hanya bisa jelas bila kita ingat bahwa ayat bai’at wanita,”Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan apapun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka…..,” hanyalah turun di hari futuh (penaklukan) kota Mekkah sebagaiman yang dikatakan oleh Muqatil (Ad Dur Al Mantsur 6/209), dan turun setelah ayat imtihan (pengujian keimanan mereka) sebagaiman yang dikeluarkan oleh Ibnu Mardawaih dari Jabir (Ad Dur 6/211), dan dalam Al Bukhari dari Al Miswar bahwa ayat imtihan turun pada hari perjanjian Hudaibiyyah, dan itu tahun 6 Hijriyyah menurut pendapat yang shahih sebagaimana dikatakan Ibnu Al Qayyim dalam Az Zad (Zadul Ma’ad), sedangkan ayat hijab hanyalah turun tahun 3, ada yang mengatakan juga tahun 5 takala Rasulullah  membangun rumah tangga dengan Zainab Bintu Jahsy, sebagaiman dalam biografinya dalam Al Ishabah. Maka dengan ini pastilah bahwa perintah menyuruh wanita agar ikut keluar menyaksikan Al ‘Ied adalah terjadi setelah diturunkan kewajiban berhijab, dan ini dikuatkan bahwa dalam hadits Umar (tadi) beliau tidak masuk menemui para wanita (secara langsung bertatapan), namun beliau justru membai’atnya hanyalah dari belakang pintu, dan dalam kisah ini dia (Umar) menyampaikan perintah Nabi  kepada para wanita agar mereka keluar menyaksikan Al ‘Ied, sedang ini terjadi pada tahun keenam Hijriyyah setelah kepulangan beliau dari Hudaibiyyah, setelah turunnya ayat imtihan dan ayat bai’at sebagaimana yang telah lalu.

Bukti dari itu adalah perkataan Syaikh rahimahullah : Setelah diturunkan kewajiban berhijab,” sebagai isyarat kepada ayat hijab,” Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka,” kemudian beliau menguatkan perkataannya dengan ungkapannya,” dan ini dikuatkan bahwa dalam hadits Umar (tadi) beliau tidak masuk menemui para wanita (secara langsung bertatapan), namun beliau justru membai’atnya hanyalah dari belakang pintu,” maka suatu mesti (lazim) dari pernyataan ini bahwa Syaikh mengambil dalil dengan umumnya ayat hijab bagi seluruh wanita. Wallahu ‘Alam.


Dalil Ketiga

Firman-Nya  :

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِيْ فِيْ قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفاً . وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَآتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا

Artinya : Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah sama seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit di dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilayyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. ( Al Ahzab 32-33)
Dan yang menjadi pokok pembahasan adalah firman-Nya,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilayyah yang dahulu,”
• Imamul Mufassirin Ibnu Jarir Ath Thabari rahimahullah berkata : (Dikatakan bahwa tabarruj di sini adalah tabakhtur (berlenggang) dan (takassur) berlenggak lenggik) kemudian beliau meriwayatkan dengan sanadnya dari Qatadah berkata : Yaitu bila kalian keluar dari rumah kalian, beliau berkata : mereka (wanita jahillah dahulu) mempunyai cara jalan, takassur, dan taghannuj (gerakan yang merangsang), maka Allah melarang dari melakukan hal itu.” Ya’qub telah memberitahu kami, beliau berkata : Ibnu ‘Aliyyah telah memberitahu kami, beliau berkata : Saya mendengar Ibnu Abi Nujaih berkata tentang firman-Nya  ,” dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilayyah yang dahulu,” beliau berkata : (Yaitu) Tabakhtur, dan dikatakan : Sesungguhnya tabarruj adalah menampakan perhiasan, dan wanita menampakan kecantikannya di hadapan laki-laki.

• Al Imam Abu Bakar Al Jashshah rahimahullah berkata : Dan firman-Nya ,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,” Hisyam meriwayatkan dari Muhammad Ibnu Sirin berkata : Dikatakan kepada Saudah Bintu Zam’ah : Kenapa tidak keluar (untuk haji dan umrah) sebagaimana yang dilakukan saudari-saudarimu ? Beliau berkata : Saya sudah melaksanakan haji dan umrah kemudian Allah memerintahkan saya agar diam di dalam rumahku, maka Demi Allah saya tidak akan keluar,” Maka beliau tidak pernah keluar hingga mereka yang mengeluarkan janazahnya. Dan dikatakan bahwa makna,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,” jadilah kalian orang yang waqar, tenang, dan kalem, dikatakan waqira fulan fi baitihi yaqiru wuquran bila dia tenang dan tuma’ninah di dalam rumahnya. Dalam potongan ayat ini ada dilalah yang menunjukan bahwa wanita itu diperintahkan agar selalu berada di rumahnya dan dilarang keluar, dan firman-Nya ,” dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilayyah yang dahulu,”Ibnu Abi Najih meriwayatkan dari Mujahid,” dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilayyah yang dahulu,”beliau berkata : Adalah wanita dahulu berjalan di depan pria, maka itu adalah tabarruj jahiliyyah. Sa’id berkata dari Qatadah,” dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahilayyah yang dahulu,” yaitu bila kalian keluar dari rumah kalian, beliau berkata : Mereka memiliki cara berjalan, takassur, dan taghannuj, maka Allah melarang mereka dari melakukan hal itu, dikatakan pula : Tabarruj itu adalah menampakan kecantikan kepada kaum pria. Dan dikatakan : Jahiliyyah uula adalah sebelum Islam, dan jahiliyyah tsaniyyah (kedua) adalah keadaan orang di dalam islam yang melakukan perlakuan seperti perlakuan mereka. Dan semua hal ini adalah termasuk apa yang diajarkan oleh Allah kepada isteri-isteri Nabi  demi menjaga kesucian mereka, dan wanita lainnya dimaksud juga dengannya.
• Al Qadli Abu Bakar Ibnu Al ‘Arabiy rahimahullah berkata : Firman-Nya  : (وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ) artinya diamlah di dalam rumahnya, janganlah keluar, dan janganlah meninggalkan rumahnya, sampai-sampai diriwayatkan-namun ini tidak benar - bahwa Nabi  tatkala pulang selesai haji Wada’ berkata kepada isteri-isterinya : Ini, kemudian tampaknya tikar,” sebagai isyarat pada keharusan wanita tetap berada di dalam rumahnya, dan menghindari dari keluar darinya, kecuali karena dharurat. Dan saya telah mengelilingi seribu sekian desa di bumi ini, maka saya tidak mendapatkan wanita-wanita yang lebih tertutup, dan lebih menjaga diri daripada wanita-wanita penduduk Nablis yang dikota itu Ibrahim Al Khalil  pernah dilemparkan ke dalam api, saya tinggal di sana sebulan, dan saya tidak melihat seorang wanita pun dijalanan di siang hari kecuali hari jum’at, mereka keluar menghadiri jum’at hingga ruangan mesjid buat mereka penuh, kemudian setelah shalat selesai dan mereka kembali pulang ke rumahnya, mata saya tidak pernah melihat seorang pun dari mereka hingga jum’at berikutnya, namun desa-desa yang lainnya para wanitanya tampak tabarruj ada yang memakai perhiasan ada juga yang tidak, perhiasan mereka beragam yang menimbulkan fitnah, dan sungguh saya telah melihat wanita-wanita yang menjaga kehormatannya (‘Afa’if) di Masjid Al Aqsha, mereka tidak keluar dari tempat i’tikafnya hingga mati syahid di dalamnya.
• Al Imam Abu Abdillah Al Qurthubi rahimahullah : Makna ayat ini adalah perintah untuk selalu tinggal di dalam rumah, meskipun khithabnya adalah isteri-isteri Nabi  namun wanita lainnya masuk di dalamnya karena ada makna yang menyatukan, ini bila tidak ada dalil yang mengkhususkannya buat seluruh wanita, bagaimana sedangkan syari’at seluruhnya memestikan agar wanita tetap diam di dalam rumahnya, dan menghindari dari keluar dari dalam rumah kecuali karena dharurat, sesuai penjelasan yang telah lalu, Allah  memerintahkan isteri-isteri Nabi  agar selalu tinggal di dalam rumah mereka, dan Dia mengkhithabi mereka dengan hal itu sebagai pemuliaan bagi mereka, serta melarang mereka melakukan tabarruj, dan Dia memberitahukannya bahwa itu adalah perlakuan jahiliyyah pertama,” وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى ,”
{ Ibnu ‘Athiyyah rahimahullah berkata : Dan yang nampak bagi saya bahwa Dia mengisyaratkan kepada Jahiliyyah yang mereka dapatkan, maka mereka diperintahkan agar pindah dari kebiasaan yang biasa mereka lakukan, yaitu kebiasaan sebelum turunnya syari’at berupa kebiasaan orang-orang kafir, karena sesungguhnya mereka itu dahulu tidak memiliki ghairah, sedangkan wanita tanpa berhijab, dan itu dinamakan jahiliyyah pertama ditinjau dari keadaan yang mereka jalani, dan bukan maknanya bahwa di sana ada jahiliyyah lain , nama jahiliyyah telah diberikan kepada masa sebelum Islam, mereka berkata : Jahiliy dalam jajaran para penyair, Ibnu Abbas mengatakan dalam Al Bukhari : saya mendengar bapakku pada zaman jahiliyyah berkata, dan yang lainnya.
Al Qurthubiy berkata dalam rangka mengomentari : ( Saya berkata : Dan ini adalah perkataan yang baik, namun ini dibantah bahwa orang-orang Arab adalah orang yang hidup kasar dan sulit pada umumnya, sedangkan bersenang-senang dan memperlihatkan perhiasan hanyalah ada pada zaman akhir-akhir dahulu, dan itu yang dimaksud dengan jahiliyyah uulaa, dan yang dimaksud dari ayat adalah menyalahi wanita-wanita yang ada sebelum mereka, berupa berjalan dengan taghannuj, taksir, dan menampakan kecantikan kepada laki-laki, dan perbuatan yang lainnya yang tidak dibolehkan syari’at, dan itu mencakup perkataan semuanya, sehingga mereka harus tetap di rumahnya, dan bila ada keperluan mendesak untuk keluar, maka hendaklah keluar dengan pakaian yang tidak menarik dan dengan penutupan yang sempurna, Wallahul Muwaffiq.
Al Qurthubiy berkata lagi :
Dikarenakan kebiasaan wanita-wanita Arab adalah biasa-biasa saja, dan mereka itu membuka wajah-wajahnya seperti yang dilakukan oleh budak, dan hal ini mengundang pandangan laki-laki kepadanya, dan pikiran pun melayang-layang tentang mereka, maka Allah memerintahkan Rasul-Nya  agar memerintahkan mereka supaya mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuhnya bila mereka hendak keluar untuk hajat-hajat mereka.
• Al Imam Abu Hayyan berkata : ( Adalah kebiasaan orang-orang arab wanitanya baik yang merdeka ataupun yang budak keluar dengan wajah terbuka, hanya mengenakan baju kurung dan kudung)
Beliau berkata juga : ( Yang nampak dari wanita pada zaman jahiliyyah adalah wajah)
Dan Abu hayyan menukil dari Al Laits, bahwa beliau berkata : ( Tabarrajatil mar’atu (wanita bertabarru) artinya : Dia menampakan kecantikannya dari wajahnya dan badannya)
Dan menukil dari Muqatil dalam tafsir makna tabarruj : ( Melipatkan kudung pada mukanya, namun tidak mengencangkannya)
Al Hafidh menukil dalam Fathul Bari dari Al Farra’ perkataannya : ( Mereka pada zaman jahiliyyah wanitanya mengulurkan kudungnya dari belakangnya, dan membuka bagian depannya, maka mereka diperintahkan agar menutupi diri)
Dan Al Imam Abu Hayyan menukil juga :
( Wanita-wanita Arab dahulu mereka itu membuka wajah-wajahnya seperti yang dilakukan oleh budak, dan hal ini mengundang pandangan laki-laki terhadapnya, maka Allah memerintahkan mereka agar mengulurkan jilbab-jilbabnya, supaya dengannya mereka menutupi wajah-wajahnya, dan dipahamilah perbedaan antara wanita-wanita merdeka dengan wanita-wanita budak)
• Al ‘Allamah Muhammad Anwar Al Kasymiri Ad Duyubandiy rahimahullah telah menyebutkan ayat-ayat yang mempunyai hubungan dengan macam-macam hijab yang diperintahakan, beliau berkata : Dan diantaranya adalah firman-Nya,” Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu…………,”khithab di dalam ayat itu –meskipun khusus- namun hukumnya adalah umum, kemudian keluar untuk kebutuhan itu sama sekali bukan termasuk tabarruj jahiliyyah uula, karena tabarruj mereka itu adalah keluar rumah seperti laki-laki dengan penampilan yang tidak layak dan tidak menutupi diri.
• Dan beliau menukil perkataan tentang pembagian macam-masam hijab dari Al Hafidz Ibnu Hajar, bahwa sesungguhnya : Diantara hijab itu ada hijab dengan cara mengenakankan niqab ketika keluar, dan ini disebut hijab muka, dan yang kedua namanya hijab Al Asykhash, yaitu diam di dalam rumah, Wallahu ‘Alam.
• Syaikh Ismail haqqa Al Burusawiy berkata : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu……artinya hendakalah kalian selalu berada di rumah wahai isteri-isteri Nabi, dan tetaplah di tempat tinggal kalian, dan khithab ini- meskipun khusus terhadap isteri-isteri Nabi- namun wanita yang lain masuk di dalamnya.
• Ar Raghib Al Ashfahaniy berkata ; (Tsaubun mubarrajun : Artinya digambar padanya bintang-bintang, maka dianggap keindahannya, dikatakan tabarrajatil mar’atu artinya diamenyerupainya dalam hal menampakan keindahan, dikatakan dhaharat min burjiha artinya muncul dari istananya, dan hal ini ditunjukan oleh Firman-Nya ,” dan tetaplah di rumah-rumah kalian, dan janganlah bertabarruj seperti tabarruj jahiliyyah uulaa,” dan firman-Nya,”dengan tidak bermaksud menampakan perhiasan,” dan barj adalah lapangnya mata dan indahnya sebagai penserupaan terhadap burj dalam dua hal itu.
• Asy Syaukani rahimahullah berkata : ( Dan mungkin saja yang dimaksud dengan jahiliyyah lain adalah apa yang terjadi pada islam berupa penyerupaan terhadap ahli jahiliyya baik dalam ucapan ataupun perlakuan, sehingga maknanya : dan janganlah kalian wahai muslimat bertabarruj setelah islam kalian dengan tabarruj yang menyerupai tabarruj jahiliyyah yang dahulu kalian alami dan yang dialami oleh wanita-wanita sebelum kalian, yaitu : janganlah kalian menimbulkan dengan perlakuan-perlakuan dan perkataan-perkataan kalian lakukan jahiliyyah yang menyerupai jahiliyyah yang sebelumnya.
• Al Alusi rahimahullah berkata : Dan yang dimaksud sesuai dengan seluruh Qira’at adalah perintah terhadap mereka radliyallahu ta’ala ‘anhunna agar selalu tinggal di rumah, dan ini hal yang dituntut dari semua wanita, At Tirmidzi dan Al Bazzar meriwayatkan dari Ibnu Masud  dari Nabi  berkata,”Sesungguhnya wanita itu adalah aurat, dan keadaan dia sangat dekat dengan rahmat Rabbnya adalah ketika dia berada di dalam rumahnya,” . Dan Al Bazzar meriwayatkan dari Anas  berkata : Para wanita datang kepada Rasulullah , terus mereka berkata : Wahai Rasulullah, laki-laki mendapatkan keutamaan jihad fi sabilillah, maka apakah kami mempunyai amalan yang bisa menyamai keutamaan para mujahidin fi sabilillah Ta’ala ? Maka Beliau  berkata : Siapa orang di antara kalian diam duduk di rumahnya, maka sesungguhnya dia mendapatkan amalan para mujahidin fi sabilillah Ta’ala,”. Keluarnya wanita dari rumah bisa menjadi haram, bahkan bisa jadi menjadi dosa besar seperti keluar untuk ziarah kubur bila mafsadahnya besar, dan begitu juga termasuk dosa besar keluarnya meskipun untuk ke mesjid sedang dia telah mengenakan parfum dan bersolek bila fitnah dipastikan ada, namun bila diperkirakan ada fitnah maka ini termasuk haram namun bukan tergolong dosa besar. Bolehnya wanita keluar seperti untuk melaksanakan haji, menziarahi kedua orang tua, menjenguk orang sakit, ta’ziah kerabat yang meninggal dunia dan yang lainnya, dan ini hanya boleh dengan persyaratan yang disebutkan dalam pembahasannya.
• Syaikh Mushthafa Al Maraghi rahimahullah : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,” yaitu diamlah di dalam rumah kalian, maka janganlah keluar tanpa ada kebutuhan, dan ini merupakan perintah bagi mereka dan yang lainnya.
• Al Maududiy rahimahullah berkata : (Sesungguhnya tempat diam dan tempat tinggal wanita adalah di dalam rumahnya, dan tidaklah mereka itu digugurkan dari kewajiban-kewajiban di luar rumah melainkan agar mereka itu tetap berada di dalam rumahnya dengan tenang dan penuh wibawa, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban hidup sebagai ibu rumah tangga, adapun bila mereka mempunyai kebutuhan untuk keluar maka boleh bagi mereka keluar dari rumahnya dengan syarat menjaga sisi ‘iffah dan rasa malu, pakaiannya tidak ada pancaran kilau, atau hiasan, atau sifat daya tarik yang mengundang pandangan terhadapnya, dan pada dirinya tidak ada keinginan untuk menampakan perhiasannya, mereka terkadang berusaha untuk membuka sedikit dari wajahnya dan saat yang lainnya membuka tangannya, dan janganlah dalam jalannya itu ada sesuatu yang bisa menarik dorongan gejolak hati, dan janganlah mereka mengenakan perhiasan-perhiasan yang gemerincing yang membisik pada pendengaran, janganlah mengangkat suaranya dengan maksud didengar orang, ya memang mereka boleh berbicara dalam hal yang dibutuhkan, namun dalam perkataannya itu wajib jangan mengandung unsur kelembutan, sendu, dan pada gaya bicaranya janganlah mengandung kehalusan, dan rasa memikat, semua batasan dan aturan ini – bila diperhatikan oleh wanita – mereka boleh keluar untuk kebutuhan-kebutuhannya.
• Fadhilatusy Syaikh Husnain Muhammad Makhluf Mufti Negri Mesir yang lalu mengatakan : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,” yaitu diamlah di rumah, maka janganlah keluar tanpa ada kebutuhan syar’iyyah, dan sebagaimana halnya mereka (isteri-isteri Nabi) adalah para wanita kaum mu’minin lainnya.
• Beliau berkata lagi : Dan diantara yang membolehkan mereka untuk keluar adalah : Melaksanakan ibadah haji, shalat di mesjid, menziarahi kedua orang tua, menjenguk orang yang sakit, dan berta’ziah kepada kerabat, serta berobat, dan hal lainnya dengan tentunya menjaga syarat-syaratnya yang diantaranya menutupi diri dan tidak bersolek.
• Al ‘Allamah Asy Syaikh Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz rahimahullah berkata : Dalam ayat-ayat ini Allah melarang isteri-isteri Nabi Al Karim Ummahatul Mu’minin yang merupakan wanita yang paling baik serta paling suci dari melakukan khudlu’ dengan perkataan kepada laki-laki, dan khudlu’ itu adalah menghaluskan dan melembutkan perkataan, supaya mereka tidak dihasrati oleh orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan syahwat zina dan dia mengira bahwa mereka mengiakan keinginannya, dan Dia memerintahkan mereka agar tetap berada di dalam rumahnya, serta melarangnya dari melakukan tabrruj ala jahiliyyah, yaitu menampakan perhiasan dan kecantikan seperti kepala, wajah, leher, dada, lengan, betis dan perhiasan lainnya karena hal itu mendatangkan kerusakan yang sangat besar dan fitnah yang tiada terkira serta membangkitkan selera syahwat laki-laki untuk melakukan jalan menuju perzinahan. Dan bila Allah  menghati-hatikan Ummahatul Mu’minin dari hal-hal yang mungkar ini padahal mereka adalah wanita yang paling baik, paling beriman, dan paling cuci, maka wanita-wanita yang lainnya lebih utama sekali untuk mendapatkan peringatan, pengingkaran, dan kehawatiran dari terjerumus ke dalam sebab-sebab fitnah, semoga Allah  menjaga kami dan anda sekalian dari fitnah-fitnah yang menyesatkan, dan bukti keumuman hukum itu bagi isteri-isteri Rasul  dan wanita lainnya adalah firman-Nya  dalam ayat ini,” dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya,” karena sesungguhnya perintah-perintah ini adalah umum buat isteri-isteri Nabi  dan wanita lainnya.
• Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iri hafidhahullah berkata : Dalam ayat yang mulia ini mengandung banyak dalil yang agung yang menekankan hukum hijab, dan menetapkannya, dan itu sebagai berikut :
• Wanita mu’minah dilarang menghaluskan dan melembutkan suaranya bila berbicara dengan laki-laki yang bukan mahram dengannya.
• Perkiraan adanya penyakit syahwat dalam hati sebagian orang yang beriman, dan ini merupakan illat (alasan hukum) dilarangnya wanita dari melembutkan dan menghaluskan suaranya bila berbicara.
• Wajibnya membatasi ungkapan dan pembicaraan sekedar kebutuhan saja, yaitu wanita tidak melebihi pembicaraan bila berbicara dengan laki-laki yang bukan mahram dari batas ukuran paham, tidak boleh memperpanjang dan mengatakan hal yang tidak ada kaitannya, namun kata-katanya wajib dibatasi pada batas kebutuhan saja.
• Diamnya wanita di dalam rumahnya, dan rumah merupakan tempat dia beraktifitas sesuai tabi’atnya, tidak boleh keluar kecuali karena kebutuhan yang mendesak, sebab rumah merupakan tempat pendidikan anak-anaknya, tempat melayani suaminya, dan beribadah kepada Rabbnya, serta zakat, dzikir kepada Allah  dan hal-ahal yang bisa mendekatkan kepada-Nya.
• Haramnya bertabarruj, yaitu keluarnya wanita muslimah dari rumahnya dengan membuka wajahnya, juga menampakan kecantikannya tanpa ada perasaan kaku dan malu.

Sesungguhnya kelima dilalah pada ayat ini dalam mengkhithabi Ummahatul Mu’minin radliyallahu ‘anhunna, masing-masing dari yang lima itu menunjukan dengan fahwa (mafhum)nya atas kewajiban berhijab dan wajibnya atas wanita, hanyasannya para mubthilin (penyeru sufur) tidak berpendapat seperti itu, mereka mengatakan tentang ayat ini dan ayat sesudahnya : Sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan isteri-isteri Nabi , dan ini khusus bagi mereka saja, serta tidak ada hubungan sama sekali dengan isteri-isteri, dan puteri-puteri kaum mu’minin,”. Dan ini adalah pendapat yang aneh dan mengundang ketawa…..
Kedua ayat ini perumpamaannya sama dengan ayat sumpahnya Allah  kepada Rasul-Nya  bahwa seandainya beliau berbuat syirik tentu amalannya semua hapus, dan menjadi golongan orang-orang yang merugi dalam ayat surat Az Zumar, padahal sudah pada ma’lum bahwa Rasulullah  adalah ma’shum tidak mungkin bersumber darinya perbuatan syirik dan dosa lainnya, namun pembicaraan ini tidak lain termasuk dalam kategori,” kamu yang saya maksud, dan dengarkanlah wahai tetangga,” oleh sebab itu bila Rasulullah  yang begitu mulia dan agungnya melakukan syrik tentu amalannya hapus dan termasuk orang yang merugi, maka orang lain lebih utama, sebagaimana bahwa hijab seandainya diwajibkan atas isteri-isteri Nabi  sedang mereka adalah Ummahatul Mu’minin maka wanita yang lainnya lebih utama. Dan tampaknya bahwa sesungguhnya hijab itu bertentangan dengan kebiasaan orang arab pada zaman jahiliyyahnya, dan tidak tidak disyari’atkan tahap demi tahap, sedikit demi sedikit, karena tidak mungkin dengan cara bertahap, maka tatkala disyari’atkan sekaligus itu menjadi hal yang sangat besar, maka Allah  memulainya dalam hal ini dengan isteri-isteri Rasulullah  supaya tidak dikatakan- dan sungguh banyak yang mengatakannnya waktu itu sedang kota Madinah penuh dengan kenifakan dan orang-orang munafiq- : Lihatlah (Muhammad) dia mengharuskan isteri-isteri orang untuk tinggal di rumah dan berhijab, sementara Dia membiarkan isteri-isteri dan putri-putrinya pulang pergi mondar mandir bersenang-senang dengan kehidupan…..dan kata-kata lain yang biasa dikatakan oleh orang yang berpenyakit di dalam hatinya di setiap zaman dan tempat. Maka tatkala Allah  mengharuskannya kepada isteri-isteri Rasul-Nya  maka tidak ada peluang bagi wanita yang beriman kepada Allah  dan hari akhir untuk untuk sufur tidak mencontoh isteri-isteri Rasulullah , sedang sufur itu tidak nampak pada isteri-isteri dan puteri-puterinya, dan inilah yang dikenal dikalangan ulama Ahli Ushul dengan nama qiyas jaliyy dan qiyas aula seperti haramnya memukul kedua orang tua dengan diqiyaskan pada mengucapkan ,”ah,” dalam firman-Nya  ,”Maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya,”ah,” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkan lah kepada keduanya perkataan yang mulia,”.

• Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf berkata : Sungguh Allah  telah mengiring taujih ini dengan taqwa, karena tidak ada yang komitmen dengan sifat-sifat yang terpuji ini kecuali orang-orang yang takut akan Allah  dan bertaqwa kepada-Nya dari kalangan wanita, konteks ayat ini dituturkan kepada isteri-isteri Nab i, namun apakah ada seorang muslim yang mengatakan : Bahwa hukum ini khusus bagi isteri-isteri Nabi saja ? Dan bahwa wanita lain boleh melanggarnya ? ini perkataan yang tidak ada seorangpun mengatakannya, dan (sesungguhnya) hukum itu patokannya adalah pada keumuman lafadz tidak pada khususnya sebab.
Dan semua ini nampak, karena ini semuanya adalah hukum-hukum, etika-etika dan taujih-taujih dari Allah  kepada wanita muslimah agar selalu menjaga kehormatannya dan kesuciannya, dan untuk memutus segala sarana yang bisa mendekatkan kepada fitnah dan kejahatan, dan ini merupakan jalan orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir.
Dan adapun isteri-isteri Nabi  maka kandungan ayat adalah mengkhithabi mereka sebagai penghormatan dan pengagungan derajat mereka, padahal suatu hal yang jauh sekali timbulnya fitnah dari mereka dan para sahabat, karena kemulian dan keagungan mereka tidak sama seperti wanita lainnya, bukan dengan apa yang bisa menimbulkan fitnah dan kejahatan dari akibat badan dan kecantikan wanita, maka tidak ragu lagi bahwa mereka dengan wanita kaum muslimat dan mu’minat itu sama (dalam hal fitnah yang ditimbulkan oleh badan,pent), karena semuanya satu karakter yaitu tidak ma’shum, kami katakan semuanya satu karakter yaitu tidak ma’shum, karena tidak ada yang ma’shum seorang pun setelah Muhammad , hanyasannya mereka itu adalah wanita yang paling bertaqwa, sebab mereka adalah isteri-isteri Rasulullah , dan Allah telah menyatakan bahwa mereka itu adalah wanita-wanita thayyibat, dan mereka itu dibersihkan dari tuduhan perbuatan nista, semoga ridla Allah , rahmat-Nya dan barakah-Nya  dilimpahkan kepada isteri-isteri beliau, puteri-puterinya, dan wanita muslimat dan mu’minat yang mengikuti mereka.
• Doktor As Sayyid Muhammad Ali An Namir berkata : ( Dan untuk tujuan tertentu Allah menyandarkan rumah kepada wanita, dikarenakan wanita itu banyak tinggal di rumah, Allah  berfirman,”dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,” padahal rumah itu milik suami, namun rumah itu disandarkan kepada wanita dikarenakan dia melakukan peran begitu besar di dalamnya)
Wahai saudari yang mengulurkan purdah
Di lembah dan di tempat tinggi
Berbahagialah –aku tebusanmu- karena
Sengatan panas tindak menyakitimu
Dan tinggalkan kecenderungan kepada sufur
Dan peringanlah gangguan orang banyak
Harimau bila tetap di sarangnya
Siapa yang mengharapkan harimau ?
Sedangkan burung banyak terkena perangkap
para pemburu karena meninggalkan sarangnya.

Dalil Keempat

Firman-Nya  :

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِيْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِيْ أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانِهِنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ .
Artinya : Dan katakanlah kepada wanita yang beriman,” Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An Nur : 31)
Dalam ayat yang mulia ini ada tiga tempat yang bisa menunjukan wajibnya berhijab :
Pertama : Firman-Nya,” dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya (وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا ). Telah shahih dari Ibnu Masud  dan yang lainnya penafsiran zinah(perhiasan) dengan pakaian luar wanita, dan adapun orang yang mengatakan bahwa,” yang (biasa) nampak dari padanya,” adalah wajah dan kedua telapak tangan, maka dia telah melandaskan/membangun pendapatnya pada hal berikut ini :
1. Atsar-atsar yang dhaif sanadnya yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas , sebagaiman nanti Insya Allah akan kami jelaskan.
2. Atau mungkin berdasarkan pentarjihan dengan ilzam fiqhi, berlandaskan pada : Bahwa aurat wanita di dalam shalat adalah seluruh aggota badannya selain wajah dan telapak tangannya, dan bahwa ihramnya adalah pada wajah dan kedua telapak tangannya, mereka mengatakan : Maka mesti dari itu bolehnya menampakan keduanya.

Ada hal yang menarik perhatian, yaitu bahwa banyak para mufassirin yang terjebak dalam kerancuan/kintradiktip (tanaqudl) pada pendapat mereka sendiri, yaitu mereka dalam membahas sebagian ayat-ayat hijab menyatakan wajibnya berhijab atas seluruh wanita, namun dalam tempat lain dalam pembahasan yang sama mereka mentarjih madzhab yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas  dan yang lainnya, kemudian mereka berhujjah dengan ilzam fiqhi yang tidak mesti (ghair lazim) karena adanya perbedaan antara keadaan di luar shalat dengan keadaan di dalam shalat.
Dan sebagian mereka mentarjih bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangan karena alasan kebutuhan terkadang yang menuntut untuk menampakan keduanya, seperti waktu khithbah, kesaksian, pengobatan, dan lain-lain, dan jawaban atas hal ini adalah bahwa hal itu diberikan dispensasi (rukhshah) dalam batas-batas kebutuhan saja. Wallahu ‘Alam.
Ke dua : Firman-Nya  : Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,”( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ )
Ke tiga : Firman-Nya  : Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”( وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ ).

Tahqiq atsar-atsar yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas  dan atsar-atsar yang disandarkan kepada Ibnu Masud  dalam tafsir firman-Nya  : إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Fadlilatu Asy Syaikh Abdul Qadir Ibnu Habibullah As Sindi pengajar di Ma’had Al Haram Al Makki Asy Syarif saat naqd (mengoreksi) atsar : Sesungguhnya wanita bila sudah sampai pada usia haidh maka tidak layak dilihat darinya kecuali ini dan itu, dan beliau mengisyaratkan pada wajah dan kedua telapak tangannya,” (إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا هذا وهذا . وأشار إلى وجهه وكفيه ) : Tidak ada hadits marfu’ yang shahih yang semakna dengan hal ini kecuali riwayat yang datang dari Ibnu Abbas  dalam atsar yang dikeluarkan oleh Al Imam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir At Thabari dalam tafsirnya dan Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra , Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari berkata : Telah memberitahukan kepada kami Abu Kuraib, berkata : Telah memberitahukan kepada kami Marwan, berkata : Telah memberitahukan kepada kami Muslim Al Mullaa’i Al A’war dari Said Ibnu Jubair dari Ibnu Abbas, beliau berkata : وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا (dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) beliau berkata : Celak dan cincin,” Saya berkata (As Sindi) : Isnadnya dlaif jiddan (lemah sekali), bahkan munkar, Al Imam Adz Dzahabi berkata : Muslim Ibnu Kaisan Abu Abdillah Adl Dlabbi Al Kufiy Al Mulla’i Al A’war dari Anas dan Ibrahim An Nakha’i, Al Imam Al Hafidz Abu Al Hajjaj Al Muzzi dalam biografi Muslim Ibnu Kaisan Al Mulla’i dia meriwayatkan dari Said Ibnu Jubair- dan dia meriwayatkan isnad ini dari Said Ibnu Jubair .
Al Imam Adz Dzahabi berkata dalam biografinya (Muslim Al Mulla’i) :
(Dari Ats Tsauri, dan Waki’ Ibnu Al Jarrah Ibnu Mulaih, Al Fallas berkata : Matrukul Hadits.
Ahmad berkata : Laa yuktabu hadutsuhu (haditsnya tidak usah ditulis).
Yahya berkata : Tidak tsiqah.
Al Bukhari berkata : Mereka memperbincangkannya.
Yahya berkata lagi : Mereka mengklaim bahwa dia telah ngawur (ikhtilath).
Dan Yahya Al Qathan berkata : Hafsh Ibnu Giyats memberitahuku, dia berkata : saya berkata kepada Muslim Al Mulla’i : Dari siapa engkau mendengar ini ? Dia berkata : Dari Ibrahim dari Alqamah,” Kami berkata : Alqamah dari siapa ? Dia berkata : Dari Abdullah,” kami berkata : Abdullah dari siapa ? Dia berkata : Dari Aisyah,”
An Nasa’i berkata : Matrukul Hadits. )
Saya katakan : Isnad ini gugur (saqith) tidak layak untuk menjadi mutaba’at dan syawahid sebagaimana yang tidak samar lagi bagi orang yang berkecimpung dalam bidang ilmu yang mulia ini.
Al Imam Al Hafidz Al Baihaqi berkata dalam As Sunan Al Kubra : Telah memberitahukan kepadaku Abu Abdillah Al Hafidz dan Abu Said Ibnu Abi Amr, keduanya berkata : Telah memberitahukan kepada kami Abu Al Abbas Muhammad Ibnu Yaqub, telah memberitahukan kepada kami Ahmad Ibnu Abdil Jabbar, telah memberitahukan kepada kami Hafsh Ibnu Ghiyats dari Abdullah Ibnu Muslim Ibnu Hurmuz dari Said Ibnu Jubai dari Ibnu Abbas, beliau berkata : وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا (dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) beliau berkata : Apa yang ada di telapak tangan dan wajah.”
Saya katakan : Isnadnya Mudhlim dlaif (gelap lagi lemah), karena dlaifnya dua orang perawi yaitu :

1. Ahmad Ibnu Abdil Jabbar Al ‘Aththaridiy.

Al Imam Adz Dzahabi berkata : Ahmad Ibnu Abdil Jabbar Al ‘Aththaridiy meriwayatkan dari Abu Bakar Ibnu ‘Iyasy dan orang-orang yang sethabaqah dengannya, didlaifkan oleh banyak ulama.
Ibnu ‘Addi berkata : Saya melihat mereka ijma atas kedlaifannya, dan saya tidak melihat dia memiliki hadits munkar, sebab mereka mendlaifkannya karena dia tidak pernah bertemu dengan orang yang dia meriwayatkan hadits dari mereka.
Ibnu Mathin berkata : Dia suka berdusta.
Abu Hatim berkata : Tidak kuat (laisa bilqawiyy).
Anaknya Abdul Rahman berkata : Dulu saya mengambil hadis darinya, dan kemudian tidak mengambilnya karena orang-orang mempermasalahkan.
Ibnu ‘Addi : Ibnu ‘Uqdah tidak mau meriwayatkan hadits darinya, dan dia menyebutkan bahwa dia memiliki qimathrun (wadah dimana buku dijaga) sehingga dia tidak segan-segan menyampaikan hadits dari siapa saja, meninggal tahun 272 H .
Dan Al Hafidz berkata dalam At Taqrib : Dlaif.

2. Begitu juga ada dalam isnad Al Imam Al Baihaqi perawi yang bernama Abdullah Ibnu Muslim Ibnu Hurmuz Al Makki dari Mujahid dan yang lainnya.
Al Hafidz Adz Dzahabi berkata : Dia dianggap dlaif oleh Ibnu Main, dan dia berkata : Dia suka memarfu’kan banyak sesuatu.
Abu Hatim berkata : Tidak kuat (laisa bilqawiyy).
Ibnu Al Madiniy berkata : Dia itu dlaif (dua kali) menurut kami, dan beliau berkata lagi : Dlaif.
Dan begitu juga dianggap dlaif oleh An Nasai.
Al Hafidz berkata dalam At Taqrib : Dlaif.
Saya berkata : Dua isnad ini keadaannya sangat jelek, hingga sampai pada derajat yang jauh yang menjadikannya tidak tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak usah ditulis, dan di sini masih ada beberapa isnad yang derajat kedlaifan dan kemungkarannya tidak jauh berbeda dengan yang tadi, sehingga bisa dikatakan bahwa penisbatan ini tidak benar kepada Ibnu Abbas , dan seandainya juga benar penyandaran ini kepadanya tentu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah menurut ulama ahli hadits, apalagi keadaannya seperti ini. Dan sungguh telah sah sanad-sanad kepada saudara sepupu Al Mushthafa  (Ibnu Abbas, maksudnya)dan kepada sahabat yang lainnya  sebaliknya dari makna yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thabari dalam tafsirnya, Al Baihaqi dalam Sunannya, serta Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya. Ditambah apa yang telah tsabit dengan sanad-sanad yang shahihah dari Rasulullah  sebagaimana yang akan ada penjelasannya tentang perintah beliau agar wanita berhijab dan menutupi diri. Dan inilah yang pertama yang saya hadirkan kepada para pembaca, yaitu atsar yang bersumber dari sebagian para sahabat , diantaranya Abdullah Ibnu Masud  sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, beliau rahimahullah berkata : Telah menceritakan kepada saya Yunus, dia berkata telah memberitahukan kepada kami Ibnu Wahb, dia berkata berkata telah memberitahukan kepada kami Ats Tsauri dari Abu Ishaq Al Hamadaniy, dari Abi Al Ahwash dari Ibnu Masud, beliau berkata :( وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا) (dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) beliau berkata : Pakaian,”
Saya berkata : Isnadnya sangat shahih sekali (Fi Ghayatish Shihhah), dan atsar ini juga di tuturkan oleh Al Imam Ibnu katsir dalam tafsirnya kemudian Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari menuturkan isnad lain dengan perkataannya : Muhammad Ibnu Basyar telah mengabarkan kepada kami, dia berkata Abdul Rahman telah memberitahukan kepada kami dari Sufyan dari Abu Ishaq dari Abu Al Ahwash dari Abdullah seperti hal itu.
Saya berkata : Isnadnya sangat shahih sekali (Fi Ghayatish Shihhah).
Dan Al Imam As Sayuthi berkata : Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Al Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al Baihaqi dalam Sunannya telah mengeluarkan (dengan sanadnnya) dari Ibnu Abbas  berkenaan dengan firman-Nya  : ( وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا) (dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) beliau berkata : Perhiasan yang biasa nampak adalah wajah, kedua telapak tangan, dan celak mata,” terus Ibnu Abbas  berkata : Maka yang ini (wajah, kedua telapak tangan, dan celak mata ) dia tampakan kepada orang yang masuk menemuinya, kemudian mereka (wanita) tidak boleh menampakan perhiasannya kecuali kepada suaminya, atau ayah-ayahnya, dan seterusnya (yang tercantum dalam ayat di atas).
Kemudian beliau  berkata : Dan perhiasan yang boleh ditampakan kepada mereka (mahram) adalah kedua antingnya, kalungnya, dan gelangnya, dan adapun gelang kakinya, tangannya, lehernya dan rambutnya maka hal itu tidak boleh ditampakan kecuali kepada suaminya .
Saya berkata : Riwayat Ibnu Abbas  ini –telah saya teliti sanadnya dalam tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, dan perawinya seluruhnya tsiqat, namun munqathi’, karena di dalamnya ada Ali Ibnu Abi Thalhah yang meninggal tahun 143 H, dia meriwayatkan dari Ibnu Abbas  sedangkan dia tidak pernah bertemu dengannya, dan perantara keduanya adalah Mujahid Ibnu Jabr Al Makkiy- dan beliau itu adalah imam besar tsiqat tsab (kuat) tidak diragukan lagi- dan telah berhujjah dengan riwayat ini yaitu riwayat Ali Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu Abbas  Al Bukhari dalam Al Jami’ Ash Shahih beliau menuturkan dalam banyak tempat dalam kitabut tafsir secara ta’liq meskipun tidak memenuhi syaratnya dalam Al Jami’ Ash Shahih-dikatakan oleh Al Hafidh dalam At Tahdzib , Al Imam Al Muzzi di dalam Tahdzib Al kamal berkata seraya mengisyaratkan kepada riwayat tafsir ini < dalam biografi Ali Ibnu Abi Thalhah : Dia ini mursal dari Ibnu Abbas dan di antara keduanya adalah Mujahid >. Dan telah berpegang kepada riwayat ini ‘Allamatu Asy Syam Muhammad Jamaluddin Al Qasimiy di dalam tafsirnya , Al Imam Al Qurthubiy dalam tafsirnya , dan begitu juga Al Imam Ibnu Katsir dalam banyak tempat di tafsirnya, maka kuatlah riwayat ini dan bisa dijadikan hujjah menurut kalangan ulama tafsir dan lainnya, dan sesungguhnya dhahir Al Qur’an dan As Sunnah serta atsar para sahabat dan para tabi’in menguatkannya, oleh sebab itu peganglah dia dan jadikanlah sebagai pendekatan… (dinukil dari Risalatul Hijab karya As Sindiy).

Jawaban para ulama tentang perkataan Ibnu Abbas  seandainya benar penisbatannya kepada beliau

Pertama : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala berkata : Dan salaf berbeda pendapat tentang perhiasan yang biasa nampak (zinah dhahirah), ada dua pendapat, Ibnu Masud mengatakan : Ia adalah pakaian, dan Ibnu Abbas bersama orang yang sejalan dengannya berkata : Ia adalah apa yang ada di wajah dan di kedua telapak tangan seperti celak dan cincin.
Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata : Dan sebenarnya bahwa Allah telah menjadikan perhiasan (zinah) itu dua macam, zinah dhahirah (perhiasan yang biasa nampak) dan zinah ghair dhahirah (perhiasan yang tidak biasa nampak), dan Dia membolehkan menampakan zinah dhahirah kepada selain suami dan mahram-mahramnya, dan adapun zinah bathinah (ghair dhahirah) maka tidak boleh dinampakan kecuali kepada suami dan mahram-mahramnya.
Dan sebelum ayat hijab turun, para wanita keluar dengan tidak mengenakan jilbab, sehingga laki-laki bisa melihat wajah dan kedua tangannya, karena waktu itu wanita dibolehkan menampakan wajah dan kedua telapak tangannya, sehingga waktu itu dibolehkan melihatnya karena dibolehkan bagi wanita untuk menampakannya, kemudian tatkala Allah  menurunkan ayat hijab dengan firman-Nya,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka", maka wanita menutupi diri dari laki-laki, dan itu terjadi di kala Nabi  menikahi Zainab Bintu Zahsy radliyallahu ‘anha, maka Nabi  mengulurkan tirai dan melarang Anas untuk melihatnya.

Dan tatkala Nabi  memilih Shafiyyah Bintu Huyayy setelah itu pada tahun Khaibar para sahabat berkata : Bila beliau menghijabinya berarti dia adalah Ummahatul Mu’minin (maksudnya wanita merdeka, pent), dan kalau tidak menghijabinya berarti dia adalah budaknya, maka beliau pun mengihijabinya.

Maka tatkala Allah  memerintahkan agar wanita tidak ditanya/dipinta kecuali dari belakang hijab, dan Dia memerintahkan isteri-isterinya, puteri-puterinya dan wanita kaum mu’minin supaya mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya, sedang jilbab adalah mula’ah, yaitu yang Ibnu Masud dan yang lainnya menamakannya rida, sedang orang umum menyebutnya izar, yaitu izar yang besar yang menutup kepala dan seluruh tubuhnya, Ubaidah dan yang lainnya telah menghikayatkan bahwa wanita mengulurkannya dari atas kepalanya sehingga tidak nampak kecuali matanya, dan diantara jenis pakainnya adalah niqab, adalah para wanita salaf mereka memakai niqab (cadar), dan dalam hadits shahih, “ sesungguhnya wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai niqab dan kaos tangan,” Maka bila mereka diperintahkan untuk memakai jilbab, dan ini adalah menutup wajah atau menutup wajah dengan niqab, maka berarti wajah dan tangan termasuk zinah (perhiasan) yang diperintahkan untuk tidak dinampakan kepada laki-laki yang bukan mahram, maka oleh sebab itu tidak tersisa bagi laki-laki yang bukan mahram kehalalan memandang kecuali kepada pakaian yang nampak. Berarti Ibnu Masud menyebutkan akhir dari dua hal sedangkan Ibnu Abbas menyebutkan hal yang awal dari dua hal itu.

Kedua : Al ‘Allamah Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz rahimahullah berkata : (Dan adapun apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas  bahwa beliau menafsirkan,” kecuali yang biasa nampak darinya,” dengan wajah dan kedua telapak tangan, maka itu ditinjau dari sisi keadaan wanita sebelum turun ayat hijab, dan adapun setelah itu maka Allah  telah memerintahkan wanita agar menutupi seluruh tubuhnya, sebagaimana yang telah lalu dalam ayat-ayat yang mulia dalam surat Al Ahzab, dan yang menunjukan bahwa Ibnu Abbas menghendaki hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Ali Ibnu Abi Thalhah dari beliau, berkata : Allah telah memerintahkan wanita kaum mu’minin bila mereka keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan agar menutup wajahnya dari atas kepalanya dengan jilbab dan hanya menempakan satu mata saja.
Dan hal ini telah diingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan ulama ahli tahqiq lainnya, dan inilah kebenaran (haq) yang tidak diragukan lagi, serta sudah pada ma’lum tentang fitnah dan kerusakan yang ditimbulkan akibat para wanita membuka wajahnya dan kedua telapak tangannya. Dan telah lalu Firman-Nya ,” Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir,” tidak ada pengecualian di sana, dan ini adalah ayat muhkamah, maka wajib berpegang kepadanya dan merujuk ke sana serta membawa hal lainnya kepadanya. Hukum dalam ayat ini umum buat isteri-isteri Nabi  dan wanita kaum mu’minin, dan telah lalu dalam tafsir surat An Nur hal yang menunjukan kepada hal ini.) dan penggabungan ini lebih utama, karena ada riwayat dari Ibnu Abbas sendiri, beliau mengatakan,”Hendaklah dia mengulurkan jilbab ke wajahnya wala tadlrib bih,” Rauh berkata dalam haditsnya : saya berkata :Apa artinya wala tadlrib bih ? Maka beliau memperlihatkan kepada saya sebagaimana wanita wanita mengenakan jilbab, terus memperlihatkan bagian jilbab yang ada di pipinya seraya berkata : Dia menyambungkan dan mengencangkannya pada wajahnya sebagaimana jilbab itu diuraikan kewajahnya,” Ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al Masa’il, beliau berkata : Telah memberitahukan kepada kami Ahmad-yaitu Ibnu Muhammad Ibnu Hambal-berkata : Telah memberitahukan kepada kami Yahya dan Rauh dari Ibnu Juraij beliau berkata : ‘Atha telah memberitahu kami beliau berkata : Abu Asy Sya’tsa telah memberitahu kami bahwa Ibnu Abbas  berkata : Hadits tadi….,” Dan sanadnya Shahih sesuai Syarat Al Bukhari dan Muslim.
Dan perkataan Ibnu Masud  dan yang sejalan dengannya adalah pendapat yang benar dalam penafsiran ayat ini karena didukung dengan ayat dalam surat Al Ahzab, yaitu firman-Nya,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".

Al Imam Abu Al Faraj Jamaluddin Abdurrahman Ibnu Al Jauzi rahimahullah : Firman-Nya,” وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ,” maknanya : Janganlah mereka menampakannya kepada laki-laki yang bukan mahram, dan perhiasannya itu ada dua macam : Khafiyyah (tersembunyi) seperti gelang, anting, gelang lengan bagian atas (dumluj), kalung dan lain-lain, dan Dhahirah (perhiasan yang nampak) yang diisyaratkan oleh firman-Nya,”kecuali yang biasa nampak darinya,” dan dalam hal ini ada tujuh pendapat :
1. Itu adalah pakaian (tsiyab), ini diriwayatkan oleh Abu Al Ahwash dari Ibnu Masud, dan satu ungkapan beliau berkata : rida’ (jubah lebar)
2. Itu adalah telapak tangan, cincin, dan wajah.
3. Celak dan cincin, keduanya diriwayatkan oleh Said Ibnu Jubair dari Ibnu Abbas.
4. Qulban, yaitu dua gelang, cincin, dan celak, ini dikatakan oleh Al Miswar Ibnu Makhramah.
5. Celak, cincin, dan dan semir, ini dikatakan oleh Mujahid.
6. Cincin dan gelang, ini dikatakan oleh Al Hasan.
7. Wajah dan kedua telapak tangan, ini dikatakan oleh Adl Dlahhak.

Al Qadli Abu Ya’la berkata : Dan pendapat yang pertama adalah yang paling mendekati pada kebenaran, dan Al Imam Ahmad telah menetapkan hal ini, beliau berkata : Zinah dzahirah adalah pakaian, dan segala sesuatu dari badan wanita adalah aurat hingga kukunya juga, dan hal ini memberikan faidah atas haramnya memandang sesuatu dari (badan wanita lain) tanfa ada udzur (alasan syar’i), namun bila ada udzur seperti ingin menikahinya atas menegakan kesaksian atasnya, maka dalam kedua keadaan ini dia boleh melihat kepada wajahnya saja, adapun memandang kepadanya tanpa udzur maka itu tidak boleh baik disertai syahwat maupun tidak, dan sama saja apakah itu wajah, kedua telapak tangan, dan anggota badan yang lainnya. Kemudian bila dikatakan : Kenapa shalat tidak batal dengan membuka wajahnya ? maka jawabnya : Sesungguhnya menutupinya saat shalat ada masyaqqah maka dima’afkan dari hal itu.

Al Imam Ibnu ‘Athiyyah berkata : Dan sesuai lafadz ayat itu maka jelaslah bagi saya bahwa wanita diperintahkan agar tidak menampakan wajahnya, dan dia harus berusaha menyembunyikan segala sesuatu yang masuk dalam kategori zinah, dan pengecualian itu tejadi pada sesuatu yang mesti nampak karena dharuratnya bergerak dan lain-lain, maka sesuatu yang nampak dari wanita atas dasar hal ini karena situasi dharurat maka itu dimaafkan.

Al Imam Al Qurthubi rahimahullah mengomentarinya seraya berkata : Saya berkata : Ini adalah perkataan yang baik, hanyasannya tatkala wajah dan kedua telapak tangan biasanya nampak secara adat dan dalam ibadah, yaitu dalam shalat dan haji, maka pantas sekali pengecualian tadi kembali kepada keduanya , ini ditunjukan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Aisyah radliyallahu anha-dan beliau menuturkan hadits Asma sambil berdalil dengannya, sampai beliau rahimahullah berkata : Dan Ulama dari madzhab kami Khuwaiz Ibnu Mindad berkata : Sesungguhnya wanita bila cantik dan dihawatirkan fitnah karena wajah dan kedua telapak tangannya maka dia harus menutupinya, namun bila wanita itu tua renta atau jelek maka boleh baginya membuka wajah dan kedua telapak tangannya.

Al Baidlawi rahimahullah berkata dalam tafsirnya : ,”Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya,” seperti perhiasan emas/perak (huliyy), pakaian, dan celupan pacar (semir) apalagi tempat-tempatnya kepada orang yang tidak halal menampakan kepadanya,” kecuali yang biasa nampak darinya,” ketika melakukan aktifitas-aktifitas seperti pakaian dan cincin, karena terdapat kesulitan dalam menutupinya.
Dan dikatakan : Yang dimaksud dengan zinah itu adalah tempatnya dengan taqdir membuang mudlaf , atau semua yang mencakup kecantikan yang sifatnya alami dan dibuat-buat, sedangkan yang dikecualikan adalah wajah dan telapak tangan karena keduanya bukan termasuk aurat, namun yang lebih jelas bahwa ini (perkataan bahwa wajah dan telapak tangan bukan aurat) adalah di dalam shalat bukan pada pandangan (laki-laki yang bukan mahram), karena sesungguhnya seluruh badan wanita merdeka itu adalah aurat yang tidak halal sedikitpun dilihat oleh selain suaminya dan mahramnya kecuali karena dlarurat, seperi mengobati dan menunaikan persaksian….

Asy Syihab dalam syarhnya berkata : Dan madzhab Asy Syafiiy sebagaimana dalam kitab Ar Raudlah dan yang lainnya bahwa seluruh badan wanita merdeka adalah aurat termasuk wajah dan kedua telapak tangannya secara muthlaq, dan dikatakan (dalam perkataan yang lemah) : Boleh melihat wajah dan telapak tangan bila tidak takut fitnah, dan sesuai perkataan pertama : Keduanya aurat kecuali dalam shalat, maka tidak batal shalatnya dengan membukanya.

Beliau berkata lagi : Firman-Nya,” kecuali yang biasa nampak darinya,” yaitu tanpa sengaja menampakannya seperti terbuka oleh angin, dan pengecualian dari hukum yang sudah pasti itu adalah dengan jalur isyarat, yaitu dia (wanita) dikenakan sangsi dengan sebab (menampakannya secara sengaja) di hari pembalasan, dan termasuk dalam hukum pengecualian adalah sesuatu yang mesti dinampakannya dalam rangka melaksanakan persaksian dan pengobatan dokter.

Beliau berkata lagi : perkataannya : Dan dikatakan : yang dimaksud dengan zinah adalah mawadli’uha (tempat-tempatnya),,, dan dalam satu manuskrip : mawaqi’uha, yang maknanya sama, imilah yang disetujui oleh Az Zamakhsyari sedang beliau ini berada di atas madzhab Abu Hanifah rahimahullah, dan beliau menjadikannya sebagai kinayah dari apa yang telah disebutkan seperti naqal jaib, dan ini adalah majaz (kiasan) dari penyebutan sesuatu yang menempati dan yang dimaksud adalah tempatnya. Dan dikatakan : Ini adalah dengan taqdir (mengkira-kirakan) adanya mudlaf sebagaimana yang disebutkan oleh Mushannif rahimahullah, dan dalam kitab Al Intishaf : Fiman-Nya,” dan janganlah mereka memukulkan kaki-kaki mereka………..,” memastikan bahwa menampakan zinah itu adalah yang dimaksud dari pelarangan, dan seandainya dibawa pada kemungkinan yang telah disebutkan maka mesti adanya kehalalan bagi laki-laki lain untuk melihat apa yang nampak dari angota-angota badan tempat perhisan tersebut, dan ini adalah pendapat yang bathil karena seluruh badan wanita adalah aurat menurut Asy Syafiiy dan Malik, dan adapun menampakan perhiasan saja (maksudnya kalung, gelang, cincin, anting-anting dan sebagainya) maka tidak ada perbedaan atas kebolehannya, karena tidak haram memandang gelang wanita yang sedang dijual pada tangan laki-laki. Adapun (perkataan yang mengatakan sebab tidak bolehnya menampakan perhiasan itu) karena membuat hati orang-orang fakir bersedih maka ini adalah pernyataan yang sama sekali tidak berdasar, makanya Mushannif mengatakannya dengan uslub melemahkan (tamridl) karena berbeda dengan madzhabnya, dan ini perlu ditinjau. Sedang ziiniyyah adalah bentuk nisbat dari zinah, dan dalam satu manuskrif : tazyiniyyah,,,dan perkataan mushannif : dan yang dikecualikan,,,yaitu berdasarkan pendapat Abu Hanifah rahimahullah, dan kedua telapak kaki serta kedua lengan dalam satu riwayat. Perkataannya : Badan wanita merdeka adalah aurat,,, sebagaimana dalam hadits,” Wanita adalah aurat masturah,” diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdillah Ibnu Masud , namun tidak terdapat lafadh masturah, dan apa yang disebutkannya berupa perbedaan antara aurat di dalam shalat dan di luar shalat adalah madzhab Asy Syafiiy rahimahullah, dan di dalamnya ada perkataan Ibnu Al Hummam, coba sebaiknya rujuk.
Asy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Juzzi Al Kalbiy rahimahullah berkata :,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” Dia melarang menampakan perhisan secara umum kemudian mengecualikan perhisan yang biasa nampak darinya, yaitu yang mesti kelihatan dikala bergerak atau ketika memperbaiki keadaannya dan lain-lain, maka dikatakan : Kecuali yang bisa nampak adalah pakaian, oleh sebab itu wajib menutupi seluruh badan, dan ada dikatakan : Pakaian, wajah, kedua telapak tangan, dan ini adalah Madzhab Malik, karena beliau membolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangannya di dalam shalat, dan Abu Hanifah menambahkan dua telapak kaki.

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Ini dalah perintah dari Allah bagi wanita-wanita mu’minah, dan sebagai ghirah dari-Nya terhadap suami-suami mereka hamba-hamba-Nya yang beriman, serta sebagai pembeda bagi wanita mu’minah dari sifat wanita masa jahiliyah dan perlakuan wanita musyrikah.

Beliau rahimahullah berkata : ,”Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” artinya : Janganlah mereka menampakan sedikitpun dari perhiasannya kepada laki-laki lain kecuali perhiasan yang tidak mungkin disembunyikan, Ibnu Masud berkata : Seperti rida’ dan tsiyab yaitu yang biasa dipakai oleh wanita Arab berupa jubah yang merangkap pakaiannya, dan bagian pakaian bawah yang yang terkadang nampak, maka dalam hal ini dia tidak berdosa, karena hal ini tidak mungkin disembunyikan, dan sama dalam hal ini yaitu pakaian wanita berupa jubah yang biasa nampak dan bagian pakaian yang tidak mungkin disembunyikan, dan orang yang menyatakan seperti perkataan Ibnu Masud adalah : Al Hasan, Ibnu Sirin, Abu Al Jauzaa, Ibrahim An Nakhai dan lain-lain.
As Sayuthi rahimahullah berkata : وَلاَ يُبْدِيْنَ janganlah mereka menampakan زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا yaitu wajah dan kedua telapak tangan maka boleh laki-laki lain melihatnya bila tidak hawatir fitnah menurut satu pendapat, dan pendapat kedua : Haram karena itu adalah sumber fitnah, dan inilah yang kuat demi menutup pintu (fitnah).

(Ibnu Abi Hatim dan As Sayuthi meriwayatkan dalam Ad Durr dari Said Ibnu Jubair secara mauquf, bahwa beliau berkata : { زِيْنَتَهُنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ} maknanya : Janganlah mereka menanggalkan jilbabnya yaitu qina’ dari atas kerudungnya {.. إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ },”kecuali kepada …,” beliau berkata : Maka hal itu (membuka kepada selain yang disebutkan) adalah diharamkan.)

Al ‘Allamah Ibnu Muflih Al Hanbali rahimahullah  berkata : (Ahmad berkata : Dia tidak boleh menampakan perhiasannya kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat itu, dan Abu Thalib menukil perkataannya :< kukunya adalah aurat, bila dia keluar maka jangan menampakan sesuatupun , tidak pula sepatunya (khuff), karena khuff ini menjiplak bentuk telapak kakinya > dan saya lebih menyukai bila dia itu menjadikan pada baju lengannya kancing pas tangannya. Al Qadli menguatkan perkataan orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perhiasan yang biasa nampak itu adalah pakaian berdasarkan perkataan Ibnu Masud dan yang lainnya, tidak perkataan orang yang menafsirkannya dengan huliyy (perhisan seperti cincin, gelang, dll) atau dengan sebagian anggota tubuh, karena itu termasuk zinah khafiyyah (perhiasan yang tersembunyi), beliau berkata : Hal ini telah dinyatakan dengan jelas oleh Ahmad, beliau berkata : Perhiasan yang biasa nampak adalah pakaian, dan seluruh anggota tubuhnya adalah auarat, termasuk kukunya.) .

Al ‘Allamah Al Kasymiri rahimahullah berkata : (Bila anda mengatakan : Dan bila boleh menampakan anggota-anggota badan ini secara muthlaq maka apa artinya pengkhususan dan pengecualian tersebut ? Saya katakan : Dan siapa yang mengklaim bahwa Al Qur’an menganjurkan mereka (wanita) untuk membukanya ? namun konteks itu berkenaan dengan menampakan perhiasan bagi orang yang dibolehkan di saat dlarurat, adapun orang yang tidak dlarurat maka hukum yang berlaku bagi mereka adalah seperti yang dijelaskan dalam ayat yang lain, yaitu (ayat) penguluran jilbab karena hal itu lebih tertutup baginya, dan bila boleh juga baginya membukanya, namun karena hal itu bisa menimbulkan fitnah maka Al Qur’an sangat menekankan untuk menutupinya dalam setiap keadaan.)
Dan beliau rahimahullah berkata lagi : ( Sebab saya mengatakan : Sesungguhnya membuka wajah itu boleh seandainya tidak ada fitnah berdasarkan hadits Fadl Ibnu Abbas dan seorang pemudi pada waktu haji, maka Nabi  memalingkan wajahnya darinya dan berkata : Saya hawatir setan mengelabui antara mereka berdua,” maka pahamilah dan berterima kasih.)

Al Alusi rahimahullah berkata : ( Dan Madzhab Asy Syafiiy-semoga Allah merahmatinya- sebagaimana dalam kitab Az Zawajir bahwa wajah dan telapak tangan baik atas maupun bawah sampai pergelangan dari wanita meskipun dia itu budak adalah aurat dalam pandangan (laki-laki yang bukan mahram,pent) menurut pendapat yang paling shahih, meskipun keduanya (wajah dan telapak tangan) bukan aurat di dalam shalat bagi wanita merdeka........sebagian kecil pengikut madzhab Syafiiy membolehkan melihat wajah dan telapak tangan dengan syarat aman dari fitnah, namun pendapat ini tidak dianggap dalam madzhab mereka (madzhab Asy Syafiiy), dan sebagian tokoh mereka menafsirkan apa yang biasa nampak dengan wajah dan kedua telapak tangan setelah menuturkan ayat itu (An Nur : 31) sebagai dalil bahwa aurat wanita itu adalah selain keduanya, dan dia menjadikan kehawatiran timbulnya fitnah sebagai alasan haramnya memandang keduanya, maka itu menunjukan bahwa tidak semua yang haram dilihat itu adalah aurat. Namun anda mengetahui bahwa pembolehan menampakan wajah dan kedua telapak tangan sesuai tuntutan ayat menurut mereka beserta perkataan mereka atas haramnya memandang kedua anggota badan itu secara muthlaq sungguh sangat jauh sekali (pertentangannya), maka perhatikanlah , dan ketahuilah bahwasannya bila yang dimaksud adalah larangan menampakan anggota-anggota badan tempat perhiasan itu, dan dikatakan termasuk di dalamnya wajah dan kedua telapak tangan dan memastikan perkataan bahwa keduanya adalah aurat dan haram menampakannya kepada selain orang-orang yang dikecualikan sesudahnya maka bisa jadi pengecualian dalam firman-Nya,” kecuali yang biasa nampak darinya,” adalah dari hukum yang sudah tetap dengan cara isyarat yaitu adanya sangsi di Hari pembalasan, dan berarti maknanya adalah : Bahwa yang nampak darinya tanpa sengaja menampakannya seperti terbuka oleh angin, maka mereka tidak terkena sangsi dengannya di hari kemudian, dan sama dalam kategori hukum ini adalah apa yang mesti ditampakan dikala melakukan persaksian atau menjalani pengobatan, Ath Thabrani telah meriwayatkan begitu juga Al Hakim dan beliau menshahihkannya, Ibnu Al Mundzir dan Ulama lainnya dari Ibnu masud bahwa yang dimaksud dengan apa yang biasa nampak adalah pakaian dan jilbab, dan dalam satu riwayat adalah pakaian saja, dan begitu juga Al Imam Ahmad membatasi pada pakaian saja, dan penamaan pakaian dengan zinah (perhiasan) itu telah ada dalam Firman-Nya: خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ (pakailah pakaian yang indah di setiap (masuk) masjid,” Al A’raf :31 ) sesuai dalam kitab Al Bahr)
Asy Syaikh Abu Hisyam Al Anshari : ( وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا ) Ini adalah ayat pertama dari tiga ayat sesuai susunan Al Qur’an, beberapa riwayat yang ada bisa dijadikan pendekatan bahwa ayat ini diturunkan sebelum ayat penguluran jilbab (Al Ahzab : 59), padahal riwayat-riwayat yang lain memberikan indikasi bahwa ayat itu diturunkan sesudah ayat penguluran, dan bagaimanapun juga dua keadaan itu tetap masih bisa dibawa kepada makna yang shahih, oleh sebab itu kita tidak begitu penting membahasnya dari sisi ini.
Dan ayat ini memerintahkan wanita-wanita mu’minat agar menyembunyikan perhiasan (zinah) seluruhnya, sama saja baik yang kita maksud dengan zinah di sini adalah zinah khalqiyyah (bawaan) seperti wajah, dua mata, hidung, dua bibir, rambut, dua pipi, dua telinga, dua pelipis dan anggota badan wanita lainnya, atau yang kita maksud adalah zinah muktasabah (perhiasan yang diusahakan) seperti gelang, cincin, semir, celak, fatkh, qulb, dumluj, anting-anting, iklil, pakaian yang terhiasi dan lain-lain, sesungguhnya ayat ini memerintahkan agar menyembunyikan seluruh perhiasan tanpa membedakan satu perhiasan dengan perhiasan yang lainnya,” kecuali yang biasa nampak darinya,”, sedangkan yang biasa nampak itu masih mubham (belum jelas) yang belum ditafsirkan oleh Al Kitab dan As Sunnah, bahkan membiarkannya dalam kemubhamannya, dan bangkitlah para sahabat dan para tabiin dan para ulama ahli tafsir menguak kemubhamannya, dan tak diragukan lagi bahwa bila mereka ijma atas sesuatu tentu sangat cukup dan memuaskan, serta tentu itu bisa menguak kemubhamannya dan pertentangan sekaligus, akan tetapi Allah menghendaki kemubhaman ini tidak terkuak sebagai rahmat terhadap umat ini, maka pendapat-pendapat mereka bertentangan dan bersebrangan sehingga hal itu berhak untuk kita biarkan pada keadaannya dan kita kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tatkala kita kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya ternyata kita dapatkan kemubhaman ini tetap pada keadaannya, dan anda akan mengetahui bahwa tetapnya seperti itu adalah baik, dan marilah kita membahas satu sisi yang lain.
Sesungguhnya Allah  tatkala melarang menampakan perhiasan Dia menyandarkan pekerjaan kepada wanita, dan mendatangkan dengan fiil muta’addi, namun tatkala Dia mengecualikan Dia tidak mengatakan,” kecuali yang mereka tampakan darinya,” namun Dia mengatakan,” kecuali yang biasa nampak darinya,” Dia berpaling dari mempergunakan Fiil (kata kerja) muta’addiy kepada Fiil yang lazim dan tidak menyandarkannya kepada wanita, dan tuntutan ini bahwa wanita diperintahkan agar menutupi seluruh perhiasannya secara muthlaq, dan mereka tidak mempunyai keleluasaan sedikitpun dalam menampakan perhiasannya, ya ! sesungguhnya dia seandainya komitmen menutupi perhiasannya, dan membatasi diri dengannya, kemudian sebagian perhiasannya itu nampak tanpa kecerobohan dalam menutupinya dan tanpa sengaja menampakannya, maka sesungguhnya dia tidak berhak dicela dan dikenakan sangsi nanti di sisi Allah , inilah yang dipahami dari konteks ayat itu, dan inilah yang dimaksud dengan susunan kalimat.
Dan dari sinilah diketahui bahwa semua perhiasan yang memungkinkan bagi wanita untuk menyembunyikannya maka dia diperintahkan untuk menyembunyikannya, sama saja apakah itu wajah, kedua telapak tangan, celak, cincin, kedua gelang, dan sesungguhnya dia bila melakukan taqshir (mengenteng-enteng) dalam menyembunyikan perhiasan seperti ini dan dia membukanya dengan sengaja maka dia dikenai dosa, dan bahwasannya semua perhiasan yang tidak mungkin menyembunyikannya – seperti pakaian luar umpamanya – atau mungkin menyembunyikannya namun perhiasan itu terbuka tanpa ada unsur kesengajaan si wanita untuk membukanya atau dia tidak merasa bahwa itu terbuka maka dia tidak berdosa dan tidak pantas mendapatkan celaan, sebagaimana juga dia tidak berdosa dan tidak tercela bila membukanya secara sengaja untuk suatu keperluan, atau mashlahat yang memaksanya untuk membukanya, maka seolah-olah si wanita tidak secara langsung dan tidak sengaja membukanya namun kebutuhan dan mashlahatlah yang membukanya, oleh sebab itu dia tidak tercela, jadi firman-Nya  ,” kecuali yang biasa nampak darinya,” termasuk dalam makna firman-Nya,”Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya,”

Kesimpulan bahwa zinah itu ada dua macam, macam yang mungkin disembunyikan, maka wanita diperintahkan untuk menutupi zinah macam ini kapanpun dia berada, dan macam kedua adalah zinah yang tidak mungkin disembunyikan atau mungkin menyembunyikannya namun terkadang terbuka tanpa ada unsur kesengajaan si wanita untuk membukanya, atau ada kebutuhan yang mendesak wanita untuk menampakannya, maka zinah macam ini adalah yang dimaksud dengan firman-Nya ,” Yang biasa nampak darinya,” si wanita tidak terkena sangsi dosa karena sebab perhiasan (zinah) ini nampak. Dan tatkala zinah macam ini berbeda-beda sesuai keadaan, kebutuhan dan mashlahat dan tidak mungkin membatasinya dengan batasan tertentu yang tidak menerima kelebihan dan pengurangan maka Allah dan Rasul-nya membiarkannya pada kemubhamannya sebagai kemudahan bagi umat ini dan menjauhi dari menyulitkannya.
Dan hal itu diberi contoh dengan pakaian luar, atau anggota tubuh yang terbuka angin tanpa sengaja, memandang wanita yang dikhithbah sebelum menikahinya, atau wanita membuka sebagian anggota badannya dihadapan dokter untuk tujuan pengobatan, atau membuka wajah dan kedua telapak tangan di hadapan saksi, ini dan hal yang serupa merupakan keadaan yang memaksa wanita untuk membuka sebagian anggota tubuhnya yang harus ditutupi secara ijma, dan tidak ada dosa dan celaan atasnya dalam gambaran-gambaran itu, karena sesungguhnya itu semua perhiasan-perhiasan yang tampak tanpa ada unsur kehendaknya.
Nah dari sini jelaslah bahwa menentukan,” Yang biasa nampak darinya,” dengan wajah dan kedua telapak tangan, atau cincin dan kedua gelang atau celak dan semir dan lain-lain adalah tidak benar, tetapi yang benar adalah membiarkannya di atas kemubhaman dan keumumannya, dan bahwa hal itu mencakup seluruh badan wanita tergantung kebutuhan dan keadaan, dan sesungguhnya orang-orang yang membatasinya pada anggota tertentu telah jatuh dalam tafrith, namun di sisi lain mereka juga jatuh dalam ifrath (berlebih-lebihan) karena mereka membolehklan menampakan bagian badan ini secara muthlaq baik ada hajat yang mendesak untuk membukanya ataupun tidak, padahal Allah  tidak memberikan kebebasan kepada wanita untuk menampakan sedikitpun dari perhiasannya, namun hanya memberikan maaf kepada mereka atas sesuatu yang nampak dengan sendirinya dari perhiasan-perhiasan itu.
Dan bila telah jelas makna ayat tadi maka hendaklah pembaca yang budiman selalu ingat bahwa Firman-Nya,”Dan janganlah mereka menampakan,” adalah fi’il mudlari’ yang mengandung makna nahyu (larangan) sedang larangan itu menunjukan keharaman, dan bila larangan itu datang dengan bentuk mudlari maka menunjukan larangan yang sangat. Jadi ayat itu sangat jelas sekali menunjukan bahwa menampakan perhiasan itu adalah haram atas wanita, maka dari itu, ini adalah merupakan dalil wajibnya hijab dan bahwa sesungguhnya wajah dan kedua telapak tangan adalah termasuk di dalamnya.
Dan orang-orang yang berdalih dengan ayat ini atas bolehnya menampakan wajah dan kedua telapak tangan, sama sekali saya tidak melihat sedikitpun sesuatu yang memuaskan, namun yang mereka jadikan sandaran adalah pemalingan ayat dari maknanya yang manshush (jelas) kepada makna lain seraya berdalil dengan perkataan Ibnu Abbas  dan para sahabatnya, sedangkan perkataan Ibnu Abbas sendiri menolak apa yang mereka kemukakan. Itu dikarenakan Ibnu Abbas dan sejumlah murid-muridnya menafsirkan penguluran jilbab (dalam surat Al Ahzab : 59 pent) dengan menutupi wajah, dan tidak samar bagi mereka bahwa sesungguhnya mereka menafsirkan perintah dari perintah-perintah Allah , dan sesungguhnya perintah-Nya  adalah menunjukan suatu kewajiban, dan sesungguhnya Allah mewajibkan hal itu untuk membedakan antara wanita merdeka dengan budak, dan sangat tidak mungkin memalingkannya dari batas kewajiban kepada sekedar sunnah saja, karena sudah barang tentu tujuan yang dimaksud tersebut akan hilang. Apakah mungkin mereka (Ibnu Abbas dan murid-muridnya) mengeluarkan pernyataan yang kontradiksi, mereka mengatakan wajibnya menutup wajah dan sekaligus mengatakan boleh membukanya ? Sama sekali tidak mungkin,” namun bisa dijadikan pendekatan dari perkataan Ibnu Abbas bahwa beliau berpendapat bahwa boleh membukanya karena dlarurat, Ibnu Jarir telah meriwayatkan darinya dalam penafsiran Firman-Nya,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa nampak darinya,” beliau berkata : Dan perhiasan yang biasa nampak adalah wajah, celak mata, semir telapak tangan, dan cincin, ini boleh dia tampakan di dalam rumahnya kepada orang yang masuk menemuinya (Tafsir Ibnu Jarir 18/83-84), Ibnu Abbas tidak memfatwakan bolehnya membuka wajah dan telapak tangan secara muthlaq, namun beliau hanya memfatwakan bolehnya membuka keduanya di hadapan orang yang masuk menemuinya ke dalam rumah, kemudian yang dimaksud dengan orang-orang yang masuk menemuinya bisa saja kerabat-kerabatnya yang bukan mahram seperti anak anak paman/bibinya dan seperti saudara suaminya, seperti mereka ini sering sekali masuk rumah, kemudian Ibnu Abbas memandang bahwa menutupi diri dari mereka mendatangkan masyaqqah dan kesulitan, dan beliau mengambil istinbath bolehnya menampakan wajah dan kedua telapak tangan di hadapan mereka dari firman-Nya,” kecuali apa yang biasa nampak darinya,” maka seolah-olah bukanlah si wanita yang menampakan perhiasannya di hadapan mereka namun masyaqqahlah yang menampakannya. Dan bisa juga yang di maksud dengan orang-orang yang masuk menemuinya adalah setiap orang yang masuk setelah mendapat izin, namun secara umum pembatasan membuka hanya di dalam rumah memberikan isyarat bahwa Ibnu Abbas memandang bahwa sibuknya perempuan dengan pekerjaan rumahnya tergolong kebutuhan yang membolehkan si wanita membuka wajahnya di hadapan orang-orang tadi, beliau memandang boleh hanya pada keadaan tertentu saja, dan ini memberikan indikasi tidak bolehnya di lakukan pada pada keadaan yang lain. Oleh sebab itu bandingkan pendapat Ibnu Abbas ini dengan pendapat orang-orang yang membolehkan sufur (membuka wajah), dan mereka mengklaim bahwa Ibnu Abbas adalah tokoh rujukan mereka dalam hal ini… …

Adapun Al ‘Allamah Al Qurani Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, beliau berkata setelah menuturkan atsar-atsar ulama salaf dalam penafsiran firman-Nya  ,”kecuali yang biasa nampak darinya,” : Dan saya telah melihat dalam uraian-uraian yang dituturkan dari salaf ini perkataan-perkataan para Ahlul Ilmi tentang zinah dhahirah dan bathinah, dan bahwasannya semua itu kembali secara umum kepada tiga pendapat sebagaimana yang telah kami sebutkan :
Pertama : Bahwa yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) adalah sesuatu yang dengannya si wanita menghias diri di luar asal bentuk aslinya (Ashlul Khilqah) dan memandang perhiasan tersebut tidak memestikan bisa melihat sedikitpun dari badannya sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud  dan yang sejalan dengan beliau : Sesungguhnya hal itu adalah pakaian luar, karena pakaian adalah perhiasan wanita di luar ashlul khilqah, dan pernyataan ini sangat jelas sekali karena adanya hukum dlarurat (menyembunyikannya,pent) sebagaiman yang anda lihat.
Dan pendapat ini adalah pendapat yang paling jelas menurut kami, dan lebih hati-hati serta lebih jauh dari sumber-sumber ribah (kecurigaan) dan dari sebab-sebab fitnah.
Pendapat kedua : Bahwa yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) adalah sesuatu yang dengannya si wanita menghias diri dan di luar asal bentuk aslinya (Ashlul Khilqah juga, namun memandang perhiasan tersebut menyebabkan bisa melihat bagian badan si wanita, dan itu seperti semir, celak dan lain-lain, karena memandang perhiasan ini memestikan bisa melihat anggota badan yang dijadikan tempat perhiasan tersebut sebagaimana yang tidak samar lagi.
Pendapat ketiga : Bahwa yang dimaksud dengan zinah dhahirah tersebut adalah sebagian tubuh wanita yang merupakan ashlul khilqahnya berdasarkan perkataan orang yang mengatakan : Bahwa yang dimaksud apa yang biasa nampak darinya adalah wajah dan kedua telapak tangan- dan berdasarkan perkataan sebagian Ahlul Ilmi yang telah disebutkan.
Dan bila anda mengetahui hal ini maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kami telah menjelaskan dalam tarjamah Al Kitab Al Mubarak ini bahwa di antara bayan (penjelasan) yang terkandung di dalam Al Qur’an adalah adanya sebagian Ulama yang berpendapat suatu pendapat tentang (tafsir) suatu ayat, namun dalam ayat itu sendiri ada qarinah yang menunjukan ketidak shahihan pendapat tersebut , dan telah kami jelaskan juga dalam tarjamahnya bahwa di antara macam bayan yang dikandungnya yaitu bahwa pada umumnya di dalam Al Qur’an adalah adanya maksud makna tertentu dalam suatu lafadh, bila lafadh tertentu sering disebut berulang-ulang di dalam Al Qur’an, maka terbuktinya makna itu sebagai makna yang dimaksud dari lafadh ini secara umumnya(kebiasaannya) menunjukan bahwa makna itulah yang dimaksud dalam perselisihan ini, berdasarkan kebiasaan maksudnya dari lafadh tersebut di dalam Al Qur’an, dan kami dalam tarjamah itu telah menyebutkan beberapa contoh.
Dan bila anda telah mengetahui ini maka ketahuilah bahwa dua macam bayan dari sekian macam bayan yang kami sebutkan dalam tarjamah Al Kitab Al Mubarak dan kami berikan baginya beberapa contoh, keduanya terdapat dalam ayat yang sedang kita kupas.
Adapun yang pertama : Maka penjelasannya : Bahwa perkataan orang yang mengatakan dalam makna,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” bahwa yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) itu adalah wajah dan kedua telapak tangan umpamanya, telah ada di dalam ayat itu sendiri qarinah yang menunjukan tidak benarnya pendapat ini, yaitu bahwa zinah di dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang dipakai oleh wanita untuk menghiasi dirinya yang merupakan hal di luar ashlul khilqahnya seperti perhiasan (cincin, gelang dll, pent) dan pakaian, maka penafsirkan zinah dengan sebagian tubuh wanita adalah bertentangan dengan makna yang jelas (dhahir), dan tidak boleh menafsirkan ayat itu dengan makna tersebut kecuali dengan adanya dalil yang wajib dijadikan rujukan, nah dengan ini anda bisa mengetahui bahwa pendapat orang yang mengatakan bahwa zinah dhahirah adalah wajah dan kedua telapak tangan merupakan pendapat yang bertentangan dengan dhahir makna lafadh ayat itu, dan itu merupakan qarinah yang menunjukan ketidakbenaran pendapat ini, oleh sebab itu tidak boleh lafadh ayat itu dibawa penafsirannya kepada pendapat seperti ini kecuali dengan dalil terpisah yang mewajibkan dijadikan rujukan.
Dan adapun macam bayan kedua yang telah disebutkan maka penjabarannya adalah sebagai berikut : Sesungguhnya lafadh zinah sering sekali disebutkan di dalam Al Qur’an dengan mengandung makna zinah kharijiyyah (perhiasan diluar) badan yang dihiasinya, dan tidak bermakna sebagian anggota tubuh yang dihiasinya, seperti Firman-Nya,” Hai anak Adam, pakailah pakaian kamu yang indah (zinah) di setiap memasuki mesjid,” dan firman-Nya,” katakanlah :,”Siapakah yang mengharamkan perhiasan (zinah) dari Allah Yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hambanya,” dan firman-Nya,” Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya(zinah),” dan firman-Nya,” Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang,” dan firman-Nya,”dan (Dia telah memciptakan) kuda, bighal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan,” dan firman-Nya,”Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam (zinah) kemegahannya,” dan firman-Nya,” Harta dan anak-anak adalah perhiasan(zinah) kehidupan dunia,” dan firman-Nya,”bahwa sesungguhnya kehidupam dunia itu hanyalah permainan, dan suatu yang melalaikan, perhiasan(zinah) …,” dan firman-Nya,”Berkata Musa,” Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya(zinah),” dan firman-Nya tentang kaum Nabi Musa,”Tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari (zinah) perhiasan kaum itu,” dan firman-Nya,”Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui (zinah) perhiasan yang mereka sembunyikan,” . Lafadh zinah di dalam ayat-ayat itu semuanya bermakna adalah segala sesuatu yang menghiasi sesuatu namun bukan bagian dari sesuatu itu sebagaimana yang bisa anda lihat, dan karena secara umumnya (ghalibnya) zinah di dalam Al Qur’an itu bermakna seperti tersebut di atas maka ini menunjukan bahwa lafadh zinah dalam masalah yang menjadi polemik itu (maksudnya dalam surat An Nur : 31, pent) adalah sama seperti makna di atas yang biasa dipakai secara sering di dalam Al Qur’an Al ‘Adzim, dan itulah yang sudah dikenal dikalangan orang Arab seperti perkataan penyair :
Mereka mengenakan perhiasannya (zinah) seindah yang bisa kau lihat
Dan bila mereka melepaskannya
Maka tetap mereka adalah sebaik-baiknya wanita yang tidak berperhiasan
Nah dengan penjelasan ini maka anda bisa mengetahui bahwa penafsiran zinah di dalam ayat itu (An Nur : 31) dengan wajah dan kedua telapak tangan adalah perlu dikoreksi lagi.
Dan bila anda telah mengetahui bahwa yang dimaksud dengan zinah di dalam Al Qur’an adalah sesuatu yang dijadikan sebagai penghias dari hal yang bukan dari asal khilqahnya dan bahwa para ulama yang menafsirkannya dengan hal ini berbeda pendapat menjadi dua pendapat : Sebagian mengatakan : Ia adalah zinah yang tidak memestikan dengan melihatnya bisa memandang bagian tubuh wanita seperti pakaian luar, dan sebagian lagi mengatakan : Ia adalah zinah yang memestikan dengan melihatnya bisa melihat bagian tubuh wanita yang merupakan tempat zinah tersebut seperti celak, semir (khidlab) dan lain-lain.
Penulis –semoga Allah memaafkan dan mengampuninya- (maksudnya Asy Syinqithi, pent) berkata : pendapat yang paling jelas dari kedua pendapat tersebut menurut saya adalah pendapat Ibnu Mas’ud  yaitu bahwa zinah dhahirah adalah : Sesuatu yang tidak memestikan dengan melihatnya bisa memandang bagian tubuh wanita ajnabiyyah (yang bukan mahram), kami katakan bahwa pendapat ini adalah yang paling dhahir (jelas) karena sesungguhnya pendapat ini adalah pendapat yang paling hati-hati dan paling jauh dari sebab-sebab fitnah, serta lebih suci bagi hati laki-laki dan hati wanita, dan tidak diragukan lagi bahwa wajah wanita merupakan pokok keindahannya, dan memandangnya merupakan salah satu sebab fitnah terbesar dengannya sebagaimana yang sudah pada diketahui, dan itulah yang berjalan sesuai kaidah-kaidah syariat yang mulia, dan itu merupakan kesempurnaan penjagaan dan menjauhi dari terjerumus kedalam sesuatu yang tidak pantas terjadi.
Syaikh Abul A’la Al Maududi semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas berkata : Dan adapun firman-Nya,” Kecuali yang biasa nampak darinya,” penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda di dalam kitab-kitab tafsir telah menjadikan mafhum ayat ini sangat tertutup dan tidak jelas, padahal sesungguhnya ayat ini sangat jelas sekali tidak ada kesamaran di dalamnya, maka bila dikatakan pada ungkapan pertama,”Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya,”yaitu janganlah mereka menampakan keindahan pakaian-pakaian, perhiasan,wajah-wajah, tangan-tangan dan anggota badan mereka yang lainnya. Dia mengecualikan dari hukum yang umum ini dengan kata,”kecuali,” dalam ungkapan,”yang biasa nampak darinya,” yaitu sesuatu yang nampak yang tidak mungkin menyembunyikannya atau perhiasan yang nampak dengan sendirinya tanpa ada maksud menampakannya, dan ungkapan ini menunjukan bahwa wanita tidak diperbolehkan sengaja menampakan perhiasan ini, hanyasannya apa yang nampak darinya tanpa ada unsur kesengajaan dari mereka- seperti bila jubahnya terterpa hembusan angin sehingga terbuka sebagian perhiasannya nampak umpamanya-atau sesuatu yang nampak dengan dengan sendirinya yang tidak mungkin bisa disembunyikan- seperti jubah (rida’) yang menjadi rangkap pakaian wanita, karena itu tidak mungkin disembunyikan dan rida’ ini yang menyebabkan bisa dipandang karena bagaimanapun pasti dikenakan oleh wanita- maka dia (wanita) tidak terkena dosa dari Allah .
Dan inilah makna yang dijelaskan oleh Abdullah Ibnu Masud, Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Ibrahim An Nakha’i terhadap ayat ini, dan sebaliknya dari penafsiran ini sebagian ahli tafsir berkata : Sesungguhnya makna,”Kecuali yang biasa nampak darinya,” adalah apa yang ditampakan oleh orang sesuai adat kebiasaan yang berlaku, kemudian mereka memasukan di dalamnya wajah dan kedua telapak tangannya dengan semua hiasannya, yaitu menurut mereka wanita boleh menghiasi wajahnya dengan celak, lulur penghias, dan menghiasi tangannya dengan semir, cincin, dan gelang kemudian berjalan di hadapan orang-orang dengan sembari membuka wajah dan kedua telapak tangannya, dan makna inilah yang diriwayatkan (dengan sanad lemah, pent) dari Abdullah Ibnu Abbas  dan murid-muridnya , dan ini diambil oleh sejumlah besar pengikut madzhab Hanafi. Adapun kita sungguh tidak mampu memahami dengan berbagai kaidah-kaidah bahasa yang ada bahwa boleh jadi makna ,” Apa yang biasa nampak,” adalah apa yang ditampakan oleh manusia, karena perbedaan antara sesuatu yang nampak dengan sendirinya dengan apa yang sengaja ditampakan oleh manusia adalah sangat jelas sekali yang tidak seorangpun tidak mengetahuinya, dan dzahir dari ayat itu bahwa Al Qur’an melarang dari menampakan perhiasan dan memberikan rukhshah (keringanan) bila terbuka nampak tanpa ada unsur kesengajaan, maka terlalu membebaskan diri di dalam rukhshah ini sehingga sengaja menampakannya dengan sengaja adalah hal yang bertentangan dengan Al Qur’an dan bertentangan dengan riwayat-riwayat yang menetapkan bahwa wanita-wanita di zaman Nabi  tidak pernah mereka itu tampil di hadapan laki-laki lain dengan membuka wajahnya, dan bahwa perintah berhijab itu mencakup wajah, dan cadar itu telah menjadi bagian dari pakaian wanita kecuali di saat ihram. Dan sesuatu yang paling mengherankan adalah bahwa mereka yang membolehkan wanita membuka wajah dan kedua telapak tangannya kepada laki-laki lain berdalih atas hal itu dengan ungkapan bahwa wajah dan kedua telapak tangan itu bukan aurat, padahal sangat berbeda sekali antara hijab dengan menutup aurat. Aurat adalah sesuatu yang yang tidak boleh dibuka meskipun kepada laki-laki mahramnya, sedangkan hijab adalah lebih dari sekedar dari menutupi aurat, yaitu adalah sesuatu yang menghalangi/memisahkan antara wanita dengan laki-laki yang bukan mahramnya, dan sesungguhnya pokok pembahasan dalam ayat ini adalah hijab bukan menutupi aurat.
Syaikh Abdul Aziz Ibnu Rasyid An Najdi rahimahullah berkata : Dan zinah wajah adalah zinah yang paling besar yang dimana wanita dilarang menampakan dan membukanya kepada laki-laki lain (ajnabiyy), sebagaimana laki-laki diperintahkan untuk menundukan pandangan darinya dan dari setiap yang haram, oleh sebab itu semua orang pasti memandang wajah wanita terlebih dahulu sebelum memandang yang lainnya karena Allah  menjadikan padanya daya tarik tersendiri yang digandrungi semua orang dibandingkan zinah yang lainnya. Dan Allah  tidak mengkhithabi manusia kecuali dengan sesuatu yang mereka dipahami dengan fithrahnya, dan dengan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan mereka serta dengan sesuatu yang sesuai dengan bahasa mereka. Dan bukan sesuatu yang masuk akal, dan juga bukan termasuk hikmah Allah  dan agamanya yang diturunkannya sebagai rahmat, hidayah, penjaga kehormatan dan sifat-sifat mulia serta melindunginya dengan mengharamkan zina dan wasilah-wasilahnya dan mengkeraskan hukumannya, namun kemudian Dia membolehkan bagi wanita-wanita untuk membuka wajahnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, mereka menampakannya dan tabarruj (dengannya) di jalanan. Tak ragu lagi ini merupakan penyeru terbesar untuk berbuat zina dan sebab-sebabnya, perusakan kehormatan, dan bahaya buat laki-laki yang difithrahkan menyukai keanggunan dan kecantikan wajah wanita, serta menyebabkan berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar karenanya..
Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata : Sesungguhnya Allah  melarang menampakan perhiasan secara muthlaq kecuali yang biasa nampak darinya, yaitu yang mesti nampak seperti pakaian luar, dan oleh sebab itu Dia berfirman,” kecuali yang biasa nampak darinya,” dan tidak mengatakan : kecuali yang mereka tampakan darinya,” kemudian Dia melarang sekali lagi dari menampakan zinah kecuali kepada orang yang dikecualikan, berarti ini menunjukan bahwa zinah yang pertama berbeda dengan zinah yang kedua, zinah yang pertama adalah zinah dhahirah yang nampak bagi setiap orang dan tidak mungkin disembunyikannya, dan zinah yang kedua adalah zinah bathinah (yang tertutup) yang dengannya mereka menghiasi dirinya, dan seandainya zinah ini boleh (ditampakan) kepada setiap orang tentu ta’mim (pemberian sifat umum) dalam (zinah) yang pertama dan pengecualian dalam yang kedua tidak merupakan faidah yang ma’lumah.
4- sesungguhnya Allah  memberikan keringanan untuk menampakan zinah bathinah kepada pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan kepada wanita, dan kepada anak kecil yang belum memiliki syahwat dan belum mengerti mengenai aurat wanita, maka ini menunjukan kepada dua hal :
Pertama : Bahwa memperlihatkan zinah bathinah ini tidak halal kepada semua orang yang bukan mahram kecuali kepada dua kelompok orang ini saja.
Kedua : Bahwa illat (alasan) dan ruang lingkup hukum adalah kekhawatiran akan fitnah akibat perempuan dan keterkaitan hati dengannya, dan tidak ragu lagi bahwa wajah adalah pokok kecantikan dan sumber fitnah tersebut maka menutupinya adalah wajib agar laki-laki yang masih memiliki hasrat terhadap wanita tidak terfitnah dengannya.
Syaikh Abu Bakar Al Jazairi hafidzahullah berkata : Firman-Nya ,”Dan katakanlah kepada wanita yang beriman,” Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka……..,”
Sesungguhnya dilalah ayat ini terhadapa hijab adalah sangat kuat sekali, karena ayat ini mengandung perintah menundukan pandangan dan menjaga kemaluan, sedangkan menjaga kemaluan itu tidak mungkin bisa terlaksana kecuali dengan menundukan pandangan, dan menundukan pandangan itu tidak bisa terlaksan kecuali dengan adanya hijab yang sempurna. Dan telah lalu dalam pembahasan ini bahwa menundukan pandangan itu bisa terlaksana dengan salah satu dari dua hal, dan kedua hal ini diperintahkan bila tidak ada ikhtilath (campur baur laki-laki dengan wanita), atau dengan adanya ikhtilath maka hal itu tidak bisa terlaksana, dan sangat sulit sekali bagi mumin dan muminah untuk mentaati Rabnya dalam keadaan (ikhtilath) seperti itu, nah dari sinilah diketahui bahwa makna kata hijab itu bukanlah seorang wanita menutupi kecantikannya saja, namun makna yang haq darinya adalah adanya penghalang dan pembatas yang bisa mencegah campur baurnya laki-laki dengan wanita dan wanita dengan laki-laki, nah dalam keadaan seperti inilah menjaga pandangan dan kemaluan bisa terlaksana. Dan dikarenakan terkadang ada keperluan yang sangat penting yang mengharuskan wanita keluar dari rumahnya, maka Allah  mengizinkannya keluar, namun tanpa menampakan perhiasannya, bahkan dia harus menutupinya kecuali yang memang diperlukan terbuka seperti mata untuk melihat jalan, atau telapak tangan untuk mengambil sesuatu, atau pakaian yang dia kenakan. Dan inilah makna pengecualian di dalam ayat ini,”kecuali yang biasa nampak darinya,” dan dengan ini banyak ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in serta orang-orang yang sesudah mereka menafsirkannya.

Dalil kelima

Firman-Nya  :

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ
Artinya : Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya (An Nur :31)

Dan perintah ini mengandung perintah wanita untuk menutupi wajah dan lehernya, dan penjelasan hal ini adalah : Bahwa wanita bila diperintahkan mengulurkan khimarnya (kerudungnya) dari atas kepalanya ke dadanya untuk menutupi dadanya itu, maka secara tidak langsung dia sudah diperintahkan menutupi anggota badan yang terletak di antara kepala dan dadanya yaitu wajah dan lehernya, hanyasannya hal itu tidak disebutkan secara langsung di sini karena sudah diketahui bahwa mengulurkan khimar ke dada itu sudah pasti menutupi wajah dan leher itu.

Al Ikhtimar secara bahasa sudah pasti menutupi wajah.

Sebagian orang Arab berkata dalam menyebutkan kecantikan seorang wanita yang sedang menutupi wajahnya :

Katakan kepada si cantik jelita yang mengenakan khimar penutup wajah
,”Engkau telah merusak ibadah saudaraku yang bertaqwa
pancaran khimar dan cahaya pipimu di belakangnya
sungguh mengagumkan wajahmu ini, kenapa tidak terbakar

Al Albani berkata : Dia telah menyebutkan gadis cantik itu bahwa khimarnya dia kenakan di wajahnya juga.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan : khumur (jamak dari khimar, pent) adalah (kain) yang menutupi wajah dan leher. Dan jalabib (jamak dari jilbab, pent) adalah kain yang ulurkan dari atas kepala (hingga ke bawah badan) sehingga tidak nampak dari badan pemakainya kecuali dua mata saja.
Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf hafidhahullah berkata : Allah  berfirman,” Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,”Allah  telah memerintahkan wanita agar tidak menampakan sedikitpun dari perhiasannya kecuali yang nampak darinya tanpa sengaja, kemudian Dia  hendak mengajarkan wanita bagaimana menutupi tempat-tempat perhiasan itu dengan mengulurkan khimar yang dia kenakan di kepalanya, maka Dia berfirman,” Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung,” yaitu dari kepala dan bagian atas wajah,”ke dadanya,” yaitu dada dia, sehingga dengan hal seperti ini dia telah menjaga/menutupi kepala dan sekitarnya serta menutupi dada dan anggota badan di bawahnya, juga bagian leher dan sekitarnya, supaya dengannya si wanita bisa menjamin tertutupnya perhiasan asli dan cabang-cabangnya. Maka barang siapa yang mengecualikan suatu anggota dari anggota badan yang diharamkan ditampakan dengan nash Al Qur’an Al Aziz itu, maka dia harus mendatangkan dalil yang mengkhususkannya hal itu dan yang menentukan pengecualian tersebut, dan hal ini tidak mungkin bisa tercapai, karena hal ini membutuhkan nash yang sharih (jelas) dari Al Qur’an Al Aziz, atau dari As Sunnah Al Muthahharah, dan mana mungkin bagi mereka yang mengecualikan wajah dari itu semua dengan hal-hal yang sifatnya dugaan belaka mampu mendatangkan dalil yang qathi’? dan diantara bukti yang kuat yang menguatkan apa yang kami katakan akan haramnya menampakan zinah ashliyyah (anggota badan) dan manqulah (celak dan lain-lain, pent) adalah apa yang dilakukan Rasulullah  terhadap isterinya Shafiyyah, dan apa yang dilakukan oleh Ummahatul Mu’minin serta wanita-wanita yang berada pada masa Rasulullah  setelah turunnya ayat ini dan ayat dalam surat Al Ahzab, mereka keluar dengan tertutup penuh sempurna dengan Khimar (kudung) dan jilbab (jubah rangkap).
Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf berkata juga : Firman-Nya,” ,” Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,” sangat jelas sekali memerintahkan mengulurkan khimar dari kepala ke dada, karena wajah adalah termasuk bagian kepala yang wajib ditutupi secara akal, syari’at dan kebiasaan. Dan tidak satu dalilpun yang mengeluarkan wajah dari penamaan kepala dalam bahasa Arab, sebagaimana tidak ada satu nashpun yang mengeluarkan atau mengecualikannya baik dengan manthuq Al Qur’an dan As Sunnah maupun dengan mafhum keduanya. Sedangkan pengecualian sebagian orang terhadapnya dan penafian mereka bahwa wajah itu tidak dimaksud dalam umumnya perintah menutupinya adalah tertolak dengan mafhum syari’ dan lughawiy (bahasa) dan terkubur oleh perkataan Ulama dari kalangan salaf dan khalaf, sebagaimana pendapat ini juga tertolak oleh dua kaidah fiqih yang sudah terkenal dikalangan ulama fiqh yang berkecimpung dalam masalah sunnah yaitu :
Pertama : Bahwa hujjah istbat (Yang menetapkan) didahulukan atas hujjah nafyi (yang meniadakan).
Kedua : Sesungguhnya bila terjadi pertentangan antara hal yang membolehkan dengan hal yang melarang maka dalil yang melarang didahulukan atas dalil yang membolehkan.
Dan tempat yang ketiga : Ayat hijab dalam surat Al Ahzab, ayat itu sangat sharih (jelas) sekali mengharuskan menutupi wajah, karena itu adalah tanda pengenal (yang membedakan wanita merdeka dari budak)
Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin berkata : Firman-Nya ,”Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudungnya ke dada mereka,” sesungguhnya khimar adalah kain yang dipakai wanita untuk menutupi kepalanya dengannya seperti ghadaqah, maka bila dia diperintahkan mengulurkan khimar ke dadanya maka secara langsung dia juga sudah diperintahkan untuk menutupi wajahnya, baik karena itu merupakan keharusan (lazim) dari perintah tersebut atau dengan qiyas, karena sesungguhnya bila dia wajib menutupi leher dan dadanya, maka otomatis menutupi wajah adalah lebih wajib, karena dia adalah letak kecantikan dan sumber fitnah, sesungguhnya orang yang mencari-cari kecantikan tidak akan bertanya kecuali tentang kecantikan wajahnya, bila wajahnya cantik dia tidak akan begitu memperhatikan kecantikan anggota tubuh yang lainnya, oleh sebab itu bila mereka mengatakan : Si Fulanah cantik, maka tidak dipahami dari ungkapan itu kecuali kecantikan wajah. Maka jelaslah bahwa wajah itu adalah sumber kecantikan baik dari sisi dicari orang, ataupun yang diberitakan mereka. Maka bila keadaannya seperti itu maka bagaimana mungkin bisa dipahami bahwa syari’at yang bijaksana ini memerintahkan menutupi dada dan leher namun kemudian memberikan keringanan untuk membuka wajah.
Dan Al ‘Allamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata : Al Bukhari rahimahullah berkata dalam kitab shahihnya : Bab “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka”, dan Ahmad bin Syabib berkata : Telah memberitahukan kepada kami ayahku dari Yunus, Ibnu Syihab berkata dari Urwah dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha beliau berkata : Semoga Allah merahmati para wanita muhajirat pertama, tatkala Allah  turunkan “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka” mereka merobek muruth (kain-kain mereka yang tebal) kemudian mereka berikhtimar dengan kain itu dari Shahih Al Bukhari.
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari ketika menerangkan hadits ini, perkataannya,” : mereka berikhtimar,” yaitu mereka menutup wajah-wajahnya, dan caranya adalah dengan menutupkan khimar pada kepalanya dan mengulurkannya dari sisi sebelah kanan ke pundaknya yang sebelah kiri, dan inilah yang disebut dengan taqannu’, Al Farra berkata : Adalah mereka pada zaman jahiliyyah, wanita di antara mereka mengulurkan khimarnya dari belakanggnya dan membuka bagian depannya, maka mereka diperintahkan untuk menutupinya), Al Hafidz berkata lagi dalam kitab Al Asyribah (Minuman) di sela-sela beliau mendefinisikan khamar (Minuman keras) : Dan di antaranya khimar perempuan, karena dia itu (khimar) menutupi wajahnya)….Asy Syinqithi rahimahullah berkata lagi berkenaan dengan hadits Aisyah ini : Dan hadits yang shahih ini sangat jelas sekali menjelaskan bahwa wanita-wanita shahabiyyat yang disebut di dalamnya memahami bahwa makna firman-Nya, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka” menuntut untuk menutupi wajah mereka, dan sesungguhnya mereka merobek sarung-sarungnya kemudian mereka berikhtimar dengannya yaitu menutupi wajahnya sebagai realisasi atas perintah Allah dalam firman-Nya, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka” yang menuntut untuk menutupi wajah mereka- Dan dengan ini semua pastilah bagi orang yang obyektip (munshif) : Bahwa ihtijabnya wanita dari laki-laki dan penutupan atas wajahnya dari mereka merupakan sesuatu yang tsabit (ada secara pasti) dalam As Sunnah Ash Shahihah yang menafsirkan terhadap maksud Kitab Allah . Dan Aisyah radiyallahu ‘anha telah memuji mereka atas kesegeraannya dalam merealisasikan perintah-perintah Allah di dalam kitabnya. Dan suatu hal yang ma’lum bahwa mereka tidak memahami kewajiban menutupi wajah dalam firman-Nya, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka” kecuali dari Nabi , karena beliau ada di antara mereka, dan mereka itu selalu bertanya kepadanya tentang segala seuatu yang mereka anggap sulit dipahami di dalam masalah agama mereka, Dan Allah  berfirman,”Dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka,” maka tidak mungkin mereka menafsirkannya dari diri mereka sendiri….(dikutip dari Adhwaaul Bayan)
Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari hadits Shafiyyah Binti Syaibah, ia berkata : Di saat kami bersama Aisyah, beliau berkata : Para wanita menyebutkan wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka, maka Aisyah radhiyallahu 'anha berkata : Sesungguhnya wanita-wanita Quraisy itu memiliki keutamaan, dan sesungguhnya saya Demi Allah tidak melihat wanita yang lebih utama dari wanita Anshar yang sangat cepat sekali membenarkan Kitab Allah dan beriman kepada wahyunya, Telah diturunkan Surat An Nur, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka” maka laki-laki mereka pulang menemui mereka seraya membacakan kepada mereka apa yang Allah turunkan di dalam Surat itu, seorang laki-laki membacakan kepada isterinya, puterinya, saudarinya, dan kepada wanita-wanita yang merupakan kerabatnya, maka tidak ada satupun wanita di antara mereka kecuali dia bangkit mengambil sarungnya yang tebal kemudian mereka beri’tijar dengannya sebagai realisasi pembenaran dan keimanan terhadap apa yang diturunkan Allah di dalam Kitab-Nya, maka kemudian di waktu shubuh mereka telah berada di belakang Rasulullah  sambil beri’tijar seolah-olah ada gagak di kepala mereka), makna dari mu’tajirat (mereka beri’tijar) adalah : mukhtamirat (menutupi wajahnya) sebagaiman yang telah dijelaskan tadi dalam riwayat Al Bukhari, sedang beri’tijar adalah mengikatkan khimar di kepala disertai dengan menutupi wajah. Ibnu Al Atsir berkata : Dan di dalam hadits Ubaidillah Ibnu ‘Addi Ibnu Al Khiyar : Dia (laki-lak yang dimaksud) datang sambil beri’tijar dengan surbannya, Wahsyiyy tidak melihat darinya kecuali kedua mata dan kedua kakinya. Al I’tijar adalah melipatkan surban pada kepalanya dan mengulurkan bagian darinya pada wajahnya dan tidak meletakan bagian darinya di bawah dagunya.
Al ‘Allamah Al Qur’aniy Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata : Maka anda bisa melihat Aisyah radhiyallahu 'anha dengan disertai ilmunya, pemahamannya, dan ketaqwaannya beliau memuji kepada mereka dengan pujian yang agung ini, dan dengan terang-terangan menyatakan bahwa beliau tidak melihat wanita yang lebih utama dari wanita Anshar yang sangat cepat sekali membenarkan Kitab Allah dan beriman kepada wahyunya,”dan itu merupakan dalil yang wadlih (jelas) bahwa pemahaman mereka akan wajibnya menutup wajah dari firman-Nya , “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka,” adalah merupakan di antara bukti pembenaran mereka terhadap Kitab Allah dan sebagai dorongan keimanannya akan wahyu yang diturunkan. Dan ini merupakan dalil yang jelas bahwa ihtijabnya wanita dari laki-laki, serta perlakuan mereka menutupi wajahnya adalah sebagai bentuk pembenaran (tashdiq) terhadap Kitab Allah dan keimanan terhadap wahyu yang diturunkan sebagaimana yang bisa anda saksikan. Kalau ada keheranan maka adalah keheranan kita dari sikaf sebagian orang yang menggolongkan dirinya di jajaran Ahli Ilmu yang mengklaim bahwa di dalam Al Qur’an dan As Sunnah tidak ada dalil yang menunjukan keharusan wanita menutupi wajahnya dari laki-laki yang bukan mahram, padahal seungguhnya wanita-wanita shahabat telah melakukannya sebagai bentuk perealisasian mereka akan perintah Allah dalam Kitab-Nya dan sebagai bentuk keimanannya terhadap wahyu yang diturunkan, dan makna ini telah ada dengan pasti (tsabit) di dalam shahih Al Bukhari sebagaimana yang telah anda lihat sendiri tadi, sungguh ini merupakan bagian dari dalil yang paling agung dan paling jelas terang tentang keharusan hijab atas seluruh wanita kaum muslimin seperti yang anda lihat.


Dalil Keenam
Firman-Nya  :

وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ
Artinya: Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.(An Nur : 31).

Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairiy : Firman-Nya ,” Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan,” Sesungguhnya dilalah ayat ini terhadap hijab yang sempurna adalah lebih jelas dan lebih kuat dari ayat-ayat yang sebelumnya, itu dikarenakan sesungguhnya dampak fitnah terhadap laki-laki yang ditimbulkan dengan sebab mendengar suara gelang kaki bila wanita menghentakan kakinya di saat berjalan lebih kecil dibandingkan fitnah yang ditimbulkan akibat memandang wajahnya dan mendengar lantunan pembicaraannya. Maka bila Allah  mengharamkan dengan ayat ini wanita menghentakan kakinya karena karena khawatir kedengaran suara gelangnya sehingga orang yang mendengarnya tertarik dengannya, maka keharaman memandang wajahnya –yang merupakan pusat kecantikannya- adalah lebih dasyat dan lebih haram.
Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata : Firman-Nya ,” Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan,” yaitu janganlah wanita menghentakan kakinya sehingga diketahui apa yang dia sebunyikan berupa gelang kaki dan lainya yang biasa dipakai untuk berhias buat laki-laki. Maka bila perempuan dilarang memukulkan kakinya karena karena kawatir laki-laki terfitnah dengan suara perhiasan kakinya dll, apa gerangan dengan membuka wajahnya.
Mana yang lebih besar fitnahnya laki-laki mendengar suara gelang kaki dan dia tidak mengetahui siapa dia, dan bagaimana kecantikannya, dia tidak mengetahui apakah wanita itu gadis atau nenek-nenek, dan dia tidak mengetahui apakah buruk rupa atau cantik jelita, mana yang lebuh besar fitnahnya, ini atau memandang wajah cantik nan jelita, anggun nan menawan yang sangat menarik dan mengundang pandangan terhadapnya ? Tentunya laki-laki yang masih normal dan mempunyai hasrat terhadap wanita mengetahui mana fitnah yang lebih besar dan mana yang lebih berhak ditutupi dan disembunyikan ??!
Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf berkata : Firman-Nya ,” Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan,” Di ambil dari sini bahwa Allah  mengharamkan atas wanita melakukan segala sesuatu yang mengundang fitnah, hingga berupa gerakan dan suara, dan ini merupakan puncak dalam menentukan etika bagi muslimah, dan menjaga kehormatannya serta menghindarkan kejahatan darinya. Maka seandainya ada sesuatu yang lebih samar/tersembunyi darinya tentu Dia  akan menyebutkannya sebagai bentuk pengarahan dan pengajaran bagi wanita muslimah, sungguh sangat memuliakan Allah di saat dia merealisasikan perintah-Nya dan mengamalkan ajaran-Nya. Dan sungguh sangat menyepelekan dan merusak terhadap apa yang telah Dia berikan kepadanya di saat dia menyalahi perintah-Nya. Nah dari sini jelaslah bagi kita sebagaimana jelas bagi manusia semuanya bahwa wanita bila dia berhijab lagi menutupi tempat-tempat perhiasannya, maka sesungguhnya tabiat laki-laki menginginkan melihat sesuatu yang sedikit nampak darinya, namun dia sudah terjaga dengan cahaya di bawah hijabnya yang diakui oleh semua orang.
Berbeda dengan wanita yang menampakan wajahnya yang telah menjual murah miliknya baik yang asli maupun yang sengaja dia buat-buat kepada setiap orang yang melihatnya- maka setiap yang diobral murah itu pasti dihinakan- sungguh Allah telah mencabut darinya cahaya yang diberikan kepada orang yang taat dan bertaqwa kepada-Nya. Seandainya wanita yang membuka dan memamerkan wajahnya dan wanita yang merelakan dirinya dijajakan murah kepada setiap preman dan laki-laki tak berakhlak mereka (maksudnya wanita itu) mengetahui cahaya dan kemuliaan yang ada dibalik penutup wajahnya itu tentu dia bersegera mengenakannya, Maha Suci sang Pengatur yang memiliki keajaiban-keajaiban pada ciptaan-Nya.
Maka Allah  memberikan tuntunan bagi wanita yang mentaatinya, dan memberi taujih kepada mereka dengan taujih yang paling sempurna, serta mengajarkan kepada mereka ilmu yang bermanfaat yang dengannya mereka menjadi bagian yang bermanfaat bagi masyarakat manusia dan menjadi ibu yang shalihah lagi mulia..
Dan demi ini semua Al Qur’an Al Aziz telah datang dengan dengan mengarahkan mereka kepada taujih yang dicintai dan diridlai Allah, Al Qur’an memulainya dalam ayat ini dengan anggota badan yang paling tinggi dan paling utama, yaitu kepala, dan mengakhirinya dengan yang paling bawah dan paling rendah, yaitu kaki, sehingga bisa diambil kesimpulan dari ini semua bahwa wanita aurat, haram atasnya menampakan sedikitpun dari anggota badan yang bisa dilihat oleh laki-laki yang bukan mahram, sampai apa yang mereka pergunakan untuk mempercantik dirinya, sama saja dalam hal ini apakah yang nampak ataupun yang tersembunyi mulai dari bagian kepala hingga telapak kakinya.
Syaikh Nashiruddin Al Albaniy rahimahullah : Firman-Nya  :,” Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan,” Dan ini menunjukan bahwa wanita diwajibkan menutupi kakinya juga, karena kalau tidak diwajibkan maka wanita di antara mereka bisa menampakan perhiasannya yang dia sembunyikan, seperti gelang kaki, dan tentu dia tidak membutuhkan untuk menghentakan kakinya, namun dia tidak bisa untuk melakukannya, karena hal itu sangat bertentangan dengan syari’at, dan pelanggaran seperti ini tidak pernah terjadi pada zaman kerasulan, oleh sebab itu salah seorang diantara mereka mencari hilah (akal-akalan) dengan menghentakan kakinya supaya laki-laki mengetahui perhiasan yang dia sembunyikan, maka Allah melarang mereka dari melakukan hal itu.
Dan dinukil dari Ibnu Hazm rahimahullah perkataannya bahwa ayat ini adalah nash yang menunjukan bahwa kedua kaki, kedua betis termasuk yang tersembunyi dan tidak halal menampakannya.
Dan tidak ragu lagi bahwa fitnah yang timbul karena membuka wajah adalah lebih besar dan lebih dasyat bahayanya dari sekedar fitnah membuka kedua telapak kaki atau menghentakan kakinya, Wallahu ‘Alam.


Dalil Ketujuh

Firman-Nya  :

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاَّتِيْ لاَ يَرْجُوْنَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَالله ُسَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Artinya: Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haidl dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (An Nur : 60)

Syaikhul Mufassirin Ibnu Jarir Ath Thabari rahimahullah berkata : Allah  mengatakan : Dan (Qawa’id) wanita-wanita yang sudah berhenti dari (usia) melahirkan anak karena sudah tua, mereka tidak haidl dan tidak hamil lagi, bentuk tunggalnya adalah qaa’id,” yang tiada ingin kawin (lagi),” Dia mengatakan : Mereka yang sudah putus dari keinginan kawin sehingga tidak ada hasrat lagi kepada suami (laki-laki),” tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian,”Dia mengatakan : Maka tidak ada dosa dan halangan atas mereka untuk menanggalkan pakaiannya, yaitu jilbabnya, yaitu yang berupa qina’ yang dikenakan sebagai rangkap kerudung, dan rida’ (jubah) yang dikenakan sebagai rangkap pakaiannya, tiada dosa atas mereka untuk menanggalkannya di hadapan laki-laki yang merupakan mahramnya ataupun laki-laki asing, dengan tidak (bermaksud) menampakan perhiasan.
Apa yang kami katakan telah dikatakan pula oleh ahli tafsir lain : Beliau menyebutkan ulama-ulama yang mengatakannya. Telah memberitahukan kepada kami Ali,, beliau berkata : Telah memberitahukan kepada kami Shalih, beliau berkata : Telah memberitahukan kepada saya Muawiyyah, dari Ali Dari Ibnu Abbas  firman-Nya,” Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haidl dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi),” Yaitu wanita itu tidak ada dosa atas dia berada dirumahnya dengan hanya mengenakan baju kurung (dir’u) dan kerudung (khimar), dan menanggalkan jilbabnya, selama tidak berusaha menampakan sesuatu yang dibenci Allah, dan ini adalah firman-Nya,” tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakan perhiasan,” kemudian Dia berfirman,” dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka,” saya diberitahu dari Al Hasan, berkata : Saya mendengar Abu Muadz berkata : Ubaid telah memberitahu kami, berkata : Saya mendengar Adl Dlahhak berkata tentang firman-Nya,” menanggalkan pakaian,” : Yaitu jilbab yang dinamai juga qina’, ini bagi wanita tua yang sudah putus usia hamil, tidak mengapa dia tidak memakai jilbab sebagai rangkap kerudungnya, dan adapun setiap wanita muslimah lagi merdeka, maka bila dia sudah menginjak usia baligh hendaklah mengulurkan jibab sebagai rangkap khimarnya, dan Allah  berfirman di dalam surat Al Ahzab,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,”….
Kemudian beliau meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid, beliau berkata,”pakaiannya,” yaitu jilbabnya, Ibnu Zaid berkata : menanggalkan khimar, Ibnu Masud berkata : Jilbab adalah rida’ atau milhafah (mantel), sampai akhirnya beliau rahimahullah berkata : Dan Firman-Nya,” dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka,” berkata : Bila mereka menjaga iffah dengan tetap memakai jilbab dan rida’ itu maka perbuatan mereka dengan memakainya itu lebih baik baginya daripada menanggalkannya, dan dengan seperti apa yang kami katakan, para ahli tafsir juga mengatakan hal yang sama) kemudian beliau menyebutkan dengan sanadnya dari Mujahid, beliau berkata : Yaitu mereka memakai jilbabnya.. dan Asy Sya”biy beliau mengatakan : Meninggalkan itu, yaitu meninggalkan meletakan pakaian.
Al Imam Abu Bakar Al Jashash rahimahullah : Dan firman-Nya  : وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاَّتِيْ لاَ يَرْجُوْنَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَالله ُسَمِيْعٌ عَلِيْمٌ Ibnu masud  dan Mujahid berkata : Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haidl dan mengandung) yang tiada ingin kawin yaitu mereka yang sudah tidak mempunyai hasrat kawin lagi, sedang yang dimaksud pakaiannya adalah jilbab-jilbabnya. Dan Ibrahim dan Ibnu Jubair berkata : Rida’ (jubah). Al Hasan berkata : Jilbab dan minthaq. Dan dari Jabir Ibnu Zaid : Mereka menanggalkan khimar dan rida’. Abu Bakar berkata : Tidak ada perselisihan bahwa rambut wanita tua adalah aurat yang tidak diperbolehkan laki-laki asing memandangnya, sebagaimana halnya rambut wanita muda, maka tidak tidak benar yang dimaksud dengan ayat adalah menanggalkan khimar di hadapan laki-laki asing.
Bila dikatakan : Allah di dalam ayat ini hanya membolehkan menanggalkan khimarnya di saat sendirian yang tidak ada seorangpun melihatnya, Maka Jawabannya: kalau begitu tidak ada artinya pengkhususan wanita tua dengan hal itu, karena wanita muda juga boleh melakukan hal itu di saat sendirian, nah dari sini ada dalil yang menunjukan bahwa wanita tua hanya dibolehkan menanggalkan rida’nya (jubah perangkap) di hadapan laki-laki asing setelah dia menutupi kepalanya, dan boleh baginya dengan dalil ini dia membuka wajah dan tangannya karena dia itu sudah tidak menarik lagi, dan Dia  berfirman,” وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ,” maka dia dibolehkan meletakan jilbabnya, dan Allah memberitahukan bahwa berlaku sopan dengan tidak menanggalkan jilbabnya di hadapan laki-laki asing adalah lebih baik baginya.
Al Imam Al Faqih ‘Imaduddin Ath Thabari yang terkenal dengan Ilkiya Al Harras rahimahullah berkata : Firman-Nya  (وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاَّتِيْ لاَ يَرْجُوْنَ نِكَاحًا ) yang dimaksud Allah dengannya adalah wanita lanjut usia, dan Dia membolehkan baginya menanggalkan rida’ atau lihaf (mantel/jubah) atau khimar. Ibnu Abbas berkata : Yang dimaksud dengannya adalah jilbab yang merupakan rangkap khimar, dan sudah pada ma’lum bahwa dia tidak diperbolehkan membuka sedikitpun aurat badannya, karena di saat sendirian sesungguhnya wanita tua dan wanita muda adalah sama saja, dan bila dihadapan orang lain maka wajib membawa penafsirannya kepada jilbab dan kain yang dijadikan rangkapan khimar bukan khimarnya itu, sebab fungsi jilbab adalah menutupi dengan sangat tertutup rapi, sedangkan kalau khimar saja terkadang bagian kepala dan lehernya terbuka, maka Allah menjelaskan bahwa menutupi dirinya dengan sangat tertutup itu tidak wajib atas mereka sebagaimana diwajibkannya atas wanita muda, karena memandang mereka itu tidak menimbulkan fitnah seperti fitnah yang ditimbulkan akibat memandang wanita muda, oleh sebab itu Dia berfirman di akhir ayat,” وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ ,”
Dan Al Imam Muhyissunnah Al Baghawi rahimahullah di dalam penafsiran (وَالْقَوَاعِدُ ) dari Rabi’ah Ar Ray’, berkata : Mereka adalah wanita-wanita tua yang bila dilihat oleh laki-laki, mereka merasa jijik dengannya, adapun wanita yang masih memiliki sisa-sisa kecantikannya dan menarik hasrat maka tidak termasuk dalam ayat ini.
Abul Qasim Mahmud Ibnu Umar Az Zamakhsyari Al Khawarizmi berkata dalam tafsirnya : Firman-Nya  ,”( وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاَّتِيْ لاَ يَرْجُوْنَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَالله ُسَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ) Dan yang dimaksud dengan pakaian adalah pakaian luar yang nampak seperti milhafah dan jilbab yang merupakan rangkapan khimar(غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ ) tanpa menampakan perhiasan, yaitu perhiasan yang tersembunyi yang dimaksud dengan firman-Nya,”Dan janganlah menampakan perhiasannya kecuali kepada suaminya……,” atau tidak ada maksud tabarruj dengan menanggalkan (jilbab itu) namun hanya menginginkan meringankan saja di kala membutuhkannya, namun menjaga kesopanan (dengan memakai tetap jilbab) adalah lebih baik baginya dari menanggalkannya. Tatkala telah menerangkan hal yang boleh Dia akhiri dengan sesuatu yang mustahab (disukai) dengan harapan dari-Nya mereka memilih amalan yang lebih utama dan lebih bagus, seperti firman-Nya,”dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada ketaqwaan,” dan,”dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang ) itu lebih baik bagi kamu,”
Al Imam Nashiruddin Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Al Munayyir Al Iskandari Al Malikiy rahimahullah :( Firman-Nya  : ,”(( وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ Az Zamakhsyari menetapkan ayat di atas dzahirnya, dan nampak bagi saya – Wallahu ‘ Alam- bahwa firman-Nya  (غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ ) masuk dalam sebuah ungkapan : di padang pasir tidak ada tanda yang bisa dijadikan petunjuk,” begitu juga yang dimaksud di dalam ayat ini : dan wanita-wanita lanjut usia yang tidak memakai perhiasan yang bisa dipakai untuk tabarruj, karena pembicaraan adalah berkenaan dengan wanita yang seperti ini sifatnya, dan seolah-olah maksudnya dari itu adalah bahwa perlakuan sopan mereka dengan tidak menanggalkan jilbabnya adalah lebih baik baginya, maka apa gerangan dengan wanita yang memakai pakaian yang mengandung perhiasan ? dan lebih dari itu bahwa Dia menjadikan tidak menanggalkan pakaian (jilbab) bagi wanita lansia (lanjut usia) dalam tataran menjaga iffah (menjaga kehormatan) ini sebagai pemberitahuan bahwa menaggalkan pakaian (jilbab) bukan merupakan perbuatan iffah, ini bagi wanita lansia, maka apa gerangan dengan wanita muda yang segar ? Wallahu ‘Alam.
Al Imam Al Baihaqi berkata dalam Sunannya : Bab (atsar-atsar yang datang berkenaan dengan wanita yang sudah berhenti dari haidl dan hamil, Abu Ali Ar Raudzbari telah memberi kami kabar, Abu Bakar Ibnu Dasah telah memberitahu, Abu Dawud telah memberi tahu kami, Ahmad Ibnu Muhammad Al Marwazi telah memberitahu kami, Ali Ibnu Al Husain Ibnu Waqid telah memberitahu kami dari ayahnya dari Yazid An Nahwiyy dari Ikrimah dari Ibnu Abbas , berkata : Dan katakanlah kepada kaum mu’minat,” Hendaklah mereka menahan pandangannya…..,” kemudian dinasakh/dihapus dan dikecualikan darinya,” Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haidl dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,”
Al Imam Abu Al Faraj Ibnu Al Jauziy rahimahullah berkata : Firman-Nya ,” menanggalkan tsiyab (pakaian) mereka,” yaitu dihadapan laki-laki, dan yang dimaksud dengan tsiyab adalah jilbab, rida’, dan qina’ yang berada sebagai rangkap kudungnya, ini adalah yang dimaksud dengan tsiyab (pakaian) bukan seluruh pakaiannya. ( غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ ) yaitu tanpa ada maksud mereka memperlihatkan perhiasannya dengan menanggalkan jilbab tersebut, sedangkan yang dimaksud dengan tabarruj itu adalah wanita menampakan kecantikannya, (وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ ) yaitu keadaan mereka tidak menanggalkan pakainnya itu adalah,” lebih baik bagi mereka,” . Ibnu Qutaibah berkata : Orang Arab berkata : Imraatun wadli’un artinya bila wanita sudah tua maka dia menanggalkan khimarnya, dan (ungkapan) ini tidak dipakai kecuali bagi wanita tua. Al Qadli Abu Ya’la berkata : Dalam ayat ini ada dilalah bahwa dibolehkan bagi wanita tua membuka wajah dan kedua tangannya di hadapan laki-laki, sedangkan rambutnya maka haram memandangnya sebagaimana rambut wanita muda.
Ar Raziy berkata di dalam tafsirnya : Tidak ada keraguan bahwa Allah  tidak mengizinkan mereka menanggalkan semua pakaiannya, karena dengannya semua aurat akan terbuka, oleh sebab itu para ahli tafsir mengatakan : Yang dimaksud dengan pakaian di ini adalah jilbab, burud, dan qina’ yang merupakan rangkap kerudung, dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas  bahwa beliau membacanya,” أَنْ يَضَعْنَ جَلاَبِيْبِهِنَّ,”dan dari As Suddiy dari guru-gurunya : أَنْ يَضَعْنَ خُمُرَهُنَّ عَنْ رُؤُوْسِهِنَّ,” dan dari yang lain, dia membaca : أَنْ يَضَعْنَ مِنْ ثِيَابِهِن )Sebab Allah  mengkhususkan mereka dengan hal itu karena fitnah dengan sebabnya sudah hilang terangkat dari diri mereka, dan mereka sudah mencapai keadaan seperti ini, seandainya berat dugaan mereka bahwa keadaannya sebaliknya maka tidak halal mereka menanggalkan jilbabnya, oleh sebab itu Dia berfirman,” dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka,” dan hal ini dijadikan lebih baik bila lebih jauh dari fitnah, dan ini berarti bahwa bila ada dugaan kuat bahwa fitnah masih bisa terjadi, maka mereka wajib untuk tidak menanggalkannya sebagaimana halnya wanita muda.
Al Imam Abu Abdillah Al Qurthubi rahimahullah berkata : Firman-Nya  : غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ maknanya mereka tidak menampakan dan tidak sengaja memperlihatkan perhiasan untuk supaya dilihat, karena itu merupakan sesuatu yang paling jelek dan paling jauh dari kebenaran. Tabarruj adalah buka-bukaan dan sengaja menampakan diri untuk dilihat mata orang lain, seperti kalimat buruj musyayyadah dan burujus sama wal aswar yaitu tidak ada yang menghalangi untuk melihatnya, dan dikatakan kepada Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu 'anha : wahai Ummul Mu’minin apa pendapat engkau tentang pencelup, gelang, kedua anting, gelang kaki, cincin emas, dan pakaian tipis ? Maka beliau berkata : Wahai sekalian wanita, cerita kalian sama saja semuanya, Allah telah menghalalkan perhiasan bagi kalian, tanpa menampakannya kepada orang yang tidak halal bagi kalian menampakannya kepada mereka .
Dan dari Ashim Al Ahwal dia berkata : “Kami pernah masuk menemui Hafshah bintu Sirin dan dia telah menjadikan jilbabnya seperti ini, dan dia menutupi mukanya dengannya maka kami berkata kepada beliau semoga Allah merahmati engkau, Allah  berfirman : “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haidl dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakan perhiasan” : itu adalah jilbab, Ashim berkata : Maka beliau berkata kepada kami : “Apakah ada sesuatu setelah itu ? Maka kami berkata “dan mereka berlaku sopan (tidak menanggalkan jilbabbnya) adalah lebih baik mereka) maka beliau berkata : “Ini adalah penetapan hijab
Syaikh Ismail Haqa rahimahullah berkata : (Maka tidak ada dosa atas mereka untuk menanggalkan) dihadapan laki-laki (pakaiannya ) yaitu pakaian luar seperti jilbab dan izar yang biasa dipakai perangkap pakaian dan qina’ yang merupakan rangkap kerudung
Dan beliau rahimahullah berkata juga : “Ketahuilah sesungguhnya wanita tua bila tidak menarik hasrat lagi maka boleh dipandang karena sudah aman dari syahwat, dan dalam hal ini ada isyarat yang menunjukan bahwa segala sesuatu bila sudah keluar dari sumber fitnah dan sumber kehawatiran-kehawatirannya sudah reda maka urusan jadi mudah, kesulitan menjadi hilang dan dibolehkankanlah kebolehan atau rukhshah, namun ketaqwaan adalah berada di atas urusan fatwa, sebagaiman disiyaratkan oleh Allah  “dan mereka berlaku sopan (tidak menanggalakan jilbabbnya) adalah lebih baik baik mereka” dan dalam hadits tidak akan sampai seorang hamba pada derajat orang-orang yang bertaqwa sehingga dia meningglkan sesuatu yang tidak berdosa karena hawatir jatuh kepada yang mengandung dosa. Ibnu Sirin berkata : “Saya tidak pernah menggauli perempuan baik dalam keadaan sadar dan dalam keadaan tidur kecuali Ummu Abdillah, dan sesungguhnya saya melihat seorang wanita di dalam tidur kemudian saya tahu bahwa dia tidak halal bagi saya maka saya memalingkan pandangan, ada sebagian orang yang mengatakan seandainya akal saya dalam keadaan terjaga seperti akal Ibnu Sirin dalam keadaan tidur.
‘Allamatul Qashim Abdurrahman Ibnu Nashir As Sa’di rahimahullah berkata : (فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ )maksudnya (tidak ada) kesulitan dan dosa (أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ ) (menanggalkan pakaian mereka) yaitu pakaian luarnya seperti khimar dan lainnya yang dikatakan oleh Allah tentang perempuan,”Dan hendaklah mereka menutupkan kudung mereka ke dadanya,” maka wanita seperti mereka ini boleh membuka wajahnya karena aman dari yang dilarang darinya dan padanya. Dan dikarenakan meniadakan dosa atas mereka dalam hal menanggalkan pakaiannya, mungkin saja sebagian orang menduga dari pembolehan ini bolehnya memakai segala sesuatu, maka dugaan seperti ini ditolak dengan firman-Nya,” dengan tidak (bermaksud) menampakan perhiasan,” Yaitu tanpa ada maksud menampakan perhiasan kepada orang lain berupa berhias dengan pakaian luarnya sambil menutup wajahnya dan menghentakan kakinya supaya perhiasan yang dia sembunyikan diketahui orang, sebab berhias saja yang dilakukan oleh seorang wanita meskipun dia itu menutupi dirinya dan meskipun dilakukan oleh wanita tua yang tidak menarik lagi, tetap menimbulkan fitnah dan membuat orang yang melihatnya berdosa.
Al ‘Allamah Al Qur’ani Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata : Dan pendapat yang lebih jelas dalam tafsir firman-Nya,” menanggalkan pakaian,” adalah menanggalkan pakaian yang biasa dipakai rangkap di atas khimar dan baju kurung seperti jilbab yang menutupi khimar dan baju kurung, maka firman-Nya  dalam ayat yang mulia ini,” dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka,” merupakan dalil yang jelas bahwa wanita yang masih memiliki kecantikan dan masih mempunyai hasrat menikah (syahwat seksual,pent) tidak diperbolehkan meletakan sedikitpun dari pakaiannya dan tidak boleh leha-leha dalam menutupi diri di hadapan laki-laki yang bukan mahram.
Al ‘Allamah Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz rahimahullah berkata :Allah  memberitahukan bahwa wanita tua yang tidak ada keinginan lagi untuk menikah, tidak ada dosa atas mereka untuk menanggalkan pakaiannya dari wajah dan kedua tangannya bila mereka tidak (bermaksud) menampakan perhiasan, maka bisa diketahui dengannya bahwa yang menampakan perhiasannya tidak diperbolehkan menanggalkan pakaiannya dari wajah dan kedua tangannya dan perhiasannya yang lain, dan bahwa dia mendapat dosa dalam hal ini meskipun sudah tua, karena setiap barang bekas pasti ada pemulungnya, dan karena tabarruj itu mendatangkan fitnah terhadap wanita yang bertabarruj itu meskipun sudah tua, maka apa gerangannya dengan wanita muda dan cantik bila dia bertabarruj ? Tidak ragu lagi dosanya lebih besar, dan sangsinya lebih dasyat, serta fitnahnya lebih besar. Allah  mensyaratkan pada diri si wanita tua itu bahwa dia sudah tidak ada hasrat nikah lagi, dan ini tak lain-Wallahu ‘Alam- melainkan karena harapan menikahnya itu mendorongnya untuk bersolek dan tabarruj dengan harapan ada laki-laki yang melirik, maka dia dilarang dari menanggalkan pakaiannya yang menutupi kecantikannya demi menjaga dirinya dan orang lain dari fitnah, kemudian Dia  menutup ayat dengan mendorong wanita tua agar bersikap iffah, dan Dia menjelaskan bahwa itu lebih baik bagi dirinya meskipun tidak bertabarruj, sehingga jelaslah dengan itu keutamaan hijab dan menutupi diri dengan pakaian meskipun dari wanita tua, dan bahwa itu lebih baik bagi mereka dari pada meletakan pakaiannya, maka wajiblah keadaan berhijab dan berlaku iffah dari menampakan perhiasan itu lebih baik dan lebih sangat utama bagi wanita-wanita muda, serta lebih jauh dari sebab-sebab fitnah.
At Tuwaijiriy hafidzahullah berkata : Dan mafhum ayat yang mulia ini adalah bahwa wanita yang masih menginginkan menikah yaitu yang masih memiliki sisa-sisa kecantikan dan syahwat terhadap laki-laki, dia itu tidak termasuk dalam jajaran qawa’id (wanita-wanita yang sudah putus asa dari ingin menikah), dan tidak boleh dia itu menanggalkan sedikitpun dari pakaiannya di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena laki-laki terfitnah dengannya dan dia (wanita) terfitnah dengan mereka (laki-laki) tidak bisa dijamin.


Hadits-Hadits Nabawiy Yang Berhubungan
Dengan Hukum Hijab


Saya telah mengumpulkannya dalam tiga bagian :
Bagian pertama : Hadits-hadits yang darinya para ulama beristinbath akan wajibnya hijab atas seluruh muslimat.
Bagian kedua : Hadits-hadits yang menjelaskan hijab para ummahatul mi’minin, dan diantaranya ada hadits-hadits yang diambil istinbath oleh sebagian ulama akan umum wajibnya hijab atas seluruh wanita muslimah.
Bagian ketiga :Hadits-hadits yang menjelaskan disyari’atkannya hijab yang sempurna atas seluruh wanita umat Muhammad, atau memberikan petunjuk akan tersebarnya ahal itu di kalangan wanita generasi pertama, atau memberikan penjelasan akan dilarangnya laki-laki dari memandang wanita lain, dan kami menjelaskan di dalamnya istinbath sebagian ulama dari sebagian hadits-hadits tersebut akan wajibnya hijab yang sempurna atas seluruh wanita muslimah.

Bagian Pertama

1. Dari Ibnu Mas’ud  dari Nabi  bersabda :
اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ
Artinya: Wanita itu adalah aurat.
Syaikh Hamud At Tuwaijiri hafidzahullah berkata : Dan hadits ini menyatakan bahwa seluruh bagian anggota badan wanita itu adalah aurat di hadapan laki-laki yang bukan mahram, sama saja dalam hal ini apakah wajahnya atau anggota badan lainnya, Abu Thalib telah menukil dari Imam Ahmad rahimahullah, bahwa beliau berkata : (Kuku wanita adalah aurat, maka bila dia keluar dari rumahnya janganlah menampakan sedikitpun dari badannya, tidak juga sepatunya, karena sepatu itu memperlihatkan bentuk telapak kakinya, dan saya lebih menyukai bila dia membuatkan kancing pada lengan bajunya pas di telapak tangannya agar tidak ada sesuatupun dari badannya yang nampak) …dan telah lalu apa yang dinukil Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dari imam Ahmad rahimahullah, bahwa beliau berkata : (Segala sesuatu dari badan wanita adalah aurat termasuk kukunya) Syaikhul Islam berkata : Dan ini juga adalah perkataan imam Malik..
Dari Abu Al Ahwash dari Abdullah  dari Nabi  berkata :

اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ وَأَقْرَبُ مَا تَكُوْنُ بِرَوْحَةِ رَبِّهَا وَهِيَ فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا
Artinya: Wanita itu adalah aurat, maka bila dia keluar (dari rumah) setanlah yang mengendalikannya, sedangkan keadaan dia yang paling dekat dengan rahmat Rabnya adalah ketika dia berada di dalam rumahnya,”

Asy Syinqithiy rahimahullah berkata : Hadits ini telah disebutkan oleh penyusun kitab Az Zawaid, dan berkata : Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Kabir sedangkan para perawinya adalah tsiqat, dan hadits ini menjadi tambah kuat dengan dalil-dali yang telah kami sebutkan, dan dalil yang di dalamnya ada penjelasan bahwa wanita itu adalah aurat : Menunjukan atas hijab, karena konsekuensi wajibnya menutupi semua yang termasuk penamaan aurat, dan ini dikuatkan oleh Al Haitsami juga dalam Majma Az Zawa’id dari Ibnu Masud  berkata : Hanyasannya semua wanita itu adalah aurat, dan sesungguhnya seorang wanita keluar dari rumahnya dan tidak ada apa-apa padanya, maka setan mengendalikan/mengawasinyanya seraya berkata : Kamu tidak lewat kedepan seseorang kecuali engkau membuat dia terkagum-kagum, dan sesungguhnya seorang perempuan memakai baju, kemudian dikatakan : Mau kemana engkau ? Dia menjawab : Saya mau menengok orang yang sakit, atau ikut menyaksikan jenazah, atau shalat di mesjid, dan tidaklah seorang wanita beribadah kepada Rabnya sama seperti dia beribadah kepada-Nya di dalam rumahnya,” kemudian berkata : Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Kabir sedangkan para perawinya adalah tsiqat…..dan atsar ini dihukumi marfu’ karena tidak ada tempat untuk pendapat di dalamnya.

2. Dari Ibnu Umar  bahwa Nabi  bersabda :
لاَ تَنْتَقِبِ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقَفَّازَيْنِ
Artinya: Janganlah wanita yang sedang ihram mengenakan niqab (cadar) dan jangan pula dia mengenakan dua sarung tangan.

Syaikh Abu Hisyam Abdullah Al Anshari berkata : hadits ini merupakan dalil terbaik yang menunjukan terjadinya perubahan dan perkembangan dalam hal pakaian wanita setelah turunnya (ayat) hijab dan perintah mengulurkan jilbab, dan bahwasannya niqab telah menjadi bagian dari pakaian wanita, sehingga mereka tidak keluar (dari rumah) kecuali dengan mengenakannya. Dan larangan wanita yang sedang berihram mengenakan niqab bukan artinya dia dilarang menutupi wajahnya,….namun maksudnya adalah dia jangan menjadikan niqab sebagai bagian pakaian (ihramnya), namun hendaklah dia menutupi wajahnya dengan bagian pakaian lainnya… .
Al Qadhi Abu Bakar Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata : Masalah keempat belas : Sabdanya dalam hadits Ibnu Umar,” Janganlah wanita yang sedang ihram mengenakan niqab (cadar),” itu karena menutup wajahnya dengan burqa’ (purdah, hampir sama dengan niqab, pent) adalah fardlu (wajib) kecuali di saat haji, maka (di saat haji/umrah, pent) dia hendaklah mengulurkan bagian dari kerudungnya kepada wajahnya dengan tidak menempelkannya, dan (hendaklah) dia berpaling dari laki-laki, dan laki-laki juga (hendaklah) berpaling darinya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : Dan (hadits ini) merupakan salah satu yang menunjukan bahwa niqab dan sarung tangan adalah telah dikenal di kalangan wanita yang tidak sedang ihram, dan ini menuntut (mereka) untuk menutup wajah dan tangannya.
Dan Syaikhul Islam berkata lagi : Dan status wajah wanita di saat ihram terdapat dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad dan yang lainnya, ada yang mengatakan : Sesungguhnya dia (wajah wanita di saat ihram) adalah seperti kepala laki-laki tidak boleh ditutup, dan ada yang mengatakan : Dia itu seperti badan laki-laki, maka tidak boleh ditutup dengan niqab dan burqa’ dan yang dibuat serupa itu yang seukurannya, dan inilah pendapat yang benar, karena Nabi  tidak melarang kecuali hanya dari (mengenakan) niqab dan kedua sarung tangan saja, dan mereka para wanita (sahabiyyat) mengulurkan kain untuk menutup wajahnya dari pandangan laki-laki tanpa meletakan sesuatu yang bisa menjauhkan kain itu dari wajahnya , maka diketahuilah bahwa badan wanita itu setatusnya seperti badan laki-laki, itu disebabkan karena wanita itu adalah aurat, maka dia bisa menutup wajah dan kedua tangannya, namun bukan dengan kain yang dibuat seukuran dengan anggota badan itu, sebagaimana laki-laki tidak boleh memakai celana dan dia boleh memakai izar (sarung).
Al ‘Allamah Al Muhaqqiq Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata dalam Tahdzib As Sunan : [ Dan adapun larangan Nabi  dalam hadits Ibnu Umar  wanita mengenakan niqab dan dua kaus tangan, itu merupakan dalil yang menunjukan bahwa wajah wanita bersetatus sama dengan badan laki-laki, bukan seperti kepalanya, maka dia diharamkan mengenakan ketika ihram kain yang dibuat dan dijahit seukuran wajah seperti niqab, burqa’, dan dia tidak haram menutupnya dengan mukena dan jilbab dan lain-lain, dan inilah pendapat yang paling benar dari dua pendapat yang ada, karena sesungguhnya Nabi  menyamakan antara wajahnya dan kedua tangannya, dan beliau melarangnya mengenakan kaos tangan dan niqab, dan sudah pada maklum bahwa dia tidak dilarang menutupi kedua tangannya, dan bahwa keduanya sama seperti badan laki-laki yang sedang ihram sehingga diharamkan mengenakan kain yang dijahit seukuran dengan tangannya, yaitu kaos tangan, maka begitu juga dia itu hanya haram ditutup dengan niqab dan yang sejenis dengannya, dan tidak ada satu huruppun dari Nabi  yang menyatakan haramnya wanita menutupi wajahnya ketika sedang ihram, kecuali hanya larangan mengenakan niqab, dan larangan ini sama seperti larangan mengenakan dua kaus tangan, status niqab atas wajah sama seperti status kedua kaus tangan atas tangan, dan ini sangat jelas bihamdillah] .. Dan beliau berkata juga dalam I’lam Al Muwaqi’in masih dalam masalah hadits itu : ( Dan isteri-isteri beliau  merupakan ummat yang paling tahu akan masalah ini, dan sungguh mereka telah mengulurkan (kain) kepada wajah-wajahnya bila ada rombongan laki-laki yang berpapasan dengan mereka, dan bila mereka (laki-laki) itu sudah pada lewat maka mereka (isteri-isteri belia) membuka wajahnya – dan Waki’ telah meriwayatkan dari Syu’bah dari Yazid Ar Risyk dari Muadzah Al ‘Adawiyyah, beliau berkata : Saya bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha ,” Apa yang dipakai oleh wanita yang sedang ihram ? maka beliau berkata : Dia jangan memakai niqab, dan jangan memakai masker, dan dia (bisa) mengulurkan (kain) kepada wajahnya ) kemudian Ibnu Al Qayyim rahimahullah menuturkan pendapat orang yang melarang wanita yang sedang ihram dari menutupi wajahnya, dan beliau membantah mereka sampai beliau mengatakan : (Maka bagaimana mungkin wanita diharamkan menutupi wajah sedangkan Allah telah memerintahkannya agar dia mengulurkan bagian dari jilbabnya kepada seluruh tubuhnya, supaya dia tidak diketahui dan orang tidak tertarik dengan kecantikannya ) Dan Al Imam Ibnu Al Qayyim menuturkan juga dalam Badai’ul fawaid sebuah pertanyaan tentang masalah wanita membuka wajahnya di saat ihram dan jawaban dari Ibnu Uqail tentang hal itu, kemudian beliau mengomentarinya dengan bantahan, beliau berkata : Sebab adanya pertanyaan dan jawaban seperti ini adalah samarnya sebagian tuntunan Sunnah tentang hak wanita dalam ihram, maka sesungguhnya Nabi  tidak pernah mensyari’atkan bagi wanita untuk membuka wajahnya baik di saat ihram atau lainnya, namun dalil nash yang ada adalah larangan khusus mengenakan niqab saja, sebagaiman ada larangan mengenakan dua kaus tangan, dan larangan (bagi laki-laki, pent) mengenakan kemeja dan celana. Dan sudah maklum bahwa larangan beliau dari mengenakan pakaian-pakaian ini, bukan maksudnya bahwa dia (wanita) harus terbuka dan tidak menutupi badannya sama sekali, bahkan para ulama sudah ijma bahwa wanita yang sedang ihram boleh menutupi badannya dengan ghamis dan baju kurungnya, dan bahwa laki-laki boleh menutupi badannya dengan selendang dan menutupi bagian bawahnya dengan kain yang dijadikan sarung, padahal sumber larangan dari mengenakan niqab, dua kaus tangan, kemeja, dan celana itu adalah satu, dan bagaimana ditambahkan pada kandungan nash, terus dipahami darinya bahwa bahwa wanita disyari’atkan membuka wajahnya di hadapan halayak ramai ? nash, atau mafhum, atau dalil umum, atau kiyas, atau mashlahat mana yang menyatakan seperti ini ? bahkan yang benar sesungguhnya wajah wanita (ketika ihram) setatusnya sama seperti badan laki-laki, diharamkan menutupinya dengan pakaian yang dibuat khusus sesuai ukurannya seperti niqab dan burqa’, bahkan itu (maksudnya wajahnya) adalah sama seperti tangannya yang haram ditutupi dengan pakaian yang dibuat khusus sesuai ukurannya seperti kaus tangan. Adapun menutupinya dengan lengan baju dan menutupi wajahnya dengan jubah, kudung dan pakaian luarnya, maka itu sama sekali tidak dilarang, dan orang yang mengatakan : Sesungguhnya wajahnya setatusnya sama dengan kepala laki-laki (yang sedang ihram),” maka sama sekali dia tidak memiliki dalam hal ini dalil nash atau dalil umum (sekalipun), dan tidak benar mengkiyaskannya pada setatus kepala laki-laki muhrim, karena Allah telah membedakan dalam banyak hal antara keduanya.

Dan perkataan yang mengatakan dari kalangan salaf : Sesungguhnya ihram wanita itu ada pada wajahnya, yang dimaksud adalah makna ini, yaitu dia (wanita) tidak wajib menjauhi dari mengenakan pakaian sebagaimana wajibnya atas laki-laki, akan tetapi dia (wanita) wajib menjauhi dari mengenakan niqab, jadi setatus wajahnya adalah sama seperti badan laki-laki muhrim, dan seandainya orang itu bermaksud dengan perkataannya itu bahwa wanita wajib membuka wajahnya (di saat ihram), maka perkataannya itu bukanlah hujjah, selama tidak ada dalil tsabit dari syari’at yang menunjukan bahwa yang dimaksud adalah wajibnya membuka wajah, dan kedua hal ini tidak pernah terjadi (karena tidak ada). Dan sungguh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,”Adalah kami dahulu bila rombongan laki-laki melewati kami, maka masing-masing kami mengulurkan jilbabnya pada wajahnya,” dan tidak pernah salah seorang diantara mereka meletakan lidi di antara jilbab dan wajahnya sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian fuqaha, dan hal ini tidak pernah dikenal sama sekali dari seorangpun dari kalangan wanita Shahabat, tidak pula dari Ummahatul Mukminin, baik amalan ataupun fatwa. Dan mustahil hal ini menjadi bagian dari syiar ihram, sedangkan tidak nampak dan dikenal di antara mereka yang padahal mereka itu mengetahui masalah yang khusus dan umum, dan barang siapa yang mementingkan sikap obyektif dan berjalan di atas jalan ilmu dan keadilan, maka dia bisa membedakan pendapat yang rajih (kuat) dari pendapat yang marjuh (tidak kuat), dan pendapat yang sakit dari pendapat yang benar. Wallahu Alam.

Al Hafidh Ibnu Hajar telah menukil dalam Fathul Bari dari Ibnu Al Mundzir, bahwa beliau berkata : Semua berijma bahwa wanita yang sedang ihram boleh mengenakan pakaian berjahit dan memakai sepatu, dan dia juga menutup kepala dan rambutnya kecuali wajahnya, dia mengulurkan kain pada wajahnya untuk menghalanginya dari pandangan laki-laki lain, namun dia tidak boleh menutupinya, kecuali apa yang diriwayatkan dari Fathimah Bintu Al Mundzir, berkata : Kami menutupi wajah-wajah kami sedangkan kami sedang ihram bersama Asma Bintu Abi Bakar radliyallahu ‘anhuma, maksudnya neneknya,” berkata (Ibnu Al Mundzir) : Mungkin yang dimaksud dengan menutupi di sini adalah mengulurkan kain, sebagaimana dalam hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, berkata : Adalah kami bersama Rasulullah , bila rombongan laki-laki lewat kami mengulurkan (kain) pada wajah-wajah kami, sedangkan kami dalam keadaan ihram, dan bila mereka sudah lewat, maka kami mengangkatnya lagi,”
Al ‘Allamah Ash Shan’aniy rahimahullah berkata dalam Hasyiyahnya atas kitab Syarhul ‘Umdah setelah menuturkan hadits,”Wanita (muhrimah) jangan mengenakan niqab dan (jangan) mengenakan dua kaus tangan,” berkata : (Perkataannya : dengan wajah dan kedua telapak tangannya, Saya berkata : Tidak boleh dipakai kain yang dibuat dan dijahit (khusus) untuk wajah, seperti niqab, dan yang dibuat untuk tangan, seperti dua kaus tangan, bukan maksudnya dia tidak boleh menutup wajah dan kedua telapak tangannya seperti yang diduga (sebagian orang, pent), karena wajah dan kedua telapak tangan itu wajib ditutupi, namun bukan dengan niqab dan kaus tangan.)

3. Dari Ibnu Umar  berkata : Rasulullah  berkata :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: Barang siapa menggusur pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan memperhatikannya di hari kiamat.
Maka Ummu Salamah radhiyallahu 'anha berkata : Apa yang harus diperbuat oleh wanita dengan dzuyul (pakaian bawah) mereka ? Maka Rasulullah  berkata : Mereka ulurkan saja sejengkal (dari mata kaki, pent),”Ummu Salamah berkata lagi : Kalau segitu tentu telapak-telapak kakinya terbuka,” Rasulullah berkata : Ulurkan saja satu lengan, tidak boleh mereka menambahnya,”

At Tirmidzi berkata : dan dalam hadits ini ada rukhshah bagi wanita untuk menggusur pakaiannya, karena itu adalah lebih tertutup baginya.
Al Baihaqi berkata : Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukan wajibnya menutupi kedua telapak kaki.
Dan dalam riwayat Imam Ahmad dari Ibnu Umar  bahwasannya Rasulullah  memberikan keringanan bagi wanita untuk mengulurkan satu jengkal, maka mereka berkata : Wahai Rasulullah, kalau segitu telapak kaki kami terbuka,” Maka Rasulullah  berkata,” Satu lengan, dan jangan mereka melebihinya,”
Dalam riwayat Imam Ahmad lainnya dari Ibnu Umar  bahwa isteri-isteri Nabi  bertanya tentang dzail (ujung pakaian yang paling bawah), maka beliau berkata,” Jadikanlah sejengkal,” Mereka berkata : Sesungguhnya sejengkal sama sekali tidak menutupi aurat,” Maka Rasulullah  berkata,” Jadikanlah satu lengan,” maka wanita di antara mereka bila hendak membuat baju kurung, dia mengulurkan satu lengan untuk dijadikan sebagai dzail.

At Tuwaijiri berkata : dan dalam hadits ini dan dua hadits sesudahnya terdapat dalil yang menunjukan bahwa wanita itu seluruh tubuhnya adalah aurat di hadapan laki-laki yang bukan mahram, oleh sebab itu tatkala Rasulullah  memberikan rukhshah bagi wanita dalam mengulurkan ujung bajunya satu jengkal, mereka (para wanita) berkata kepada beliau : Sesungguhnya sejengkal sama sekali tidak menutupi aurat,” dan aurat di sini adalah telapak kaki sebagaimana yang sangat nampak dalam riwayat-riwayat yang ada dari Ibnu Umar dan Ummu salamah . Dan Nabi  telah mengakui pernyataan para wanita bahwa qadamain (dua telapak kaki)itu termasuk aurat, nah bila halnya seperti ini dalam masalah telapak kaki, maka bagaimana gerangan dengan anggota badan lain yang berada di atasnya, dan terutama wajahnya yang merupakan pusat kecantikan wanita ? dan yang merupakan sesuatu yang paling besar dalam menarik perhatian laki-laki, dan mereka berlomba-lomba mendapatkannya bila wajah itu cantik, dan sudah menjadi sesuatu yang diketahui umum bahwa cinta/asmara yang membuat orang tergila-gila bahkan sebagiannya mati terbunuh, itu tidak lain kecuali karena sebab memandang wajah-wajah yang cantik jelita, bukan sebab melihat telapak kaki dan jari-jemari dan tidak pula karena sebab perhiasan dan pakaian. Dan apabila telapak kaki wanita itu merupakan aurat yang wajib ditutupi, maka wajahnya lebih berhak untuk ditutupi. Wallahu Alam.

Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin hafidhahullah berkata : Hadits ini merupakan dalil wajibnya menutup telapak kaki wanita, dan itu merupakan sesuatu yang sudah maklum di kalangan wanita shahabat , sedangkan telapak kaki lebih kecil fitnahnya dari pada wajah dan kedua telapak tangan tanpa diragukan lagi, maka memperingatkan (hukum) dengan sesuatu yang lebih rendah merupakan peringatan bagi sesuatu yang lebih tinggi dan lebih utama darinya akan hukum, sedangkan hikmah syari’at menolak pengwajiban menutupi sesuatu yang lebih rendah dan pembolehan membuka sesuatu yang lebih dasyat fitnahnya, karena sesungguhnya ini merupakan sesuatu yang saling bertentangan lagi mustahil atas hikmah dan syari’at Allah.

4. Dari Uqbah Ibnu ‘Amir Al Juhanniy  dari berkata :
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ
Artinya: janganlah sekali-kali kalian masuk menemui perempuan
Maka seorang laki-laki dari Anshar berkata : Wahai Rasulallah bagaimana pendapatmu tentang al hamwu (saudara/kerabat suami) ? maka Rasulullah berkata :
اَلْحَمْوُ الْمَوْتُ
Artinya: Al hamwu adalah kematian.

Asy Syinqithi rahimahullah berkata : Hadits shahih ini secara terang nan jelas di dalamnya Nabi  mengungkapkan larangan yang sangat keras dari masuk menemui wanita, maka ini merupakan dalil yang sangat gamblang atas terlarangnya masuk menemui wanita dan meminta sesuatu kepadanya kecuali dari belakang tabir, karena orang yang meminta sesuatu darinya dengan bukan dari balik tabir berarti telah masuk menemuinya, sedangkan Nabi  telah menghati-hatikan/ memperingatkan dari masuk menemuinya, dan tatkala beliau ditanya oleh seorang laki-laki Anshar tentang al hamwu yaitu kerabat suami yang bukan mahram bagi isterinya, seperti saudaranya, keponakannya, pamannya, sepupunya, dan yang lainnya, maka beliau menjawab kepadanya : Al hamwu adalah kematian,” Beliau menamakan masuknya kerabat seorang laki-laki menemui isterinya yang padahal bukan mahramnya dengan nama kematian, dan tak ragu lagi ungkapan ini merupakan ungkapan puncak dalam rangka menghati-hatikan (tahdzir), karena kematian merupakan kejadian yang paling mengerikan yang menimpa manusia di dunia ini, seperti yang dikatakan oleh seorang penyair :
Dan kematian itu bencana terbesar
Yang pernah menimpa jibillah
Jibillah adalah makhluk, seperti dalam firman-Nya  : Dan bertaqwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan (aljibillatal awwalin) umat-umat yang dahulu,”
Maka peringatan Nabi  dengan peringatan yang sangat keras dari masuk menemui wanita, serta pengungkapannya akan masuknya kerabat suami menemui isterinya dengan nama kematian, merupakan dalil nabawiyy yang jelas yang menunjukan bahwa firman-Nya ,”Maka mintalah kepada mereka dari balik tabir,” adalah umum mencakup seluruh wanita, seperti yang anda lihat, karena seandainya hukum tersebut khusus bagi isteri-isteri Nabi  tentu Nabi  tidak akan memperingatkan dari masuk menemui wanita dengan peringatan yang keras lagi umum.
Dan dhahir hadits adalah peringatan dari masuk menemui wanita meskipun tidak terjadi khalwat di antara mereka berdua, dan memang seperti itu. Masuk menemui wanita serta berkhalwat dengannya, keduanya masing-masing sangat diharamkan dengan sendirinya, sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa Imam Muslim rahimahullah menyebutkan hadits ini dalam bab : Haramnya khalwat dengan wanita ajnabiyyah (bukan mahram) dan masuk menemuinya, maka ini menunjukan bahwa keduanya haram)..

Dan Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari ketika menjelaskan hadits tersebut : إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ dengan I’rab nashab sebagai tahdzir, dan itu merupakan peringatan bagi orang yang diajak bicara dari sesuatu yang dilarang agar dia menjauhinya, seperti dikatakan :إياكم والأسد (hati-hati terhadap singa), sedang إِيَّاكُمْ merupakan maf’ul bagi fi’il yang tersembunyi, taqdirnya :اتقوا (hati-hatilah).
Dan taqdir perkataan itu adalah : Jagalah diri kalian dari masuk menemui wanita, dan wanita menemui kalian. Dan terdapat dalam riwayat Ibnu Wahb dengan lafadh : لا تدخلوا على النساء (janganlah kalian masuk menemui wanita), dan secara langsung dan lebih terkandung adalah larangan melakukan khalwat dengannya). ..

Syaikh Abdul Qadir As Sindiy berkata : Hadits ini di dalamnya ada dilalah yang sangat jelas yang menunjukan bahwa tidak boleh laki-laki ajnabiy masuk menemui wanita ajnabiyyah (bukan mahram), dan begitu juga kerabat suami seperti adik/kakaknya, pamannya dan yang lainnya. Dan di dalam riwayat shahih imam Muslim dari Abu Ath Thahir dari Ibnu Wahb, berkata : Saya mendengar Al Laits berkata : <> dan dalam hadits itu ada kecaman yang sangat keras dan peringatan yang penting dari masuk menemui wanita- Al Imam Ibnu Al Atsir berkata dalam An Nihayah : Janganlah laki-laki berkhalwat dengan wanita ajnabiyyah, dan bila dikatakan dia itu hamwuha, ketahuilah hamwuha itu adalah kematian, alhamwu adalah kerabat-kerabat suami, sedang maknanya adalah : Sesungguhnya bila pendapatnya seperti itu tentang saudara suami dan yang serupa dengannya, sedangkan dia itu adalah kerabatnya, maka apa gerangan dengan orang asing ?Yaitu : Matilah, dan jangan melakukan itu, ungkapan ini sering dikatakan oleh orang arab, seperti Singa adalah kematian, penguasa adalah api, maksudnya bahwa berjumpa dengannya adalah seperti kematian dan api, artinya bahwa khalwatnya saudara sepupu dengannya (wanita) lebih bahaya dari khalwatnya dengan laki-laki lain, karena mungkin saja si kerabat itu menampakan hal-hal yang baik terhadap si isteri, dan mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang memberatkan suami, seperti meminta dicarikan sesuatu yang menyulitkan suami atau perlakuannya yang tidak baik atau yang lainnya..

Saya berkata : Bila wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat dan perhiasan, dan boleh membukanya di hadapan laki-laki lain, maka kenapa ada kecaman yang keras sekali dalam hadits-hadits shahih ini, dan kenapa terjadi pertentangan antara hadits-hadits itu, dan telah lalu saya katakan : bahwa hadits-hadits itu (maksudnya yang menunjukan kebolehan membuka wajah dan telapak tangan, pent) tidak shahih, maka tidak boleh dikatakan bahwa hadits-hadits itu bertentangan dengan hadits-hadits shahih ini yang di dalamnya terdapat kecaman keras dan pengharaman yang pasti (akan membuka wajah dan telapak tangan). Dan seandainya hadits-hadits dan atsar-atsar yang dijadikan dalih oleh sebagian orang untuk membuka wajah dan dua telapak tangan itu isnadnya shahih, tentu itu di anggap syadz tidak mahfudh menurut pandangan ahli hadits, maka bagaimana kenyataannya ternyata haditz-hadits itu adalah dlaif lagi mungkar, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah sama sekali, maka tidak pantas setelah penukilan ini ada perkataan yang menyatakan bahwa wajah dan dua telapak tangan bukan bagian aurat dan perhiasan (zinah) dengan bersandar pada perkataan Ibnu Abbas  yang telah dijelaskan kedudukannya dari sisi sanad.

Al Buthi berkata : Seandainya seluruh badan wanita itu bukan aurat di hadapan laki-laki yang bukan mahram, tentu Nabi  tidak akan memuthlakan begitu saja larangan dari masuk menemui wanita, karena larangan itu mencakup semua keadaan yang di lakoni oleh si wanita selama dia itu menampakan wajahnya sebagaimana yang biasa dia lakukan di dalam rumahnya, dan sungguh hukum itu sudah mencakup terhadap saudara suami seperti yang bisa kita lihat (dalam teks hadits), maka tidak boleh dia masuk menemui isteri saudaranya. Dan seandainya wajah itu bukan aurat tentu dikecualikan -untuk memudahkan bagi si kerabat suami- wanita itu menutupi seluruh badannya kecuali wajah dan dua telapak tangannya.

5. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata :
Sesungguhnya Aflah saudaranya Abu Al Qu’ais datang meminta izin untuk masuk menemuinya -sedang dia adalah pamannya dari susuan- setelah turun ayat hijab, maka beliau berkata : (Maka saya enggan untuk memberi izin dia masuk, tatkala Rasulullah  datang, saya menceritakan apa yang saya lakukan, maka beliau menyuruh saya agar mengizinkan dia masuk). dan dalam satu riwayat (dia (Aflah) berkata kepadanya : Apakah engkau berihtijab dari saya, sedangkan saya adalah pamanmu ? ) dan dalam riwayat kalinya : (Maka saya berkata : Saya tidak mengizinkan dia sampai saya minta izin kepada Rasulullah , karena saudara dia Abu Al Qu’ais bukanlah yang menyusui saya, namun yang menyusui saya adalah isteri Abu Al Qu’ais) dan dalam satu riwayat : (Sedangkan Abu Al Qu’ais adalah suami si wanita yang menyusui Aisyah)
Urwah berkata : dan berkenaan dengan hal itu Aisyah pernah berkata : Haramkanlah dari susuan (radla’ah) seperti apa yang diharamkan karena sebab nasab (keturunan).

Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam faidah-faidah hadits ini : Dan dalam hadits ini (ada dalil yang menunjukan) wajibnya seorang wanita berihtijab (menutupi diri) dari laki-laki yang bukan mahram.
Bukti petunjuk di dalamnya sangat jelas sekali, yaitu bahwa Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan keumuman hukum (ayat) hijab kepada seluruh wanita.

6. Dari Az Zuhriy dari Nubhan maula (bekas budak) Ummu Salamah, dari Ummu salamah radhiyallahu 'anha, berkata : Rasulullah  berkata :

إِذَا كَانَ ِلإِحْدَاكُنَّ مُكَاتَبٌ وَكاَن َعِنْدَهُ مَا يُؤَدَّى فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ
Artinya: Bila salah seorang diantara kalian memiliki hamba mukatab , sedang dia (mukatab) itu memiliki bayaran (untuk menebus dirinya), maka hendaklah dia itu berhijab darinya.
Syaikh Muhammada Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata : Sisi pengambilan dalil dari hadits ini –yaitu terhadap wajibnya hijab- adalah bahwasannya ini menuntut bolehnya sayyidah (tuan wanita) membuka wajahnya di hadapan budaknya selama masih dalam kepemilikannya, dan bila si budak itu sudah lepas dari kepemilikannya, maka dia wajib berhijab (menutupi wajahnya) darinya, karena si budak itu telah menjadi laki-laki ajnabiy (orang lain). Maka demikian itu menunjukan wajibnya wanita berhijab dari laki-laki ajnabiy.

Ath Thahawi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Syihab bahwa Nubhan maula Ummu Salamah memberitahukan kepadanya : Bahwasannya tatkala dia berjalan bersama Ummu Salamah isteri Nabi  menuju Mekkah, sedang sisa pembayaran mukatabah yang harus dia tunaikan adalah 2000 Dirham, dia (Nubhan) berkata : Setiap kali saya masuk menemuinya dan melihatnya, maka beliau berkata sambil berjalan : Wahai Nubhan berapa lagi sisa tanggungan pembayaran cicilan mukatabahmu ? Saya berkata : Dua ribu Dirham lagi,” Beliau berkata : Itu sekarang ada engkau miliki ? Saya berkata : Ya,” beliau berkata : Sisa tanggungan pembayaran mukatabah itu serahkan saja kepada Muhammada Ibnu Abdillah Ibnu Umayyah, karena sesungguhnya saya sudah membantunya dengan uang itu dalam pernikahannya, dan semoga salam sejahtera dilimpahkan kepadamu,” kemudian beliau mengulurkan hijabnya dari (pandangan)ku, maka akupun menangis dan berkata : Demi Allah saya tidak akan memberikannya kepadanya selama-lamanya,” belia berkata : Wahai anakku, Demi Allah sesungguhnya engkau tidak akan melihatku selama-lamanya, karena Rasulullah  telah mewasiatkan kepada kami,” Bahwa bila hamba mukatab salah seorang di antara kalian memiliki (uang)pembayaran sesuai jumlah sisa tanggungan mukatabahnya, maka pasanglah tabir dari (pandangan)nya,” kemudian Ath Thahawi rahimahullah berkata : Dan diantara hukum yang bisa di ambil dari hadits ini adalah beberapa hukum yang disamakan setatusnya antara isteri-isteri Nabi  dengan wanita lainnya….

Dan dari Sulaiman Ibnu Yasar, beliau berkata : Saya meminta izin kepada Aisyah untuk masuk, maka beliau berkata : Siapa ini ? maka saya berkata : Sulaiman,” Beliau berkata : Berapa sisa pembayaran mukatabahmu ? dia berkata : Saya berkata : Sepuluh Uqiyyah,” Beliau berkata : Masuklah, karena engkau ini masih bersetatus hamba selama masih ada tanggungan satu Dirham.


Bagian Kedua
Hijab Ummahatul Mu’minin

Ijma telah memutuskan atas wajibnya hijab yang sempurna bagi Ummahatul Mu’minin, dan ini sebagai realisasi perintah Allah  dalam ayat hijab, dan hadits-hadits pun telah menjelaskannya, dan inilah diantaranya :
1. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha dalam hadits Ifki (Peristiwa fitnah zina terhadap Aisyah), beliau berkata :
Dikala saya duduk ditempat singgah saya, tiba-tiba mata saya tak kuat menahan kantuk, sehingga saya ketiduran, sedangkan Shafwan Ibnu Al Mu’aththal As Sulamiy Adz Dzakwaniy berada di belakang pasukan, maka dia kemalaman di jalan, sehingga keesokan paginya dia telah berada dekat tempat saya singgah, dia melihat warna hitam orang yang sedang tidur, kemudian dia menghampiri saya, dan dia langsung mengenaliku di saat dia melihat saya, dan memang dia telah pernah melihat saya sebelum turun ayat hijab, maka saya langsung terbangun dengan sebab ucapan istirja’nya tatkala dia mengenaliku, maka saya menutupi wajahku dari pandangannya dengan jilbab saya…

2. Dan dari Ikrimah berkata : Saya mendengar Ibnu Abbas  berkata, sedang telah sampai kepada beliau kabar bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha berhijab (menutupi diri) dari Husain Ibnu Ali …., maka Ibnu Abbas berkata : Sesungguhnya Husain memandang Aisyah itu adalah halal,” Dan dari Umar Ibnu Dinar dari Abu Ja’far, berkata : Adalah Hasan dan Husain tidak pernah memandang Ummahatul Mu’minin…maka Ibnu Abbas berkata : Sesungguhnya keduanya memandang mereka adalah halal.

3. Dan dari Yazid Ibnu Babnus berkata : Saya dan teman saya pergi menemui Aisyah radhiyallahu 'anha, kemudian kami minta izin masuk menemuinya, maka beliau melemparkan bantalan kepada kami dan beliau menarik hijab untuk menutupi (dirinya), kemudian teman saya bertanya : Apa pendapat engkau tentang ‘Irak…


4. Dan dari Abu Salamah Ibnu Abdirrahman, berkata : Saya berkata kepada Aisyah : Urwah mengungguli kami hanya karena dia bisa masuk menemui engkau setiap dia mau,” beliau berkata : Dan kamu bila mau, maka duduklah dari balik tabir, kemudian bertanyalah kepadaku tentang apa yang engkau suka, karena kami tidak mendapatkan seorangpun sesudah Nabi  yang lebih utama bagi kami dari bapakmu….
Dan syahid (tempat dalil) dari atsar itu adalah perkataan Aisyah radhiyallahu 'anha ,” maka duduklah dari balik tabir,” sebagai realisasi firman-Nya ,” Maka mintalah kepada mereka dari balik tabir,”

5. Dari Shafiyyah Bintu Syaibah, berkata : Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu 'anha telah mengabarkan kepada saya, beliau berkata : Saya berkata : Wahai Rasulullah ! Orang-orang pada pulang dengan telah melakukan dua ibadah (haji dan umrah), sedangkan saya pulang dengan satu ibadah saja (haji) ? Maka beliau menyuruh saudaraku Abdurrahman agar mengantar saya melakukan umrah dari Tan’im, dan dia membonceng saya di atas untanya di malam yang sangat panas, sehingga saya menyingkirkan kudung dari wajah saya, kemudian dia menyodorkan sesuatu dengan tangannya kepada saya, maka saya berkata : Apakah engkau melihat seseorang ?

6. Dari Ummu Sinan Al Aslamiyyah, berkata : Tatkala kami singgah di Madinah, kami tidak masuk sampai kami masuk bersama Shafiyyah ke rumahnya, dan wanita kaum Muhajirin dan Anshar, maka mereka masuk menemuinya, terus saya melihat empat dari isteri-isteri Nabi  dalam keadaan menutupi wajah mereka, Zainab Bintu Zahsy, Hafshah, Aisyah, dan Juwairiyyah…..

7. Dari Ummu Ma’bad Bintu Khulaif, berkata : Saya melihat Usman dan Abdurrahman pada kekhalifahan Umar menunaikan haji dengan menyertakan isteri-isteri Nabi , saya melihat kain thayalisah hijau menutupi haudaj mereka, dan haudaj-haudaj itu adalah pelindung dari pandangan manusia, Usman berjalan di depan mereka dengan mengendarai untanya, beliau berteriak bila ada orang yang berusaha mendekati mereka (isteri-isteri Nabi ) : Menjauhlah, menjauhlah kamu ! Dan Abdurrahman berada di belakang mereka, melakukan hal serupa, kemudian mereka singgah di suatu desa yang dekat dengan tempat tinggal saya, mereka menjauhkan diri dari manusia, sedang jamaah laki-laki telah menutupi tempat mereka (isteri-isteri Nabi  )dengan pepohonan dari setiap penjuru, kemudian saya masuk menemui mereka, dan mereka itu berjumlah delapan orang seluruhnya..
Dan telah lalu atsar tentang pembuatan keranda buat Ummul Mu’minin Zainab radhiyallahu 'anha dan penutupan keranda itu dengan kain, serta penganggapan baik sunnah ini oleh Amirul Mu’minin Umar Ibnu Al Khathathab .
8. Dan dari Anas Ibnu Malik  : Sesungguhnya Ummu Sulaim telah membuat kue, dan dia mengirimkannya ke rumah Rasulullah  dalam rangka pernikahan Rasulullah dengan Zainab Binyu Zahsy radhiyallahu 'anha, kemudian Rasulullah  mengundang para sahabatnya, dan merekapun duduk sambil makan dan bercakap-cakap, sedangkan Rasulullah  duduk, dan isteri beliau memalingkan wajahnya ke arah dinding hingga mereka semua keluar.

9. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, berkata : Saya melihat Nabi  menutupi saya dengan kain selendangnya, sedangkan saya menonton anak-anak Habsyah bermain di mesjid, hingga sayalah yang merasa bosan, kalian kira-kirakan saja (saya kala itu) seusia anak perempuan yang berusia dini yang masih suka akan permainan.

10. Al Imam At Tirmidzi berkata : Suwaiduna Abdullah Ibnu Yunus Ibnu Zaid telah memberi kabar kepada kami dari Ibnu Syihab, dari Nubhan maula Ummu Salamah, dia mengabarkan bahwa Ummu Salamah telah mengabarkan kepadanya : Bahwa beliau pernah duduk berada di samping Rasulullah , dan di samping Ummu salamah ada Maimunah, kemudian tiba-tiba muncul Ibnu Ummi Maktum, dan itu terjadi setelah kami diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah  berkata : Menutup dirilah kalian berdua darinya ! maka kami berkata : Wahai Rasulullah, bukankah dia itu buta tidak bisa melihat kami serta tidak mengenali kami ? maka Nabi  berkata : Apakah kalian berdua buta ? Bukankah kalian berdua melihatnya?

11. Dan dari Anas Ibnu Malik  dalam kisah pernikahan Nabi  dengan Shafiyyah radhiyallahu 'anha : Kaum muslimin berkata : (Apakah Shafiyyah itu) salah seorang Ummahatul Mu’minin atau termasuk hamba sahayanya ? maka mereka berkata : Bila beliau menghijabinya berarti dia termasuk Ummahatul Mu’minin, dan bila tidak menghijabinya berarti dia termasuk hamba sahayanya,”maka tatkala berangkat beliau menyediakan tempat bagi Shafiyyah di belakangnya, dan membentangkan tabir di antara dia dan oaring-orang.

Dan dalam satu riwayat dari Anas Ibnu Malik  juga, berkata : Kemudian tatkala unta tunggangan didekatkan kepada Rasulullah  untuk kembali, maka Rasulullah  meletakan kakinya agar Shafiyyah menjadikan paha beliau sebagai pijakan, namun dia enggan dan malah meletakan lututnya di atas paha Nabi  dan Rasulullah  menutupinya kemudian memboncengnya di belakangnya, serta beliau menutupkan kain selendangnya di punggung dan wajah Shafiyyah, kemudian mengikatnya dari bawah kaki Shafiyyah, dan membawanya serta menjadikannya sebagai salah seorang isteri-isterinya.

Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf hafidhahullah berkata : Dan hadits ini merupakan sekian dalil yang menunjukan wajibnya juga, karena ini bersumber dari perbuatannya  dengan tangannya yang mulia, maka ini adalah perbuatan yang sangat sempurna, beliau  menutupi seluruh tubuhnya (Shafiyyah), dan ini merupakan kebenaran yang wajib diikuti, sungguh merupakan tauladan yang baik sekali. Seandainya tidak ada dalil syari’ yang menunjukan kewajiban wanita menutupi wajah dan seluruh tubuhnya kecuali hadits yang shahih ini, tentu sudah cukup sebagai penentu kewajiban dan pengarah akan sifat yang sempurna.
Syaikh Abu Hisyam Al Anshari berkata dalam rangka membantah orang yang berhujjah dengan kisah Shafiyyah ini atas khususnya hijab bagi Ummahatul Mu’minin Isteri Nabi  :
Saya berkata : Sesungguhnya kisah Shafiyyah ini tidak menunjukan sama sekali akan khususnya hijab bagi Isteri-isteri Nabi , bahkan sebaliknya dari hal itu, justeru menunjukan umumnya hijab bagi mereka dan wanita kaum muslimin, karena konteks kisah sangat jelas sekali menerangkan bahwa para sahabat dalam keadaan ragu tentang kedudukan Shafiyyah, apakah dia itu budak atau wanita merdeka yang sudah dinikahi (Nabi  ) ?Dan sesungguhnya mereka meyakini dengan pasti bahwa bila Nabi  menghijabinya, berarti itu pertanda bahwa beliau sudah memerdekakannya dan menikahinya, sedangkan pemastian mereka ini tidak timbul kecuali karena mereka mengetahui bahwa hijab itu khusus bagi wanita -wanita merdeka saja, dan hijab itu merupakan pembeda yang paling besar antara wanita merdeka dengan budak. Apabila beliau menghijabinya maka sudah dipastikan bahwa dia itu merdeka, sedangkan wanita merdeka tidak boleh dijadikan sebagai surriyyah , berarti dia adalah salah satu dari Ummahatul Mu’minin. Para sahabat , mereka hanya menjadikan hijab sebagai tanda akan kemerdekaan dan pernikahan, karena Shafiyyah sebelumnya adalah tawanan yang dijadikan budak. Ya, seandainya sebelumnya dia itu tergolong wanita mu’minah merdeka, kemudian mereka menjadikan hijab sebagai tanda bahwa dia itu tergolong Ummahatul Mu’minin, tentu dalam hal ini ada dalil yang menunjukan hijab itu khusus bagi Ummahatul Mu’minin. Adapun kalau tidak demikian halnya maka kenyataannya pun tidak seperti itu. Kemudian hendaklah diketahui bahwa kemerdekaan dan pernikahan itu bukan kekhususan Ummahatul Mu’minin, maka bagaimana mungkin hijab yang mereka (para sahabat) jadikan tanda akan kemerdekaan dan pernikahan itu khusus bagi mereka(Ummahatul Mu’minin ) ? kemudian kisah itu tidak menunjukan paling tidak bahwa Ummahatul Mu’minin itu berhijab, sedangkan keberadaan mereka berhijab itu tidak memestikan bahwa hijab tersebut khusus bagi mereka.


Bagian Ketiga

1. Dari Urwah dari Aisyah radhiyallahu 'anha, berkata : Semoga Allah merahmati para wanita muhajirat pertama, tatkala Allah  menurunkan ,” dan hendaklah mereka menutupkan kain kudungnya ke dada mereka,”mereka langsung merobek kain tebal milik mereka, kemudian berikhtimar dengannya (mereka menutup wajah dengannya)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan hadits ini dari jalan Shafiyyah bintu Syaibah, beliau berkata : Di kala kami berada di samping Aisyah, beliau berkata : Maka kami menyebutkan wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka, maka Aisyah radhiyallahu 'anha berkata : Sesungguhnya wanita Quraisy itu memiliki keutamaan, dan saya Demi Allah tidak pernah melihat wanita yang lebih utama dari wanita-wanita Anshar yang lebih cepat membenarkan Kitab Allah dan lebih sigap dalam mengimani wahyu yang diturunkan, sungguh telah diturunkan surat An Nur,” dan hendaklah mereka menutupkan kain kudungnya ke dada mereka,” maka kaum laki-laki pulang menuju mereka (isteri-isterinya), mereka membacakan kepadanya apa yang Allah turunkan kepada mereka dalam surat itu, seorang laki-laki membacakannya kepada isterinya, puterinya dan saudarinya serta kerabatnya, maka tidak ada seorang wanita pun dari mereka melainkan langsung bangkit mengambil kain tebal (miliknya), kemudian mereka beri’tijar dengannya sebagai realisasi pembenaran dan pengimanan terhadap apa yang Allah turunkan di dalam kitab-Nya, sehingga esok harinya mereka berada di belakang Rasulullah  dalam keadaan beri’tijar seolah – olah ada burung gagak di atas kepala mereka.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Aisyah, berkata : Semoga Allah merahmati wanita-wanita Anshar, tatkala turun Firman-Nya,”Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu…,”(Al Ahzab: 59) mereka langsung merobek kain muruth (tebal)yang mereka miliki kemudian mereka beri’tijar dengannya, dan melaksanakan shalat di belakang Rasululah  seolah-olah ada burung gagak di atas kepala mereka,” sedangkan permisalan mereka seolah-olah seperti gagak tidak terjadi kecuali bila mereka menutupi wajahnya dengan kain sisa pakaiannya.
Makna I’tijar adalah berikhtimar, Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : perkataannya,” Mereka berikhtimar,” artinya mereka menutup wajahnya . Dan penafsiran ikhtimar dengan menutup wajah adalah penafsiran yang shahih, sebagaimana rinciannya telah lewat dijelaskan berdasarkan perbuatan-perbuatan mereka.

2. Dari Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu 'anha, berkata : Adalah rombongan (laki-laki) melewati kami, dan kami dalam keadaan berihram bersama Rasulullah , bila mereka lewat dekat kami setiap wanita dari kami mengulurkan jilbabnya dari kepalanya ke wajahnya, dan ketika mereka sudah berlalu, maka kami membukanya.
Dan kedua hadits ini menerangkan dengan jelas bahwa hijab itu mencakup wajah, bahkan memberikan indikasi bahwa menutupi wajah itulah yang dimaksud dengan hijab, dan hadits akhir ini hukumnya umum mencakup seluruh wanita kaum mu’minin, karena yang dimaksud dengan dhamir jama’ mutakallim (kata ganti jamak bagi sipembicara :yaitu kami) bukanlah Ummahatul Mu’minin saja sebagaiman yang diklaim oleh orang yang mengklaim, dan bukti akan hal itu adalah : bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha, beliaulah yang meriwayatkan hadits ini, dan beliaulah yang pernah memfatwakan : bahwa wanita yang sedang dalam keadaan ihram, dia (harus) mengulurkan jilbab dari atas kepalanya ke wajahnya.

Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Muwaththanya atsar yang memberikan faidah bahwa menutup wajah di saat ihram itu umum bagi semua wanita, bukan hanya pada zaman shahabat saja, akan tetapi dilakukan pada zaman sesudahnya pula, telah diriwayatkan dari Fathimah bintu Mundzi, berkata : Adalah kami menutup wajah kami sedangkan kami dalam keadaan ihram, dan kami saat itu bersama Asma Bintu Abi bakar Ash Shiddiq, maka belia tidak mengingkari kami.
Makna umum inilah yang dipahami para ulama dari hadits Aisyah ini, berkata pengarang kitab Aunul Ma’bud tentang perkataan Aisyah,”Melewati kami,” yaitu terhadap kami sekalian wanita.

Asy Syaukani berkata dalam Nailul Authar : Dan hadits ini dijadikan dalil bahwa wanita (ketika ihram) dibolehkan bila membutuhkan untuk menutupi wajahnya karena ada laki-laki yang lewat dekat darinya, dia mengulurkan pakaiannya dari atas kepala ke wajahnya, karena memang wanita memerlukan terhadap menutupi wajahnya, sehingga tidak haram baginya menutupinya secara muthlaq sebagaimana halnya aurat, namun bila ia mengulurkannya sebaiknya kain tersebut dijauhkan dari mengenai kulit wajahnya, begitulah yang dikatakan oleh pengikut madzhab Asy Syafii’ dan yang lainnya, namun dhahir hadits bertentangan dengan pendapat ini, karena pakaian yang diulurkan itu sangat tidak mungkin untuk tidak mengenai kulit, maka seandainya merenggangkan kain dari mengenai kulit itu merupakan syarat, tentu Nabi  sudah menjelaskannya..dan Ibnu Al Mundzir berkata : Para ulama sudah berijma bahwa wanita boleh memakai pakaian yang berjahit, sepatu khuf, dan dia juga bisa menutupi kepala dan wajahnya, dia ulurkan saja pakaiannya dengan penguluran yang tidak terlalu menempel, dengannya dia menutupi diri dari pandangan laki-laki..
Maksud dari menukil perkataan Asy Syaukani dan Ibnu Al Mundzir adalah bahwa para ulama tidak memandang bahwa dhamir-dhamir (kata ganti) ini (maksudnya : Kami dalam hadits Aisyah) kembali kepada isteri-isteri Nabi  saja.


3. Dan dari Fathimah Bintu Al Mundzir dari Asma Bintu Abi Bakar , berkata :
كُنَّا نُخَمِّرُ وُجُوْهَنَا مِنَ الرِّجَالِ وَكُنَّا نَمْتَشِطُ قَبْلَ ذَلِكَ فِي اْلإِحْرَامِ
Artinya: Adalah kami dahulu menutup wajah kami dari laki-laki, dan kami telah menyisir sebelumnya dalam ihram.

4. Dan dari Fathimah Bintu Al Mundzir rahimahallah, berkata :

كُنَّا نُخَمِّرُ وُجُوْهَنَا وَنَحْنُ مُحْرِمَاتٌ مَعَ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
Artinya: Adalah kami dahulu menutup wajah kami, sedangkan kami dalam keadaan ihram bersama Asma Binti Abu Bakar radliyallahu ‘anhuma.

Dalam pengungkapan Asma radhiyallahu 'anha dengan bentuk jamak pada perkataannya,” Adalah kami dahulu menutup wajah kami dari laki-laki,” merupakan dalil bahwa pengamalan para wanita pada zaman sahabat  adalah bahwa mereka selalu menutupi wajahnya dari pandangan laki-laki yang bukan mahram (ajanib), Wallahu ‘Alam.
Adapun hadits Fathimah Bintu Al Mundzir, itu menunjukan bahwa menutup wajah sewaktu ihram (di kala ada laki-laki, pent) merupakan sesuatu yang sudah umum di kalangan para wanita, bukan pada zaman sahabat saja, namun pada zaman sesudah mereka juga.

5. Dari Jabir Ibnu Abdillah  berkata : Rasulullah  bersabda :

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
Artinya: Bila seseorang di antara kalian meminang seorang wanita, terus dia mampu untuk melihat sesuatu yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah dia melakukannya.
Maka saya meminang seorang wanita, terus saya berusaha mengendap-ngendap untuk melihatnya, sehingga akhirnya saya berhasil melihat darinya apa yang mendorong saya untuk menukahinya.

6. Dan dari Muhammad Ibnu Maslamah , berkata : saya telah melamar seorang wanita, maka saya mengendap-ngendap untuk melihatnya, sampai akhirnya saya bisa memandangnya di balik pohom kurma miliknya, “maka dikatakan kepadanya : Apakah engkau berani melakukan hal ini padahal engkau adalah salah seorang sahabat Rasulullah  ? Maka beliau berkata : saya mendengar Rasulullah  berkata :

إِذَا أَلْقَى اللهُ فِيْ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا

Artinya: Bila Allah memberikan keinginan di hati seseorang untuk melamar seorang wanita, maka tidak apa-apa dia melihatnya.

7. Dan dari Al Mughirah Ibnu Syu’bah , berkata : Saya datang menemui Nabi , kemudian saya menyebutkan kepada beliau seorang wanita yang telah saya pinang, maka beliau berkata : Pergilah, lihat wanita itu, karena perbuatan itu lebih membuat adanya keserasian di antara kalian berdua,”maka saya datang menuju seorang wanita Anshar, terus saya meminangnya lewat kedua orang tuanya, dan saya beritahukan kepada keduanya perkataan Nabi , maka seolah-olah keduanya kurang suka hal itu,” Al Mughirah berkata (lagi) : Maka si wanita yang saya pinang itu mendengar pembicaraan itu, sedang dia berada di kamarnya, terus dia berkata : Bila Rasulullah  yang memerintahkanmu untuk melihat, maka silahkan lihat, namun kalau ternyata tidak, maka saya ingatkan engkau dengan keras (untuk pergi),”seolah-olah wanita itu menganggap besar masalah itu. Al Mughirah berkata : Maka saya melihatnya, kemudian saya menikahinya,” beliau menyebutkan persetujuan wanita itu.

At Tuwaijiriy berkata : Dan dalam hadits ini dan dua hadits sebelumnya terdapat dalil atas disyariatkannya wanita berhijab/ menutupi diri dari laki-laki yang bukan mahram, oleh sebab itu orang-orang mengingkari terhadap perbuatan Muhammad Ibnu Maslamah tatkala beliau memberitahukan kepada mereka bahwa beliau mengendap-ngendap untuk melihat wanita pinangannya sampai beliau bisa melihatnya sedangkan si wanita tidak merasakannya(tidak tahu ada yang melihatnya), maka beliau memberitahukan kepada mereka bahwa Nabi  telah memberikan keringanan dalam hal ini.
Begitu juga Al Mughirah Ibnu Syu’bah  tatkala meminta untuk melihat wanita pinangannya, maka kedua orang tuanya tidak menyukai hal itu, dan si wanita pun merasa kaget tercengang serta bersikap keras kepada Al Mughirah, kemudian dia (si wanita) mempersilahkannya untuk melihatnya sebagai bentuk ketaatan kepada perintah Rasulullah .
Dan dalam hadits-hadits ini juga ada penjelasan tentang apa yang biasa dilakukan oleh wanita-wanita para sahabat , dimana mereka sangat ketat dalam sikap menutupi diri dari pandangan laki-laki yang bukan mahram, dan karenanyalah Jabir dan Muhammad Ibnu Maslamah radliyallahu ‘anhuma tidak bisa memandang wanita pinangannya kecuali dengan cara mengedap-ngendap dan mencuri-curi saat lengah, dan begitu juga Al Mughirah tidak bisa memandang wanita pinangannya kecuali setelah diizinkannya untuk memandang. Dan begitulah makna ini dibuktikan dengan sabda Nabi  dalam hadits Jabir ,” terus dia mampu untuk melihat sesuatu yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah dia melakukannya.”

Syaikh Abu Hisyam Al Anshari berkata dalam rangka mengomentari hadits Al Mughirah Ibnu Syu’bah  : dan kejadian ini menunjukan juga bahwa wanita-wanita (salaf) selalu menutupi dirinya, sehingga laki-laki tidak bisa melihatnya kecuali dengan hilah dan sembunyi-sembunyi, atau bila mereka sendiri yang mempersilahkan untuk dilihat. Dan seandainya mereka itu keluar dengan wajah terbuka, kedua pipi nampak, mata bercelak, kedua telapak bersemir, maka laki-laki pasti tidak memerlukan untuk mengarungi kesulitan-kesulitan ini untuk melihat mereka…
Beliau juga berkata dalam rangka mengomentari perkataan Jabir  di akhir haditsnya,” Maka saya melamar wanita dari Bani Salamah, terus saya mengendap-ngendap di bawah karab (pelepah kurma) sehingga akhirnya saya bisa melihat darinya sebagian yang mendorong saya untuk menikahinya,”( Al Muhalla 11/220) : Dalam hadits ini ada dalil dari dua sisi :
Pertama : Bahwa sabdanya ,” Maka bila engkau mampu melihatnya…,” menunjukan bahwa memandang wanita itu tidaklah mudah, namun memerlukan hilah dan cara-cara khusus, dan seandainya kaum wanita itu keluar rumah dengan membuka wajah pada masa itu, tentu pensyaratan kemampuan untuk memandang mereka tidak bermakna.
Kedua : Apa yang dilakukan Jabir yaitu bersembunyi di bawah pelepah kurma merupakan dalil bahwa para wanita tidak pernah meninggalkan hijabnya, kecuali bila mereka mengetahui bahwa mereka aman dari pandangan laki-laki.
Dan beliau berkata dalam penjelasan hadits Muhammad Ibnu Maslamah  : Dan kejadian ini sama seperti kejadian kisah Jabir dalam hal menunjukan terhadap yang dituntut (yaitu masalah hijab), dengan ada tambahan dalil bahwa memandang wanita bukan mahram merupakan salah satu sebab kekagetan dan pengingkaran di kalangan awal umat ini (salaf).

8. Dan dari Musa Ibnu Yazid Al Anshariy dari Abu Humaid , berkata Rasulullah  :
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهَا وَإِنْ كَانَتْ لاَتَعْلَمْ
Artinya: Bila seseorang di antara kalian meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa atasnya untuk melihatnya, bila tujuan melihatnya itu hanya untuk meminangnya meskipun dia (wanita) tidak mengetahui.

Syaikh Abu Hisyam Al Anshari hafidhahullah berkata : Sesungguhnya diangkatnya dosa dari menampakan kecantikan dalam keadaan khusus ini untuk tujuan mashlahat khusus ini adalah merupakan dalil bahwa menampakan kecantikan dalam keadaan-keadaan lainnya adalah berdosa.
Sedangkan bukti yang menunjukan adanya perbedaan hukum di saat khithbah (melamar) dengan saat-saat yang lainnya adalah bahwa si pelamar dibolehkan memandang wanita yang dia lamar, bahkan itu justru dianjurkan atau disunahkan, padahal dia (si pelamar) diperintahkan untuk menundukan pandangan dari wanita-wanita lainnya, dan haram baginya memandang mereka kecuali pandangan yang pertama yang tidak disengaja. Dan orang-orang yang menguasai kaidah-kaidah syariat, mereka mengetahui dengan betul bahwa pembatasan pembolehan sesuatu, atau bolehnya, atau dirukhshahkannya di saat yang khusus merupakan dalil bahwa hukum asalnya adalah haram, sebagaimana sesuatu yang diharamkan karena sebagai sarana dan perantara, maka sesungguhnya hal itu dibolehkan untuk suatu keperluan dan mashlahat yang lebih dominan (Lihat Zadul Ma’ad 1/224) maka pembolehan menampakan kecantikan-yang dihitung oleh sebagian adalah membuka wajah- bagi si wanita pinangan merupakan dalil akan haramnya menampakan perhiasan itu di saat-saat lain.
Dan apa yang dijelaskan oleh para ahli fiqh dan ahli hadits menunjukan kepada apa yang kami telah katakan : karena sesungguhnya mereka semua membuat bab bagi hadits-hadits tentang khithbah dengan penamaan bab bolehnya memandang wanita yang dilamar dan bab-bab yang hampir serupa. Maka pembatasan mereka dalam hal memandang wanita yang dilamar dengan hukum boleh, ini mengisyaratkan bahwa memandang selain wanita yang dilamar adalah tidak boleh menurut mereka.

Syaikh Muhammad Al Maqdisyy berkata dalam Al Mughni : Kami tidak mengetahui adanya perbedaan di kalangan ulama tentang bolehnya memandang wanita yang ingin dinikahinya…..,dan tidak apa-apa memandangnya baik dengan izinnya ataupun tidak ada izin darinya, karena Nabi  memerintahkan kita untuk memandangnya secara muthlaq..
Namun tidak boleh berkhalwat dengannya, karena dia itu masih haram, sedangkan tidak ada dalil syariat yang membolehkan selain memandang, maka tetaplah khalwat pada asal keharamannya, dan dikarenakan khalwat itu tidak bisa menjamin dari hal-hal yang diharamkan lainnya…., dan tidak boleh memandangnya dengan pandangan penuh hasrat, syahwat dan tujuan nista. Imam Ahmad berkata dalam riwayat Shalih : Boleh melihat wajahnya, namun bukan dengan cara menikmatinya, dan dia boleh mengulang-ulang memandanginya, dan memperhatikan kecantikannya, karena maksud (khithbah) tidak bisa tercapai kecuali dengan hal itu…
Al Hijawi dan Al Futuhiy dan yang lainnya memberikan batasan akan kebolehan memandang wanita pinangan, yaitu bila menurut besar dugaannya bahwa si wanita mengabulkan keinginannya, Al Jira’iyy berkata : Bila besar dugaan si laki-laki bahwa ia itu akan ditolak maka tidak boleh memandangnya, seperti orang yang memandang wanita bangsawan yang ingin dia lamar, padahal dia sudah tahu bahwa dia tidak akan diterima.
Dan sebagaimana hadits-hadits yang disebutkan tadi itu telah menunjukan dengan manthuqnya akan kebolehan si laki-laki memandang wanita yang hendak dia nikahi, maka begitu juga hadits-hadits itu dengan mafhumnya telah menunjukan bahwa tidak boleh memandang wanita selain wanita itu, dan ini dijelaskan dalam perkataannya pada hadits Abu Humaid  dari Nabi  : bila tujuan melihatnya itu hanya untuk meminangnya,” maka itu menunjukan bahwa tidak boleh memandang wanita lain (ajnabiyyah) selain orang yang melamar.
Dan juga peniadaan dosa dari orang yang melamar bila ia memandang wanita yang dia lamarnya menunjukan bahwa tidak boleh memandang selain orang yang melamar, dan berarti bahwa dia berdosa di saat memandang wanita ajnabiyyah, Wallahu ‘Alam.
Al Bukhari rahimahullah telah mengeluarkan dalam kitab Al Jami’ seperti hadits Al Mughirah Ibnu Syu’bah , beliau menetapkan sebuah bab dengan perkataannya : (Bab memandang wanita sebelum menikahinya) dan Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath : ( Jumhur ulama mengatakan tidak apa-apa si pelamar memandang wanita yang dia lamar, mereka berkata : Dan tidak boleh memandang pada selain wajah dan kedua telapak tangannya)

As Sindiy berkata : Dan adapun mafhum mukhalif (mafhum kebalikan) bagi hadits ini adalah sesungguhnya tidak boleh selain laki-laki yang melamar memandang kepada wanita tersebut, dan hal ini tidak bisa terlaksana kecuali bila wanita itu berhijab, dan adapun bila wanita itu membuka wajah dan kedua telapak tangannya maka tidak mafhum hadits ini tidak ada artinya, maka ini juga merupakan dalil tidak bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangan
Dan konteks hadits Muhammad Ibnu maslamah yang di dalamnya ada sabda Nabi  :,” Bila Allah memberikan keinginan di hati seseorang untuk melamar seorang wanita, maka tidak apa-apa dia melihatnya,” izin ini dengan konteks seperti itu menunjukan haramnya memandang wajah dan kedua telapak tangan bagi selain orang yang melamar.

9. Dari Abdullah Ibnu Masud , Rasulullah  berkata :

لاَ تُبَاشِرِ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا
Artinya: Janganlah wanita bergumul dengan wanita, terus ia menceritakan (sifat-sifat tubuh) wanita itu kepada suaminya, seolah-olah suaminya itu melihatnya.
Al Qasthalani rahimahullah berkata : Ath Thayyibi rahimahullah berkata : Yang dimaksud dengannya (bergumul) di hadits ini adalah memandang yang disertai sentuhan, dia memandang wajah dan kedua telapak tangannya, serta meraba bagian dalam badannya dengan sentuhan halus.
Syaikh Hamud At Tuwaijiri hafidhahullah berkata : Dan dalam larangan beliau  wanita bergumul dengan wanita, terus ia menceritakan (sifat-sifat tubuh) wanita itu kepada suaminya, seolah-olah suaminya itu melihatnya merupakan dalil yang menunjukan pensyariatan ihtijab/menutupi diri wanita dari laki-laki yang bukan mahram, dan bahwasannya tidak tersisa bagi laki-laki cara untuk mengetahui wanita-wanita lain kecuali dengan cara (orang menceritakan kepadanya), atau mencuri-curi dan sebagainya, dan oleh karena itu beliau  berkata,” seolah-olah suaminya itu melihatnya,” maka ini menunjukan bahwa memandangnya laki-laki kepada wanita yang bukan mahram itu sangat sulit tercapai biasanya karena wanita-wanita itu menutupi dirinya dari pandangan mereka, sehingga seandainya sufur (membuka wajah) itu boleh, tentu kaum laki-laki memerlukan orang lain yang menceritakan kepada mereka sifat-sifat wanita yang bukan mahram itu, bahkan mereka merasa cukup dengan pandangan mereka langsung langsung kepadanya, seperti halnya yang sudah lazim di negara-negara yang tersebar di sana tabarruj (buka-bukaan/ bersolek untuk keluar) dan sufur (membuka wajah).

10. Dari Jarir Ibnu Abdillah  : saya bertanya kepada rasulullah  tentang pandangan yang tidak sengaja, maka beliau memerintahkan saya agar memalingkan pandangan.

At Tuwaijiriy berkata : Dan diambil faidah dari hadits ini bahwa para wanita kaum mu’minin di zaman Rasulullah , mereka itu selalu menutupi diri dari laki-laki yang bukan mahram, serta mereka itu menutupi wajah-wajahnya dari pandangan mereka, sedangkan yang terkadang terjadi hanyalah pandangan yang tiba-tiba tidak disengaja, dan juga seandainya mereka itu selalu membuka wajahnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, tentu dalam perintah memalingkan pandangan itu terdapat kesulitan yang sangat besar, apalagi bila terdapat banyak wanita di sekeliling laki-laki, karena bila ia memalingkan pandangannya dari yang satu, maka mesti pandangannya itu jatuh kepada wanita lain. Adapun bila mereka itu menutupi wajahnya sebagaimana yang ditunjukan oleh dhahir hadits itu, maka tidak tersisa kesulitan bagi si laki-laki yang memandang untuk memalingkan pandangan, sebab pandangan itu hanyalah terjadi serentak tiba-tiba saja. Wallahu ‘Alam.

11. Dari Fathimah Bintu Qais radhiyallahu 'anha :Bahwa Abu Amr Ibnu Hafsh mencerainya dengan thalak Al Battah, dan dalam satu riwayat : Dengan talak tiga, sedang dia (Abu Amr) sedang tidak ada di tempat, kemudian dia (Fatimah) datang menemui Rasulullah , dan terus menceritakan kejadian itu kepadanya, maka Rasulullah  menyuruhnya untuk ber’iddah di rumah Ummu Syuraik, terus beliau berkata : Wanita itu sering ditemui sahabat-sahabatku , maka ber’iddahlah di rumah Ibnu Ummi Maktum karena dia itu laki-laki buta yang dimana engkau bisa meletakan pakaianmu di sana,, Dan dalam satu riwayat,” pindahlah ke rumah Ummu Syuraik, sedang Ummu Syuraik itu adalah wanita kaya dari kalangan Anshar, sering berinfak yang banyak fi abilillah, orang-orang lemah sering singgah ke rumahnya, saya hawatir khimarmu jatuh dan pakaianmua tersingkap sehingga kedua betismu nampak, sehingga laki-laki bisa melihat darimu apa yang engkau tidak suka, namun pindahlah ke rumah sepupumu Abdullah Ibnu Ummi Maktum yang buta itu- dia itu satu suku dengannya-karena kamu bila meletakan khimarmu, dia tidak akan melihatnya,”maka ssaya pindah ke rumahnya, dan tatkala ‘iddah saya telah selesai, saya mendengar seruan : Ash Shalatu Jami’ah,” maka saya keluar menuju mesjid terus saya shalat di belakang Rasulullah , tatkala beliau selesai dari shalatnya, beliau duduk di atas mimbar, terus berkata : Sesungguhnya saya –Demi Allah- tidak mengumpulkan kalian untuk suatu anjuran dan peringatan, namun saya mengumpulkan kalian karena Tamim Ad Dariy sebelumnya adalah orang nashraniy, dia telah datang dan membai’at serta masuk islam, dan dia memberitahuku suatu berita yang sesuai dengan apa yang pernah saya beritahukan kepada kalian tentang Al Masih Ad Dajjal….)

Dan dalam sabdanya ,” karena kamu bila meletakan khimarmu, dia tidak akan melihatnya,” dan dalam satu riwayat,” saya hawatir khimarmu jatuh dan pakaianmua tersingkap sehingga kedua betismu nampak, sehingga laki-laki bisa melihat darimu apa yang engkau tidak suka,”merupakan dalil yang menunjukan bahwa wanita tidak boleh membuka wajahnya-apalagi yang lainnya- si hadapan laki-laki lain yang bisa melihat, itu dikarenakan bahwa khimar itu adalah umum bagi apa yang dinamakan kepala dan wajah secara bahasa dan syari’at , dan ini dibuktikan dengan apa yang telah kita paparkan sebelumnya dari perkataan Al Hafidh Ibnu Hajar tentang definisi Khamr: (Dan diantara kata yang diambil darinya adalah khimar, karena dia itu menutupi wajah wanita.).
Dan perkataan Al Qadl Abu Ali At Tanukhi dalam bait syair yang dinisbatkan kepadanya :
Katakan kepada si cantik jelita yang mengenakan khimar penutup wajah
,”Engkau telah merusak ibadah saudaraku yang bertaqwa
pancaran khimar dan cahaya pipimu di belakangnya
sungguh mengagumkan wajahmu ini, kenapa tidak terbakar
Dan hadits ini seharusnya dipahami dengan bercermin pada sabdanya  ,”Wanita itu aurat,”dan bila memandang wajah wanita itu lebih besar fitnahnya daripada melihat kepalanya, maka sungguh sangat jauh sekali syariat ini datang dengan mewajibkan menutup kepala dan membolehkan membuka wajah. Dan sabdanya  ,’dia itu tidak bisa melihatmu,” adalah perkataan dhahir yang memaksud seluruh yang bisa nampak darinya, seperti wajah, kepala, dan leher, dan di dalam hadits ini tidak ada dalil yang menunjukan harusnya menutup kepala tanpa wajahnya.

12. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha , berkata : Saudah keluar (rumah) setelah diwajibkannya hijab untuk buang hajatnya, sedang beliau itu adalah wanita yang berbadan besar yang tidak samar bagi orang yang mengenalnya, maka Umar Ibnu Al Khaththab melihatnya, terus berkata,”Wahai saudah, Demi Allah engkau ini tidak akan samar bagi kami, maka lihatlah bagaimana cara engkau keluar,”Aisyah berkata : Maka dia kembali pulang, sedangkan Rasulullah  sedang makan malam di rumah saya dan di tangannya masih ada tulang yang dagingnya masih tersisa sedikit, dia masuk menemuinya, terus berkata : Wahai Rasulullah saya keluar untuk hajat saya, terus Umar mengatakan kepada aya ini dan itu,”Aisyah berkata : maka Allah mewahyukan kepadanya, terus wahyu selesai, sedangkan daging tadi masih ada di tangannya, kemudian belia berkata : Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian keluar untuk hajat-hajat kalian,”

Syaikh Abu Hisyam Al Anshari hafidhahullah berkata : (Dan tuntutan ini adalah bahwa seandainya Saudah itu tidak berbadan tinggi tentu tidak akan dikenal orang-orang, dan Umar itu mengenalnya bukan karena dia itu membuka wajahnya, namun karena tinggi badannya dan gerak-geriknya yang berbeda dengan yang lain. Dan dalam hadits ini ada dalil yang menunjukan bahwa hijab itu bukan khusus bagi Ummahatul Mu’minin, alasannya adalah karena sesungguhnya konteks hadits menunjukan bahwa Umar tidak menginginkan syakhsh (sosok) Ummahatul Mu’minin itu diketahui, dan seandainya hijab itu khusus bagi mereka tentu itu merupakan petunjuk pertama yang mengenalkan mereka, dan merupakan pembeda paling pertama dan keadaan paling dominan yang membedakan mereka dari yang lainnya, serta tentu setiap orang akan mengenalinya, dan wajah mereka itu tentu dikenal dalam banyak kesempatan.
Dan ketahuilah bahwa hadits ini secara menyendiri paling banter memberikan indikasi akan kebersamaan Ummahatul Mu’minin dengan wanita yang lainnya dalam pensyariatan hijab, dan ini sisi kesepakatan kita dengan para penentang, karena sesungguhnya hadits ini dijadikan dalil akan pensyariatan ini, adapun masalah wajibnya hijab maka tidak bisa diambil dari hadits ini secara menyendiri, namun dengan dalil-dalil terdahulu yang banyak yang menunjukan umumnya ayat hijab, dan tidak dikhususkan bagi Ummahatul Mu’minin saja, Wallahu “alam.

13. dari Abdullah Ibnu Amr Ibnu Al Ash  berkata : Kami habis mengubur mayat bersama Rasulullah , maka tatkala kami pulang dan berpinggiran dengan pintu rumahnya, tiba-tiba beliau mendapatkan seorang wanita yang kami kira beliau tidak mengenalnya, beliau terus bertanya,” Wahai Fathimah dari mana engkau ? Dia berkata : Saya habis dari rumah keluarga si mayyit, saya menenangkan mereka dan menghibur hatinya)…
Sesungguhnya para sahabat  telah menduga bahwa Nabi  tidak mengenal wanita itu yang lewat di sampingnya, karena dia itu menutupi dirinya, namun beliau mengenalinya, dan berkata,” Wahai Fathimah ?, sebagaimana beliau mengenali Aisyah ditengah tengah orang padahal dia itu menutupi wajahnya.


Disalin dri “Yayasan Al-Sofwa”
Jl. Raya Lenteng Agung Barat, No.35 Jagakarsa, Jakarta - Selatan (12610)
Telpon: (021)-788363-27 , Fax:(021)-788363-26
www.alsofwah.or.id ; E-mail: info@alsofwah.or.id
 



.................................................................................

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Syarah Al-Hikam (Syaikh Ibnu Athoillah)