┈̥-̶̯͡♈̷̴✽̶ MAHALNYA SEBUAH HIDAYAH┈̥-̶̯͡♈̷̴✽̶┄
(Boleh Share/Tag/Coffy Paste/Print)
Hidayah, kalimat yang sederhana, singkat,
namun sejatinya ia sangatlah berarti. Kalimat yang mengandung esensi
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tanpa
keberadaannya kehidupan dunia terasa hampa dan tak bermakna. Ia
merupakan cahaya penerang ditengah kegelapan hidup yang diliputi fitnah
syahwat (godaan hawa nafsu) dan syubhat (kerancuan dalam memahami
kebenaran), membimbing manusia diatas shiratal mustaqim (jalan yang
lurus) menuju jannah.
Laksana air mengalir, dari sumber yang jernih, semakin jauh menempuh perjalanan dalam kurun waktu yang lama, maka semakin banyak pencemaran yang terjadi. Demikianlah cermin perjalanan hidup kaum muslimin. Semakin terlampau jauh dari masa nubuwah (kenabian) semakin banyak penyimpangan yang terjadi. Sehingga hidayah merupakan perkara urgen yang perlu dimiliki agar terselamatkan dari berbagai fitnah yang merebak di akhir zaman ini.
Hidayah secara bahasa diambil dari kata al-huda ( الهدى) yang berarti petunjuk. Al-Huda merupakan lawan kata dari ad-dhalal( الضلال) yang berarti kesesatan. Ibnu ishaq di dalam lisanul ‘arab mengatakan bahwa هدى الله bermakna petunjuk kepada jalan yang haq. Maknanya bahwa untuk menuju kepada jalan yang haq, atau ingin senantiasa berada di jalan al-haq maka seseorang membutuhkan hidayah yang akan membimbingnya.
MEMBERI HIDAYAH ADALAH HAK OTORITAS ALLAH
Manusia hanyalah berusaha, sedangkan Allah lah yang menentukan. Demikian halnya hidayah, manusia berusaha mengarahkan kepada hidayah, sedangkan Allah berhak untuk memutuskan diantara hambanya yang pantas diberi hidayah. Bagaimanapun dekatnya nasab Abu Thalib dan besar andilnya dalam mendukung da’wah Nabi muhmmad saw, toh ia tidak ditakdirkan mendapat hidayah.
Diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari, dari Ibnul Musayyab, bahwa ayahnya berkata: " Tatkala Abu Thalib akan meninggal dunia, datanglah Rasulullah saw kepadanya. Pada saat itu 'Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu jahal berada di sisinya, maka beliau berabda kepadanya:
يا عم قل لاإله إلا الله كلمة أحاج لك بها عند الله
"Wahai pamanku! Ucapkanlah La Ilaha Illallah, suatu kalimat yang kelak aku jadikan bukti untuk (membela)mu di hadapan Allah." Tetapi disambut oleh Abu Umayyah dan Abu jahal: "Apakah kamu membenci agama Abdul Muthalib?" Lalu Nabi saw mengulangi sabdanya lagi, akan tetapi mereka berdua pun mengulang kata-katanya itu. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap pada agama Abdul Muthalib dan enggan mengucapkan La ilaha Illallah
Dalam tinjauan aqidah, hidayah terbagi menjadi dua. Syaikh shalih bin abdul aziz bin muhmmad bin ibrahim di dalam at-tamhid fi syarhi kitabi at-tauhid menyebutkannya dengan istilah hidayatu al-irsyad dan hidayatu at-taufiq wal ilham. Hidayah irsyad adalah mengarahkan dan memberikan petunjuk kepada jalan yang benar, dan ini bisa dilakukan oleh manusia. Sedangkan hidayah taufiq wal ilham adalah karunia dari allah yang diletakkan pada hati seorang hamba sehingga bersedia bersedia untuk menerima petunjuk, dan ini adalah hak otoritas Allah swt.
Hidayah irsyad adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt:
وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْلا أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مِّن رَّبِّهِ إِنَّمَا أَنتَ مُنذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ
“Orang-orang kafir berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda (kebesaran) dari Tuhannya?" Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk” (Qs. Ar-Ra’d)
Dan firmannya:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحاً مِّنْ أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُوراً نَّهْدِي بِهِ مَنْ نَّشَاء مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Qs. As-Syura: 52)
Sedangkan hidayah taufiq wal ilham adalah sebagaimana firman Allah swt:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Qs. Al-Qashas: 56)
Ayat ini turun saat Rasulullah saw mengalami kesedihan yang mendalam atas kematian pamannya yang tidak mau mengucapkan syahadat. Ibnu Katsir berkata: " Allah berfirman kepada Rasul-Nya saw, "sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai." Maksudnya: itu bukan tanggung jawabmu. Tetapi, tanggung jawabmu hanya menyampaikan, dan Allah akan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
DUNIA DATANG HIDAYAHPUN DIGADAIKAN
Hidayah merupakan karunia termahal yang Allah karuniakan kepada hambanya. Namun demikian, tidak sedikit manusia yang rela menggadaikan hidayah pada dirinya dengan tipuan dunia yang sementara. Sejarah membuktikan banyaknya kisah orang-orang yang mengawali kehidupannya dengan amal kebajikan namun mereka mengakirinya dengan amal-amal keburukan.
Alangkah hinanya menjadi mantan orang shaleh. Orang yang menggadaikan hidayahnya dengan kenikamatan sesaat. Mereka orang-orang tertipu, mengorbankan mutiara demi mendapatkan seonggok bangkai. Namun demikianlah realita kehidupan sebagai mana Rasulullah saw bersabda:
فَوَاللَّهِ إِنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ الرَّجُلَ يَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا غَيْرُ بَاعٍ أَوْ ذِرَاعٍ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذِرَاعٍ أَوْ ذِرَاعَيْنِ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا (البخاري)
Demi allah, sesungguhnya ada seorang yang mengerjakan perilaku penduduk neraka, hingga antara dirinya dan neraka tinggal satu hasta. Namun ia lebih di dahului oleh ketetapan (takdir) maka ia menutup amalnya dengan amalan penduduk jannah, maka iapun masuk jannah. Dan ada juga seorang yang mengerjakan perilaku penduduk jannah hingga antara dirinya dan jannah tinggal satu hasta. Namun ia di dahului oleh ketetapan (takdir) hingga ia mengerjakan perilaku penduduk neraka, maka iapun masuk neraka. (Hr. Al-Bukhariy)
Dunia amatlah menggiurkan. Tidak jarang manusia terperosok di dalam kehinaan kerena tertipu olehnya. Bal’am bin ba’ura seorang ulama terkemuka pada masa nabi musa alihissalam. Ulama yang terkenal dengan kemustajaban do’anya. Setiapkan ia menengadahkan kedua tangannya, manusia yakin pasti akan terkabulkan. Namun demikian, bal’am rela mengorbankan hidayah pada dirinya dan rela mendoakan kehancuran bagi pasukan nabi musa, karena kemewahan dunia yang ditawarkan oleh suatu kaum. Qarun adalah saudara sepupu dari nabi musa alaihissalam. Ia seorang ulama yang hafal kitab taurat. Menjadi panutan bani israel ketika itu. Namun ia tergiur dengan dunia dan rela menggadaikan hidayahnya.
Sungguh benar apa yang khawatirkan oleh rasulullah saw dalam sabdanya:
فَوَاللَّهِ لَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخَشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takutkan atas kalian. Namun yang aku takutkan adalah terbukanya pintu-pintu kemewahan dunia atas kalian sebagaimana telah dibukakan atas orang-orang sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba untuk merebutnya sebagaima orang-orang terdahulu berlomba-lomba untuk merebutnya. Niscaya dunia itu akan mennghancurkan kalian sebagaimana ia telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian. (Hr. Al-Bukhariy)
Setiap hamba selalu membutuhkan hidayah pada setiap waktu dan kesempatan, dalam setiap perkara yang hendak dikerjakan atau ditinggalkannya. Tiap-tiap hamba tak akan lepas dari salah satu kondisi berikut:
Pertama:
Kondisi yang berbagai amalan yang ia lakukan tidak sebagaimana mestinya, lantaran jahalah (ketidaktahuannya). Dalam kondisi yang demikian, ia membutuhkan hidayah dari Allah, berupa terbukanya pintu ilmu.
Kedua:
Kondisi ia telah mengenal hidayah, namun ia melakukan hal-hal yang tidak sebagaimana mestinya dengan sengaja. Ia membutuhkan hidayah untuk dapat bertaubat.
Ketiga:
Keadaan dimana ia tidak mengenal hidayah secara ilmiyah maupun amaliyah. Sehingga ia kehilangan hidayah, baik berupa ilmu pengetahuan maupun keinginan untuk mendapatkan dan mengamalkannya.
Keempat:
Kondisi yang ia telah mendapatkan hidayah namun hanya mampu mengamalkan sebagian dari satu amalan menurut petunjuk, sementara sebagian yang lain tidak. Orang ini membutuhkan hidayah untuk dapat melakukannya secara sempurna.
Kelima:
Kadangkala seorang mampu melakukan sesuatu amalan menurut bingkai dasarnya, namun belum mampu mengamalkannya secara rinci. Orang tersebut membutuhkan hidayah yang bisa membimbingnya untuk mengamalkan secara rinci.
Keenam:
Kadangkala seseorang telah mendapat suatu hidayah, namun ia masih membutuhkan hidayah lain dalam penerapannya. Karena hidayah menuju satu jalan berbeda dengan hidayah dalam meniti jalan tersebut. Bisa kita contohkan, seperti seseorang yang telah mengenal jalan menuju suatu negeri anu, yaitu melalui jalan ini dan itu. Namun ia tak mampu menempuhnya dengan baik. Karena untuk menempuhnya dibutuhkan hidayah lain yang lebih khusus. Misalnya, seperti perjalanan yang harus dilakukan di waktu-waktu tertentu dan menghindari di waktu-waktu tertentu, dia harus mengambil perbekalan air di tempat ini dan itu dan dengan jumlah tertentu, juga beristirahat di tempat-tempat ini dan itu. Itulah yang dimaksud hidayah dalam penerapan satu amalan. Kerap kali orang yang mengenal suatu jalan tidak mengenal hal itu, akhirnya ia celaka dan tidak sampai pada tujuannya.
Ketujuh:
Seseorang juga membutuhkan hidayah dalam suatu amalan yang akan dilakukan, untuk masa-masa mendatang, sebagaimana petunjuk/hidayah yang telah ia peroleh di masa lampau.
Kedelapan:
kadang-kadang seseorang tidak memiliki keyakinan sama sekali pada suatu amalan, apakah itu benar atau salah. Ia membutuhkan hidayah untuk mengetahui kebenarannya.
Kesembilan:
Kadang seseorang yakin bahwa dirinya berada diatas jalan kebenaran, padahal ia dalam kesesatan sementara ia sendiri tidak merasa. Maka orang tersebut membutuhkan hidayah untuk beralih dari keyakinan yang salah itu dengan bimbingan Allah.
Kesepuluh:
Terkadang seseorang dapat melakukan sesuatu sesuai dengan petunjuk, namun ia membutuhkan hidayah untuk dapat membimbing orang lain menuju hidayah itu, mengarahkan dan menasehatinya. Apabila ia melalaikan hal itu, berarti ia telah kehilangan satu hidayah sebatas kelalaiannya.
Laksana air mengalir, dari sumber yang jernih, semakin jauh menempuh perjalanan dalam kurun waktu yang lama, maka semakin banyak pencemaran yang terjadi. Demikianlah cermin perjalanan hidup kaum muslimin. Semakin terlampau jauh dari masa nubuwah (kenabian) semakin banyak penyimpangan yang terjadi. Sehingga hidayah merupakan perkara urgen yang perlu dimiliki agar terselamatkan dari berbagai fitnah yang merebak di akhir zaman ini.
Hidayah secara bahasa diambil dari kata al-huda ( الهدى) yang berarti petunjuk. Al-Huda merupakan lawan kata dari ad-dhalal( الضلال) yang berarti kesesatan. Ibnu ishaq di dalam lisanul ‘arab mengatakan bahwa هدى الله bermakna petunjuk kepada jalan yang haq. Maknanya bahwa untuk menuju kepada jalan yang haq, atau ingin senantiasa berada di jalan al-haq maka seseorang membutuhkan hidayah yang akan membimbingnya.
MEMBERI HIDAYAH ADALAH HAK OTORITAS ALLAH
Manusia hanyalah berusaha, sedangkan Allah lah yang menentukan. Demikian halnya hidayah, manusia berusaha mengarahkan kepada hidayah, sedangkan Allah berhak untuk memutuskan diantara hambanya yang pantas diberi hidayah. Bagaimanapun dekatnya nasab Abu Thalib dan besar andilnya dalam mendukung da’wah Nabi muhmmad saw, toh ia tidak ditakdirkan mendapat hidayah.
Diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari, dari Ibnul Musayyab, bahwa ayahnya berkata: " Tatkala Abu Thalib akan meninggal dunia, datanglah Rasulullah saw kepadanya. Pada saat itu 'Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu jahal berada di sisinya, maka beliau berabda kepadanya:
يا عم قل لاإله إلا الله كلمة أحاج لك بها عند الله
"Wahai pamanku! Ucapkanlah La Ilaha Illallah, suatu kalimat yang kelak aku jadikan bukti untuk (membela)mu di hadapan Allah." Tetapi disambut oleh Abu Umayyah dan Abu jahal: "Apakah kamu membenci agama Abdul Muthalib?" Lalu Nabi saw mengulangi sabdanya lagi, akan tetapi mereka berdua pun mengulang kata-katanya itu. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap pada agama Abdul Muthalib dan enggan mengucapkan La ilaha Illallah
Dalam tinjauan aqidah, hidayah terbagi menjadi dua. Syaikh shalih bin abdul aziz bin muhmmad bin ibrahim di dalam at-tamhid fi syarhi kitabi at-tauhid menyebutkannya dengan istilah hidayatu al-irsyad dan hidayatu at-taufiq wal ilham. Hidayah irsyad adalah mengarahkan dan memberikan petunjuk kepada jalan yang benar, dan ini bisa dilakukan oleh manusia. Sedangkan hidayah taufiq wal ilham adalah karunia dari allah yang diletakkan pada hati seorang hamba sehingga bersedia bersedia untuk menerima petunjuk, dan ini adalah hak otoritas Allah swt.
Hidayah irsyad adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt:
وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْلا أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مِّن رَّبِّهِ إِنَّمَا أَنتَ مُنذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ
“Orang-orang kafir berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda (kebesaran) dari Tuhannya?" Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk” (Qs. Ar-Ra’d)
Dan firmannya:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحاً مِّنْ أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُوراً نَّهْدِي بِهِ مَنْ نَّشَاء مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Qs. As-Syura: 52)
Sedangkan hidayah taufiq wal ilham adalah sebagaimana firman Allah swt:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Qs. Al-Qashas: 56)
Ayat ini turun saat Rasulullah saw mengalami kesedihan yang mendalam atas kematian pamannya yang tidak mau mengucapkan syahadat. Ibnu Katsir berkata: " Allah berfirman kepada Rasul-Nya saw, "sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai." Maksudnya: itu bukan tanggung jawabmu. Tetapi, tanggung jawabmu hanya menyampaikan, dan Allah akan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
DUNIA DATANG HIDAYAHPUN DIGADAIKAN
Hidayah merupakan karunia termahal yang Allah karuniakan kepada hambanya. Namun demikian, tidak sedikit manusia yang rela menggadaikan hidayah pada dirinya dengan tipuan dunia yang sementara. Sejarah membuktikan banyaknya kisah orang-orang yang mengawali kehidupannya dengan amal kebajikan namun mereka mengakirinya dengan amal-amal keburukan.
Alangkah hinanya menjadi mantan orang shaleh. Orang yang menggadaikan hidayahnya dengan kenikamatan sesaat. Mereka orang-orang tertipu, mengorbankan mutiara demi mendapatkan seonggok bangkai. Namun demikianlah realita kehidupan sebagai mana Rasulullah saw bersabda:
فَوَاللَّهِ إِنَّ أَحَدَكُمْ أَوْ الرَّجُلَ يَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا غَيْرُ بَاعٍ أَوْ ذِرَاعٍ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذِرَاعٍ أَوْ ذِرَاعَيْنِ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا (البخاري)
Demi allah, sesungguhnya ada seorang yang mengerjakan perilaku penduduk neraka, hingga antara dirinya dan neraka tinggal satu hasta. Namun ia lebih di dahului oleh ketetapan (takdir) maka ia menutup amalnya dengan amalan penduduk jannah, maka iapun masuk jannah. Dan ada juga seorang yang mengerjakan perilaku penduduk jannah hingga antara dirinya dan jannah tinggal satu hasta. Namun ia di dahului oleh ketetapan (takdir) hingga ia mengerjakan perilaku penduduk neraka, maka iapun masuk neraka. (Hr. Al-Bukhariy)
Dunia amatlah menggiurkan. Tidak jarang manusia terperosok di dalam kehinaan kerena tertipu olehnya. Bal’am bin ba’ura seorang ulama terkemuka pada masa nabi musa alihissalam. Ulama yang terkenal dengan kemustajaban do’anya. Setiapkan ia menengadahkan kedua tangannya, manusia yakin pasti akan terkabulkan. Namun demikian, bal’am rela mengorbankan hidayah pada dirinya dan rela mendoakan kehancuran bagi pasukan nabi musa, karena kemewahan dunia yang ditawarkan oleh suatu kaum. Qarun adalah saudara sepupu dari nabi musa alaihissalam. Ia seorang ulama yang hafal kitab taurat. Menjadi panutan bani israel ketika itu. Namun ia tergiur dengan dunia dan rela menggadaikan hidayahnya.
Sungguh benar apa yang khawatirkan oleh rasulullah saw dalam sabdanya:
فَوَاللَّهِ لَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخَشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمْ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takutkan atas kalian. Namun yang aku takutkan adalah terbukanya pintu-pintu kemewahan dunia atas kalian sebagaimana telah dibukakan atas orang-orang sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba untuk merebutnya sebagaima orang-orang terdahulu berlomba-lomba untuk merebutnya. Niscaya dunia itu akan mennghancurkan kalian sebagaimana ia telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian. (Hr. Al-Bukhariy)
Setiap hamba selalu membutuhkan hidayah pada setiap waktu dan kesempatan, dalam setiap perkara yang hendak dikerjakan atau ditinggalkannya. Tiap-tiap hamba tak akan lepas dari salah satu kondisi berikut:
Pertama:
Kondisi yang berbagai amalan yang ia lakukan tidak sebagaimana mestinya, lantaran jahalah (ketidaktahuannya). Dalam kondisi yang demikian, ia membutuhkan hidayah dari Allah, berupa terbukanya pintu ilmu.
Kedua:
Kondisi ia telah mengenal hidayah, namun ia melakukan hal-hal yang tidak sebagaimana mestinya dengan sengaja. Ia membutuhkan hidayah untuk dapat bertaubat.
Ketiga:
Keadaan dimana ia tidak mengenal hidayah secara ilmiyah maupun amaliyah. Sehingga ia kehilangan hidayah, baik berupa ilmu pengetahuan maupun keinginan untuk mendapatkan dan mengamalkannya.
Keempat:
Kondisi yang ia telah mendapatkan hidayah namun hanya mampu mengamalkan sebagian dari satu amalan menurut petunjuk, sementara sebagian yang lain tidak. Orang ini membutuhkan hidayah untuk dapat melakukannya secara sempurna.
Kelima:
Kadangkala seorang mampu melakukan sesuatu amalan menurut bingkai dasarnya, namun belum mampu mengamalkannya secara rinci. Orang tersebut membutuhkan hidayah yang bisa membimbingnya untuk mengamalkan secara rinci.
Keenam:
Kadangkala seseorang telah mendapat suatu hidayah, namun ia masih membutuhkan hidayah lain dalam penerapannya. Karena hidayah menuju satu jalan berbeda dengan hidayah dalam meniti jalan tersebut. Bisa kita contohkan, seperti seseorang yang telah mengenal jalan menuju suatu negeri anu, yaitu melalui jalan ini dan itu. Namun ia tak mampu menempuhnya dengan baik. Karena untuk menempuhnya dibutuhkan hidayah lain yang lebih khusus. Misalnya, seperti perjalanan yang harus dilakukan di waktu-waktu tertentu dan menghindari di waktu-waktu tertentu, dia harus mengambil perbekalan air di tempat ini dan itu dan dengan jumlah tertentu, juga beristirahat di tempat-tempat ini dan itu. Itulah yang dimaksud hidayah dalam penerapan satu amalan. Kerap kali orang yang mengenal suatu jalan tidak mengenal hal itu, akhirnya ia celaka dan tidak sampai pada tujuannya.
Ketujuh:
Seseorang juga membutuhkan hidayah dalam suatu amalan yang akan dilakukan, untuk masa-masa mendatang, sebagaimana petunjuk/hidayah yang telah ia peroleh di masa lampau.
Kedelapan:
kadang-kadang seseorang tidak memiliki keyakinan sama sekali pada suatu amalan, apakah itu benar atau salah. Ia membutuhkan hidayah untuk mengetahui kebenarannya.
Kesembilan:
Kadang seseorang yakin bahwa dirinya berada diatas jalan kebenaran, padahal ia dalam kesesatan sementara ia sendiri tidak merasa. Maka orang tersebut membutuhkan hidayah untuk beralih dari keyakinan yang salah itu dengan bimbingan Allah.
Kesepuluh:
Terkadang seseorang dapat melakukan sesuatu sesuai dengan petunjuk, namun ia membutuhkan hidayah untuk dapat membimbing orang lain menuju hidayah itu, mengarahkan dan menasehatinya. Apabila ia melalaikan hal itu, berarti ia telah kehilangan satu hidayah sebatas kelalaiannya.
Komentar
Posting Komentar